kenyataan yang menyakitkan, bahwa ia bukanlah putra kandung jendral?. Diberikan kesempatan untuk mengungkapkan kebenaran yang terjadi, dan tentunya akan melakukannya dengan hati-hati. Apakah Lingyun Kai berhasil menyelamatkan keluarga istana?. Temukan jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Retto fuaia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
APA YANG HARUS DILAKUKAN
...***...
Satu Minggu telah berlalu, Lingyun Kai mencoba berjalan perlahan-lahan.
"Kakiku masih terasa kebas." Dalam hatinya masih merasakan kecemasan yang luar biasa. "Aku harus sembuh sebelum pesta minum teh hijau di kediaman ini." Ia mencoba menguatkan langkahnya. "Aku harus bisa."
"Selamat pagi tuan muda."
An Hong datang dengan membawa sarapan, dan air hangat.
"Selamat pagi."
Lingyun Kai menuju kursi biasanya ia duduk.
"Tuan muda, bagaimana?." Ia mendekati Lingyun Kai, duduk bersimpuh, setelah itu membasahi kaki kiri tuan mudanya dengan air hangat yang telah diberikan ramuan penyembuh. "Apakah ada perkembangan?."
Lingyun Kai hanya membalas mengetuk kepala An Hong dengan pelan.
"Aduh!."
"Jangan cemas, bukankah? Kau juga merawat aku?."
"Saya pasti akan merawat tuan muda dengan sepenuh hati."
"Terima kasih an hong."
An Hong hanya membalas dengan rasa hormat yang paling dalam.
"Selamat pagi nak."
"Selamat pagi ibu."
Selir Kangjian segera menghampiri Lingyun Kai yang masih dirawat oleh An Hong.
"Bagaimana keadaanmu? Apakah sudah merasa lebih baik?." Selir Kangjian mengambil bubur di piring, mengaduknya pelan, setelah itu menyuapi anak tirinya.
Lingyun Kai belum menjawabnya, ia menerima suapan itu dengan senang hati.
"Wajahmu sudah tidak pucat lagi." Selir Kangjian tersenyum kecil. "Ibu merasa lega."
"Terima kasih ibu selir." Ia memberi hormat. "Ramuan obat yang ibu selir berikan memang sangat manjur sekali."
"Syukurlah kalau begitu."
"Tubuh tuan muda juga terlihat lebih membaik." An Hong ikut berbicara. "Rasanya saya ingin menangis."
"Bocah nakal." Lingyun Kai menjentikkan jarinya tepat ke kening An Hong, sehingga pelayannya itu meringis kecil.
"Saya bersungguh-sungguh tuan muda." Regeknya.
"Hahaha!."
Lingyun Kai dan Selir Kangjian menanggapi itu dengan tawa.
...***...
Sementara itu di ruangan utama kediaman Jendral Xiao Chen Tao.
"Satu pekan lagi, kita akan mengadakan pesta minum teh hijau di sini." Nyonya Fengying tersenyum lembut. "Banyak tamu terhormat yang datang, termasuk permaisuri." Matanya menatap kedua anak laki-lakinya, dan suaminya. "Sudah saatnya kita menyingkirkan selir tak berguna itu."
"Memangnya? Ibu mau melakukan apa?."
"Sangat mudah sekali." Jawabnya. "Kita buat rencana, dia mendorong permaisuri ke kolam." Ia tersenyum lebar. "Dengan begitu, ia akan mendapatkan hukuman."
"Hukuman mati?." Tebak Jianhong.
"Bukan."
"Bukan?."
"Suamiku tuan jendral yang terhormat." Ia memberi hormat pada suaminya. "Mintalah belas kasihan pada kaisar, hukumannya lebih ringan."
"Hukuman lebih ringan?." Ulangnya. "Apakah kau mau mencelakai suamimu ini istriku?."
"Hahaha!."
Jianhong dan Junfeng malah tertawa melihat jendral Xiao Chen Tao memohon, dan merengek pada nyonya Fengying.
"Mintalah hukuman tangannya di potong saja." Ucapnya sambil menahan tawa. "Sebagai permintaan maaf yang tulus."
"Kenapa harus meminta hukuman itu ibu?." Jianhong heran. "Apakah ibu memiliki alasan tertentu?."
"Coba jelaskan ibu." Junfeng juga heran.
"Dengan alasan malu, tangannya puntung, maka ia tidak akan berani lagi keluar." Jawabnya dengan santai. "Dengan begitu ia tidak akan ke mana-mana lagi, mencari obat untuk anak tak berguna itu."
"Oh?."
Respon Jendral Xiao Chen Tao, jianhong dan Junfeng dengan cepat.
"Katanya dia sering keluar untuk mengobati kaki anaknya yang lumpuh." Jianhong mengingat informasi yang ia dapatkan. "Sementara di sini lainnya, kita memang menginginkan dia lumpuh seumur hidupnya."
"Ya, ya, ya." Junfeng tampak berpikir. "Saya mengerti maksud ibu."
"Baiklah." Jendral Xiao Chen Tao mengangguk kecil. "Akan aku lakukan, jika itu bisa membuatnya berhenti melakukan hal yang tidak kita inginkan sama sekali."
"Ibu memang pintar sekali."
Terlihat raut wajah yang sangat puas dari mereka semua.
...***...
Istana.
Pangeran pertama dan pangeran kedua sedang duduk bersama, membahas beberapa masalah antara mereka?.
"Kakak pertama, bagaimana ilmu pedang yang telah kau pelajari?." Pangeran Chaoxiang menuangkan air minum pada cangkir kecil. "Katanya jurus itu bernama tarian naga di dalam badai petir." Ia berusaha menahan tawanya. "Namanya cukup mengerikan juga." Ia serahkan cangkir kecil itu pada kakaknya.
Pangeran Jun Hie menerima cangkir kecil itu, dan meminumnya dengan pelan. Setelah itu menatap aneh pada adiknya, mencari celah yang tidak biasa.
"Ada apa kakak pertama?." Pangeran Chaoxiang heran. "Apakah ucapan ku tadi salah?."
"Kau tadi hampir tertawa." Jawabnya kesal. "Apakah kau mau mengejek nama jurus pedang yang telah aku pelajari?."
"Haiya!." Responnya. "Mana berani aku mengejek mu kak." Ia berusaha menahan tawanya. "Nama jurus mu itu sangat hebat sekali." Berusaha meyakinkan kakaknya. "Mendengar namanya saja membuat jantung ketar ketir."
"Hm!." Pangeran Jun Hie menarik nafas pelan. "Bagaimana denganmu? Katanya kau telah menemukan guru hebat."
"Saya harus ke sana."
"Ke sana? Ke mana?."
"Menemui guru ke bukit mawar berdarah."
"Untuk apa?."
"Menerima seluring keabadian."
"Kapan kau akan ke sana?."
"Besok pagi, bersama beberapa pengawal."
"Kau ingin aku ikut juga?."
"Kalau kakak tidak keberatan, aku ingin kakak pertama yang menemani aku ke sana."
"Aku minta izin pada ayah, juga guruku terlebih dahulu." Jawabnya sambil menjitak pelan kening adiknya. "Aku tidak ingin menimbulkan masalah nantinya."
"Baiklah, akan aku tunggu kabar baiknya."
...***...
Kediaman Mentri perdamaian dan ketahanan.
Saat itu di ruangan kerjanya Mentri perdamaian dan ketahanan menyandar manja di pangkuan istrinya.
"Akhir-akhir ini kau sibuk mengurus masalah di istana." Ucapnya sambil mengusap sayang kepala suaminya. "Apakah istana sedang mengalami masalah berat?."
"Masalah yang aku hadapi selalu itu saja." Ia menghela nafas pelan. "Selalu itu saja."
"Maksud tuan menteri? Masalah yang ditumbulkan oleh putra ketiga tuan jendral?."
"Hm." Ia menghela nafas berat. "Apalagi memangnya?." Ucapnya setengah kesal. Setelah itu bangkit, untuk duduk tenang di samping istrinya. "Anak jendral malah sembrono pergi ke rumah bordil secara terang-terangan."
"Semoga saja anak kita tidak melakukan perbuatan bodoh itu."
"Akan aku patahkan kakinya, jika berani mempermalukan aku dengan cara seperti itu!." Hati tuan mentri sedang dikuasai oleh amarah. "Aku tidak akan mengakuinya sebagai anak, dan akan bunuh dia di tempat."
"Bersabarlah tuan menteri." Ia mencoba menenangkan suaminya. "Jangan cepat marah seperti itu."
"Habisnya, aku sangat malu sekali." Rengek tuan menteri. "Anak yang telah aku besarkan dengan sepenuh hati, tapi? Malah mempermalukan aku dengan main ke rumah bordil?." Hatinya terasa berapi. "Bagaimana mungkin? Aku bisa bersabar?."
"Hahaha!." Ia tertawa melihat raut wajah tuan menteri yang sedang masam. "Bicara masalah anak." Tiba-tiba menghentikan tawanya. "Bagaimana dengan putri kita?." Hatinya mendadak sedih. "Usianya telah memasuki masa pernikahan." Menggenggam tangan suaminya dengan erat. "Tapi masih belum ada laki-laki yang mau meminangnya." Menatap suaminya dengan perasaan bercampur aduk." Apakah kita harus mencari jodoh untuknya?."
"Aku belum bisa memikirkan masalah itu sayang."
"Baiklah, lain kali kita bahas lagi."
Cup!.
Ia kecup tangan suaminya dengan penuh kasih sayang.
Apakah yang akan terjadi selanjutnya?. Bagaimana mereka menyelesaikan masalah?. Simak dengan baik kisahnya.
...***...
Tadinya kupikir Wu Xian beneran saudara lainnya Kai pas baru ngucapin nama, rupanya oh rupanya....
Waduh, kayaknya aku jadi salah fokus dan gak terlalu peduliin Si kai kenapa dan malah lebih fokus mengagumi kekuatan Si mbak! 😌🗿