"Biar saya yang menikahi Dira, Om."
"Apa? Gak bisa! Aku gak mau!"
***
Niat hati menerima dan bertunangan dengan Adnan adalah untuk membuat hati sang mantan panas, Indira malah mengalami nasib nahas. Menjelang pernikahan yang tinggal menghitung hari, Adnan malah kedapatan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Di saat yang bersamaan Rada—mantan kekasihnya, datang menawarkan diri untuk menjadi pengganti Adnan. Indira jelas menolak keras karena masih memiliki dendam, tetapi kedua orang tuanya malah mendukung sang mantan.
Apa yang harus Indira lakukan? Lantas, apa yang akan terjadi jika ia dan Rada benar-benar menjadi pasangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deshika Widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Balas Dendam
Suasana kantor Nuswantara Properti pagi itu cukup sibuk. Di ruangan tim desain, bunyi ketikan dan suara klik mouse saling bersahutan. Rada duduk di depan layar komputernya dengan kening berkerut. Seharusnya, pagi ini ia mulai mengerjakan desain tahap awal untuk proyek perumahan klaster elit yang ditargetkan rampung presentasinya minggu depan. Namun, sudah hampir lima belas menit ia belum memulai pekerjaan tersebut.
Pikirannya kacau karena satu kalimat dari Indira tadi pagi.
"Pokoknya kita harus pura-pura gak pernah kenal sebelumnya kalau di kantor. Jangan sampai orang kantor tahu kalau kita udah nikah. Aku gak mau dipecat!"
Suara itu masih saja menggema jelas di telinga Rada. Bahkan ekspresi serius sang istri pun masih terekam kuat di benaknya. Ia paham kekhawatiran Indira. Ia tahu betul bagaimana aturan ketat di Nuswantara terhadap hubungan asmara di lingkungan kerja, karena ia sendiri sudah membacanya sebelum menandatangani surat kontrak. Namun, kala itu Rada benar-benar tidak mengetahui jika Indira pun bekerja di tempat yang sama.
"Kalau tahu begini, lebih baik aku terima tawaran perusahaan lain!" gerutu pria itu pelan.
Sejujurnya ada beberapa perusahaan yang meminta Rada bergabung untuk menjadi tim desain. Hingga pilihannya jatuh pada Nuswantara Properti karena dianggap paling potensial untuk menunjang karir. Namun, siapa sangka pilihan itu justru menjadi masalah baru yang cukup berat untuk hubungan ia dan sang istri.
"Apa aku cari perusahaan lain?" gumamnya dalam hati. Namun, jika dipikir-pikir, itu terlalu beresiko karena Rada harus memulai dari 0 lagi. Sedangkan di Nuswantara Properti, ia hanya perlu menyelesaikan masa percobaan yang hanya tersisa 2 minggu lagi.
Huh, Rada benar-benar pusing!
Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba kembali ke desain yang harus diselesaikan. Namun, pikirannya malah makin kacau.
Semua orang di Nuswantara tahu jika kini Indira sudah menikah. Dan yang mereka tahu, Adnan lah yang menjadi suaminya. Sangat menyebalkan! Lalu, bagaimana dengannya? Apakah harus diam saja?
"Sumpah! Lama-lama bisa stres!" gerutunya pelan.
"Gimana, Rad? Ada kesulitan gak?"
Pria itu tersadar dan segera menoleh pada rekan satu ruangannya. "Oh, enggak. Aman, kok."
Ia tidak berdusta. Memang tidak ada yang sulit dalam pekerjaan yang tengah ia pegang. Hanya pikirannya saja yang menjadi hambatan.
"Okey, deh. Btw, jangan lupa rapat nanti siang, ya. Siap-siap karena kamu yang jelasin rencana desainnya nanti."
Pria tampan itu mengangguk, lalu kembali menatap layar komputer. Ia menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggung pada kursi empuk yang tengah diduduki.
"Kayaknya aku perlu bahas masalah ini lagi sama Dira nanti," gumamnya dalam hati.
***
Sinar mentari menyusup lembut melalui jendela besar restoran hotel tempat para tamu biasa menikmati makanan. Indira duduk sendirian di meja pojok, dikelilingi interior elegan dan aroma rempah dari hidangan yang terus berdatangan.
Sendok di tangannya hanya mendarat di atas nasi sejak tadi. Selera makannya sudah hilang karena saat tiba, tak sengaja menangkap dua sosok pengkhianat juga ada di sana.
Adnan dan Dita.
Ya, entah kenapa mereka bisa ada di hotel yang sama dengannya. Apa sengaja memata-mata, atau ingin tahu kondisi ia dan Rada pasca pernikahan? Jika benar, sungguh kurang kerjaan!
Mereka tampak duduk berdampingan, tertawa sambil sesekali menyuapi satu sama lain dengan gaya yang sangat menjijikan di mata Indira. Seolah tak ada orang lain di dunia ini selain mereka berdua.
“Cih!” Indira berdecih pelan, melipat tangan di dada sambil menyendarkan kepala ke punggung kursi. “Katanya mau berubah, ternyata tetap doyan sampah!”
Matanya masih tertuju pada punggung mereka. Entah kenapa, meski sudah menghapus Adnan dari hati dan pikirannya, melihat pria itu bersama Dita tetap saja menyulut amarah.
“Untung kita gak jadi nikah!” desisnya. "Harusnya orang kayak kalian itu musnah!"
Wanita cantik itu meraih gelas air putih dan meneguknya dengann kasar. Mencoba mengalihkan rasa geram. Namun, belum sempat meletakkan gelas kembali, suara getaran terdengar yang berasal dari ponsel di atas meja.
Satu pesan masuk dari kontak yang seharusnya sudah tidak ada.
[Kenapa? Kamu cemburu? Gak bisa kayak gini, ya, sama Rada?]
Emosi Indira makin naik hingga ke kepala. Bukan karena kalimatnya, tapi karena ia lupa memblokir nomor Dita. Sial! Wanita itu benar-benar licik. Kini sudah jelas, Dita pasti datang hanya untuk membuat masalah dengannya.
Indira mengepalkan tangan. Ia menatap layar ponsel dengan tatapan tajam. Jarinya hendak memilih fitur blokir pada kontak Dita. Namun sesaat kemudian, ia malah berubah pikiran.
"Tunggu ... bukannya ini bisa jadi senjataku buat balas dendam?"
Jika Dita ingin perang, maka Indira pun tidak akan tinggal diam. Kenapa harus memblokir jika bisa membuat wanita itu makin panas dengan ia memamerkan keromantisannya bersama Rada?
Ya, mungkin kini saatnya Indira berubah menjadi manusia yang diam-diam mematikan, bukan orang yang mudah dimanfaatkan seperti saat ia masih bersama Adnan.
Wanita itu menegakkan tubuh. Sudut bibirnya terangkat menyeringai. Ia mengambil ponsel, lalu jarinya menari di atas keyboard layar.
[Cemburu? Buat apa aku cemburu sama sampah, sedangkan aku sendiri punya berlian mahal?]
***
Ruang rapat lantai tiga Nuswantara Properti biasanya terasa netral dan dingin. Namun siang itu, hawa di dalamnya terasa sedikit berbeda bagi Rada. Pendingin ruangan bekerja maksimal, tapi telapak tangannya tetap basah oleh keringat.
Ia duduk di ujung kanan meja panjang dari kaca buram, dengan laptop terbuka dan beberapa print-out desain yang sudah ia revisi sejak tiga malam lalu.
Di hadapannya, duduk Bu Tiara—Manajer Proyek yang dikenal galak dan blak-blakan. Di sebelahnya, duduk Pak Hermawan—Kepala Divisi Perencaan dan Pengembangan, yang memiliki pandangan tajam terhadap sebuah pekerjaan. Beberapa staf senior pun turut hadir, duduk berjejer sambil menatap Rada penuh perhatian.
Jujur saja, situasi ini membuat Rada deg-degan, meski ia pernah bekerja di perusahaan dengan posisi serupa sebelumnya.
"Baiklah. Rapat ini kita mulai," ucap Bu Tiara tegas sembari membuka map merah tuanya. "Kamu sudah dapat brief-nya minggu lalu. Jadi, langsung saja, tunjukkan apa yang kamu rencanakan, Rada."
Rada mengangguk pelan. Ia berusaha menelan ludah yang entah mengapa terasa begitu pahit. Ia berdiri, lalu menekan pointer presentasinya. Slide demi slide muncul di layar besar di belakangnya.
"Terima kasih, Bu Tiara. Jadi, untuk Cluster Alam Raya ini, saya mengambil pendekatan tropis kontemporer. Fokus utamanya adalah keseimbangan antara ruang terbuka hijau dan bangunan minimalis. Setiap unit rumah akan mendapat pencahayaan alami maksimal dan sirkulasi udara silang."
Beberapa kepala mengangguk, tapi ekspresi mereka tetap netral.
Rada melanjutkan, "Saya mengusulkan untuk memasukkan unsur batu alam dan vertical garden sebagai aksen utama di bagian fasad. Lalu di area komunal, kita buat taman mini dengan gazebo kayu. Nanti juga ada kolam reflektif kecil di beberapa titik."
Ia berhenti sebentar, memastikan semua orang fokus pada penjelasannya.
"Mayoritas akan menggunakan material lokal untuk efisiensi, kecuali untuk aksen khusus di fasad yang akan kita sesuaikan dengan budget dari RAB. Saya sudah buat alternatif desainnya juga."
Beberapa staf mulai mencatat. Satu-dua orang bahkan tampak tertarik dengan penjelasan Rada.
"Bagus. Kelihatannya kamu sudah siap. Tapi tetap hati-hati di tahap DED, ya, Rad. Jangan sampai visual cantik tapi sulit untuk direalisasikan ke dalam bangunan." Pak Hermawan berkomentar, membuat Rada mengangguk mantap.
"Siap, Pak. Saya akan koordinasi dengan tim lapangan dan struktur sebelum masuk tahap itu."
Akhirnya Rada bisa bernapas lega setelah rapat benar-benar ditutup. Ia kembali ke ruangannya dengan hati yang sedikit lebih baik. Setidaknya keberhasilan ia mempresentasikan idenya di rapat tadi, cukup mengalihkan perhatian dari sang istri.
"Oh iya, Rad. Nanti habis pulang dari kantor, rencananya kita mau ke rumah salah satu staf yang baru nikah. Kamu mau ikut gak?" tanya salah satu rekan satu ruangan yang berhasil membuyarkan lamunan Rada.
"Boleh aja." Pria itu mengangguk tanpa ragu. "Emangnya siapa yang baru nikah?"
"Indira sama Adnan."
"Hah?"
mau berpaa kali pun mah gasken kan halal'