Yujin hanya ingin keluarga utuh dengan suami yang tidak selingkuh dengan iparnya sendiri.
Jisung hanya ingin mempertahankan putrinya dan melepas istri yang tega berkhianat dengan kakak kandungnya sendiri.
Yumin hanya ingin melindungi mama dan adiknya dari luka yang ditorehkan oleh sang papa dan tante.
Yewon hanya ingin menjalani kehidupan kecil tanpa harus dibayangi pengkhianatan mamanya dengan sang paman.
______
Ketika keluarga besar Kim dihancurkan oleh nafsu semata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caca Lavender, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Kehancuran (Sumin)
POV: Kim Sumin
Sudah lewat tengah malam. Di luar, angin bertiup pelan menggoyangkan tirai jendela kamar tamu. Rumah nenek begitu tenang, seakan semuanya telah kembali pada sisa-sisa kenyamanan setelah hari yang panjang. Tapi bagiku, malam ini jauh dari tenang.
Aku duduk di tepi tempat tidur dengan kedua siku bertumpu di lutut. Ponselku tergeletak di kasur, layarnya menyala dengan notifikasi grup basket sekolah, tapi aku tidak peduli. Pikiranku masih penuh dengan apa yang aku lihat dan aku rasakan sepanjang hari.
Ada yang tidak beres. Aku bukan anak kecil lagi. Aku mungkin masih remaja, tapi aku tahu betul bagaimana orang-orang yang saling menyimpan rahasia bersikap. Dan hari ini … papa dan Tante Hana terlalu sering bertatapan. Terlalu banyak senyum yang tidak biasa. Terlalu sering melempar isyarat rahasia.
Bukan hanya itu.
Mama terlihat lelah. Wajahnya mungkin tetap lembut seperti biasa, tapi sorot matanya seperti kosong. Ia tak banyak bicara sejak makan malam. Bahkan saat Sunghan merajuk minta digendong, mama hanya mengusap kepalanya tanpa banyak ekspresi.
Aku tahu, mama sedang menahan sesuatu.
Dan aku juga tahu, sumbernya mungkin berkaitan dengan papa.
Aku pun bangkit dan berjalan pelan ke jendela. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat lampu-lampu taman yang redup di halaman belakang. Lampu gantung berayun pelan ditiup angin, menimbulkan suara berdenting kecil yang biasanya menenangkan. Tapi malam ini, denting itu terasa seperti suara waktu yang berdetak seperti menunggu kebenaran terungkap.
Tiba-tiba, suara langkah pelan terdengar dari arah tangga.
Aku pun segera mematikan lampu kamar, lalu membuka sedikit pintu dan mengintip keluar. Aku bisa melihat papa berjalan perlahan di lorong, ia mengenakan jaket tipis dan kamus gelap. Jam di dinding menunjukkan pukul 00.37.
Papa keluar diam-diam? Mau kemana?
Aku pun menutup pintu pelan dan menarik hoodie, mengenakan kamus kaki, lalu keluar mengikuti jejak papa. Langkahku pelan seperti pencuri, walau berada di rumah nenek sendiri. Jantungku berdetak kencang.
Aku menyelinap lewat pintu samping dan mengikuti dari kejauhan. Papa berjalan menyusuri sisi rumah, ke arah pohon kamelia tua yang tumbuh dekat pagar belakang. Tempat yang gelap dan terlindung dari jangkauan cahaya utama.
Aku menahan napas saat suara lain menyambut di tengah malam.
Suara perempuan.
“Kenapa kamu suruh aku keluar juga?” lirih dan terburu-buru. Suara itu milik tante Hana.
“Karena aku tidak tahan, Hana,” balas Jihoon dengan suara rendah dan gemetar, “aku tidak tahan melihatmu duduk di samping Jisung seharian. Kamu tahu kan kalau aku mudah cemburu.”
Aku berdiri kaku di balik pohon. Malam terasa dingin, tapi tubuhnya semakin terasa panas.
Tante Hana menghela napas, “kamu pikir aku tahan? Setiap kali aku tatap wajahnya, aku merasa bersalah. Tapi waktu kamu lihat aku … segalanya jadi kabur lagi. Aku selalu terbayang wajahmu, Hoonie.”
Hoonie.
Panggilan sayang yang mama pakai untuk memanggil papa. Sekarang dipakai perempuan lain.
Aku merasa dunia berguncang. Aku ingin tidak percaya, tapi suaranya jelas. Semua ini nyata.
“Aku benci ini,” kata papa, “tapi aku lebih benci kalau harus kehilangan kamu. Aku tahu ini salah, tapi … kita saling mencintai.”
Hana diam sesaat, lalu berkata pelan, “kalau Yujin tahu, dia akan hancur.”
“Dia tidak akan tahu, dia tidak boleh tahu,” bisik Jihoon, “kita harus hati-hati.”
Lalu hening.
Aku tidak bisa melihat jelas, tapi aku tahu apa yang terjadi. Aku bisa mendengar napas mereka yang terdengar cepat dan gugup. Aku bisa membayangkan tatapan mereka yang begitu dekat. Mungkin mereka sedang berpelukan. Mungkin … lebih dari itu.
Aku ingin muntah.
Kakiku mundur perlahan sambil hidungku menahan napas. Sepasang sepatu Converse yang aku pakai menyentuh kerikil kecil, mengeluarkan bunyi krek. Aku langsung menahan langkah. Tidak ada yang bereaksi. Mungkin mereka terlalu sibuk bercumbu hingga tidak menghiraukan sekitar.
Aku pun berbalik dan kembali ke rumah, lalu menyelinap masuk kamar dengan hati bergemuruh. Kakiku rasanya seperti beku. Tapi di dadaku, amarah sudah membara. Bukan sekadar kecewa. Ini pengkhianatan.
...----------------...
Aku masuk ke kamar dan menutup pintu. Lalu tubuhku jatuh duduk di lantai dengan punggung menyandar ke dinding. Mataku rasanya seperti terbakar, tapi aku tidak menangis. Marah. Aku sangat marah.
Papa. Papaku yang selalu bicara soal keluarga. Papa yang selalu berkata, “jaga mama dengan baik, kamu anak sulung kebanggaan papa.” Papa yang pergi bekerja katanya demi masa depan mereka. Sekarang malah menghancurkan segalanya demi ego dan nafsu.
Dan Tante Hana?
Istri Paman Jisung. Mamanya Yewon. Bagaimana dia bisa begitu tega pada keluarganya sendiri? Pada keluargaku?
Aku memukul dinding dengan kepalan tangan. Suara duk membuat kepalaku sedikit lega.
Lalu, perlahan, aku bangkit dan menatap diriku di cermin dekat lemari. Mataku merah. Rahangku tegang.
Aku pun membuka ponsel ingin merekam sesuatu. Tapi jari-jariku gemetar. Akhirnya, aku Hanya menulis di notes.
Papa selingkuh dengan Tante Hana.
Aku dengar sendiri.
Aku lihat sendiri.
Aku akan jaga Mama.
Aku akan jaga Sunghan.
Aku tidak akan memaafkan mereka.
Aku menutup ponsel dan akhirnya menangis dalam diam. Tidak ada yang tahu malam itu bahwa aku sudah kehilangan sesuatu yang tak tergantikan, yaitu kepercayaan pada papa.
Dan aku tahu, setelah malam ini, aku tak akan pernah memandang papa dengan sama lagi.
...🥀🥀🥀🥀🥀...