Karena kesulitan ekonomi membuat Rustini pergi ke kota untuk bekerja sebagai pembantu, tapi dia merasa heran karena ternyata setelah datang ke kota dia diharuskan menikah secara siri dengan majikannya.
Dia lebih heran lagi karena tugasnya adalah menyusui bayi, padahal dia masih gadis dan belum pernah melahirkan.
"Gaji yang akan kamu dapatkan bisa tiga kali lipat dari biasanya, asal kamu mau menandatangani perjanjian yang sudah saya buat." Jarwo melemparkan map berisikan perjanjian kepada Rustini.
"Jadi pembantu saja harus menandatangani surat perjanjian segala ya, Tuan?"
Perjanjian apa yang sebenarnya dituliskan oleh Jarwo?
Bayi apa sebenarnya yang harus disusui oleh Rustini?
Gas baca, jangan lupa follow Mak Othor agar tak ketinggalan up-nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjanjian Bab 7
Pagi harinya Rustini merasa lemas sekali, karena tak ada di malam dia harus menyusui selama 1 jam lamanya. Dia sampai hampir pingsan, tak menyangka ternyata pekerjaan menyusui itu sangatlah menyita tenaga.
Namun, ada satu hal yang Rustini herankan. Saat pagi ini Rustini ingin menjalankan ibadah terhadap Sang Khalik, Ratih melarang wanita itu untuk salat. Wanita itu berkata kalau selama Rustini bekerja di rumahnya, Rustini tidak boleh mengaji dan juga salat. Pokoknya Rustini tidak boleh melakukan hal yang berhubungan dengan Tuhannya.
Saat Rustini berkata kenapa, Ratih hanya menjawab kalau Rustini cukup patuh tanpa bertanya apa-apa. Karena saat ini adalah uang yang berkuasa, jangan sampai dia murka dan nantinya Rustini tidak mendapatkan uang kembali.
Rustini sebenarnya tidak setuju jika dia tidak boleh beribadah di sana, tetapi karena uang sepuluh juta sudah dikirimkan ke kampung halamannya, dia tidak bisa berkata apa-apa. Apalagi ketika Ratih membakar mukena miliknya, dia hanya bisa diam sambil menangis.
"Pergilah ke dapur, aku sudah menyediakan banyak makanan di sana."
Ratih menghampiri Rustini yang berada di dalam kamarnya, kamar yang menurutnya sangat besar. Setelah selesai menyusui Rustini dibawa ke dalam kamar itu, Ratih berkata kalau kamar itu adalah kamar yang akan ditempati oleh Rustini.
Wanita itu akan masuk ke dalam kamar putra dari Ratih dan juga Jarwo ketika menyusui saja, itupun hanya satu minggu tiga kali.
"Iya, Nyonya."
Ratih menunjukkan di mana letak dapur berada, setelah mengetahui di mana letak dapur, Rustini melangkahkan kakinya ke dapur. Dia begitu kaget karena ternyata di dapur itu banyak wanita muda sesusianya, bahkan ada yang lebih muda lagi daripada dirinya.
Ada sekitar sepuluh orang di sana, semuanya cantik-cantik dan mereka sedang makan. Bahkan ada yang berpenampilan begitu seksi, di atas meja yang ada di dapur itu tersedia makanan yang enak-enak.
Ada daging panggang, ada ayam goreng, ada bebek goreng dan banyak lagi tumisan yang terlihat begitu enak di sana. Rustini sampai merasa kalau dia salah masuk, karena di sana juga banyak buah-buahan yang terlihat begitu enak.
"Duduklah, Mbak. Jangan ragu untuk makan enak, toh kita di sini harus bekerja keras. Wajar kalau kita diberikan makanan enak."
"Bekerja keras?"
Rustini belum paham dengan apa yang dikatakan oleh wanita itu, dia hanya bengong sambil menatap wanita-wanita cantik yang ada di sana. Mereka makan dengan lahap, seperti sudah biasa. Tak ada kecanggungan sama sekali.
"Ya, semua wanita yang ada di sini sudah seperti sapi perah. Kamu enak cuma nyusuin, aku---"
"Ehm!"
Seorang pelayan datang dan berdehem dengan keras, sepertinya wanita itu memang ditugaskan untuk memantau apa yang dilakukan dan apa yang dibicarakan oleh para wanita cantik yang ada di sana.
"Tini, kamu duduk dan makan. Atau perlu saya suapi?" tanya Bi Neneng.
"Eh? Nggak perlu, Tini bisa makan sendiri."
Rustini mengambil piring kosong yang ada di atas meja, lalu mengisinya dengan nasi dan lauk yang dia inginkan. Namun, saat dia makan, Rustini malah teringat kepada ayahnya.
Di sini dia disediakan makanan yang begitu enak, Rustini takut kalau bapaknya itu tidak bisa memakan makanan yang enak.
"Makanlah, jangan lebay!"
"Ah! Iya," ujar Rustini.
Walaupun terasa sulit untuk menelan makanan tersebut, tetapi akhirnya makanan yang ada di atas piringnya habis juga. Setelah makan dia disuruh untuk berolahraga, semua wanita yang ada di sana juga sama.
Setelah selesai semua wanita yang ada di sana kembali ke dalam kamar masing-masing, rumah megah itu memiliki empat lantai. Di lantai bawah ternyata khusus untuk para wanita yang tadi makan bersama dengan Rustini.
Untuk tempat menyusui, kamar itu ada di lantai 2. Kamar khusus untuk para perempuan itu bekerja, tentunya dengan perjanjian yang sama halnya dibuat oleh Rustini.
"Sebenarnya apa pekerjaan mereka semua? Apa iya tuan dan nyonya memiliki anak yang banyak? Apa mungkin mereka juga merupakan ibu susu dari anak-anak nyonya dan tuan? Apa anak nyonya itu kembar sebelas?" tanya Rustini dengan kebingungan yang luar biasa.
Rustini seharian hanya melamun saja, karena dia tak diberikan pekerjaan layaknya seorang pembantu. Dia hanya boleh berada di dalam kamar saja, dia tidak boleh keluar dari dalam kamar tanpa pengawasan dari bi Neneng.
Kalau dia mau keluar kamar, dia harus izin dulu terhadap bi Neneng. Itulah yang dikatakan oleh bi Neneng saat dia diantarkan masuk ke dalam kamar barunya.
Tap! Tap! Tap!
Saat Rustini sedang kebingungan, tiba-tiba saja dia mendengar derap langkah kaki melintasi kamarnya. Karena dia sungguh ingin keluar dari dalam kamar itu, akhirnya Rustini memberanikan diri untuk membuka pintu.
"Tu--- Tuan," panggil Rustini lirih.
Ya, yang melintas di depan kamar dari Rustini itu adalah Jarwo. Pria itu terlihat begitu rapi, seperti mau pergi. Dia bahkan memakai jas dan juga sepatu, pria itu langsung menolehkan wajahnya ke arah Rustini.
"Ada apa, Tini?"
"Anu, Tuan. Kalau saya mau main hanya untuk keliling pekarangan rumah boleh?"
"Nggak boleh, kamu hanya boleh ada di dalam kamar saja. Kalau sudah ada panggilan untuk makan atau menyusui, baru kamu boleh keluar dari dalam kamar."
Rustini menjadi sedih sekali mendengar apa yang dikatakan oleh Jarwo, karena ternyata hidup di rumah mewah itu tidaklah bebas. Padahal, hanya meminta untuk keluar dari dalam rumah itu saja. Itu pun hanya untuk berkeliling di halaman rumah itu.
"Kalau tidak ada yang mau dibicarakan lagi kamu boleh masuk ke dalam kamar," ujar Jarwo.
"Ehm! Kalau misalkan saya mau mengirim surat kepada bapak saya, apa boleh?"
"Boleh, nanti saya akan meminta Neneng untuk memberikan kamu kertas dan juga pulpen. Tapi, Neneng yang akan mengirimkan surat itu ke kantor pos."
"Iya, Tuan." Rustini tersenyum, setidaknya dia masih bisa mengirimkan surat kepada bapaknya di kampung halamannya.
**
Satu minggu sudah Rustini bekerja sebagai pembantu di kota, Sardi yang stroke itu hanya mampu mendoakan anaknya agar baik-baik saja di sana. Sri juga sama, dia selalu berharap agar keponakannya itu sehat dan melakukan pekerjaan dengan baik.
"Assalamualaikum, Bu. Ada surat nih."
Seorang petugas dari kantor pos datang, Sri dengan cepat menerima surat itu. Dia senang sekali menerima surat dari Rustini, dia menandatangani penerimaan surat itu dan langsung menghampiri Sardi yang tidur di ruang tengah.
"Dek! Bangun, ada surat dari Tini."
"Iya, kah?"
"Ya, kita baca sama-sama ya?"
"Ya," jawab Sardi.
Assalamualaikum Pak, Bude. Apa kabar? Semoga kalian sehat selalu, Tini juga baik. Tini sekarang sudah kerja di rumah tuan Jarwo, malahan Tini dijadikan istri siri sama dia. Sebagai mahar Tini meminta uang sebesar sepuluh juta, uangnya sudah Tini transfer ke nomor rekening Bude. Diambil ya, Bude. Buat bayar utang sama juragan Bahar. Biar tak punya hutang lagi.
"Ya Allah, apa benar Tini mengirimkan uang sebanyak itu ke rekening aku, Dek? Apa benar Tini jadi istri siri? Apa benar Tini mengirimkan uang itu untuk melunasi hutang ke juragan Bahar?" tanya Sri heran, kaget bercampur aduk menjadi satu.