Aku sering mendengar orang berkata bahwa tato hanya diatas kulit.
“Jangan bergerak.”
Suara Drevian Vendrell terdengar pelan, tapi tegas di atas kepalaku.
Jarumnya menyentuh kulitku, dingin dan tajam.
Ini pertama kalinya aku ditato, tapi aku lebih sibuk memikirkan jarak tubuhnya yang terlalu dekat.
Aku bisa mencium aroma tinta, alkohol, dan... entah kenapa, dia.
Hangat. Menyebalkan. Tapi bikin aku mau tetap di sini.
“Aku suka caramu diam.” katanya tiba-tiba.
Aku hampir tertawa, tapi kutahan.
Dia memang begitu. Dingin, sok datar, seolah dunia hanya tentang seni dan tatonya.
Tapi aku tahu, pelan-pelan, dia juga sedang mengukir aku lebih dari sekadar di kulit.
Dan bodohnya, aku membiarkan dia melakukannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjalanan Singkat
Livia berdiri dibelakang Liora dan memegang bahunya
"Lio, kamu kenapa sedih?" tanya Livia
Livia menatap Drevian dan ingin menuduhnya membuat Liora bersedih seperti ingin menangis dan Ia mengernyit.
"Aku hanya berbagi cerita tentang masa lalu ku" ujar Drevian.
Livia mengangguk. Seperti yang Ia pikirkan bahwa Drevian menceritakan masa lalunya pada Liora. Dari gerak-gerik itu saja Livia sudah tahu kalau Drevian memiliki masa lalu yang kelam.
Para pelanggan sudah berdatangan. Livia segera melayani mereka. Membiarkan Liora dan Drevian duduk dimeja pojok.
Drevian kembali menyimpan novel roman yang Ia baca tadi tapi belum selesai. Ia menyimpannya dirak buku dengan rapi.
"Lio, mau ikut aku? Kita jalan-jalan ke pantai." ujar Drevian
Liora menggelengkan kepalanya, Ia tidak mau keluar rumah hari ini. Tapi dibalik rak, Livia mendengar itu dan menemui Liora lagi. Menyuruhnya untuk pergi. Ia tahu Liora juga butuh ketenangan.
"Pergilah Liora. Tak apa, aku bisa menjaga toko ini." ujar Livia.
Drevian mengangguk setuju.
"Apa tak apa kalau ke pantai pakai kemeja begini?" tanya Liora
"Apa masalahnya? Ini kan kemauan kita. Kita bukan mau berenang." tawa Drevian kecil.
Drevian menggenggam tangan Liora dan menuntunnya ke mobilnya lalu berpamitan dengan Livia.
Dimobil, Liora hanya diam. Jantungnya berdebar kencang. Tak biasanya Ia sedekat ini dengan laki-laki. Sementara Drevian malah tersenyum dan merasa Liora itu lucu.
Tak lama, Drevian memarkirkan mobilnya disebuah cafe. Ia turun duluan lalu membukakan pintu untuk Liora.
"Lah, kamu bilang ke pantai." ujar Liora
"Gak jadi. Kita ganti tempat saja." gumamnya
Liora mengernyit tapi Ia tetap mengikuti arahan Drevian meskipun plin-plan. Cafe itu mewah, ada orang yang sedang lamaran, ada yang pacaran dan ada juga beberapa keluarga.
Drevian duduk dan mengisyaratkan Liora untuk duduk didepannya. Pelayan memberikan menu, Liora terbelalak melihat harga menu yang mahal.
"Tidak apa, pesan saja. Aku yang bayar." ucap Drevian.
Liora menggelengkan kepalanya. Ia tak mau dianggap sebagai gadis yang tak mampu mengeluarkan uang dan hanya mengharapkan laki-laki untuk membayar.
Drevian mengambil menu itu dari tangan Liora dan memesan dua daging sapi panggang serta lemon tea
"Ini" ujar Drevian pada pelayan.
Pelayan lalu mencatat pesanan dan menyuruh mereka untuk menunggu.
"Itu mahal lho." ujar Liora
"Kenapa? Aku tak kebaratan untuk kanvasku" ujar Drevian
Liora ingin sekali memukul mulut Drevian saat itu juga. Ia tak senang jika terus-terusan dipanggil 'kanvas', dia kan juga punya nama.
"Kenapa? Kau tidak suka dengan panggilan itu?" tanya Drevian
"Aku punya nama, huh!" ujar Liora kesal.
Drevian tertawa kecil, Ia ingin sekali mengelus kepala Liora tapi Ia menahannya. Tak lama, pesanan pun datang. Daging sapi panggang dengan aroma bumbu rempah serta lemon tea dihidangkan diatas meja
"Selamat menikmati." ujar pelayan
Drevian memotong daging itu dengan pisau kecil lalu memakannya perlahan begitu juga dengan Liora.
Liora baru pertama kali ke cafe mewah seperti ini. Rasa makanannya benar-benar pas dengan harganya. Ada rupa ada harga kalau kata orang.
"Enak, kan?" tanya Drevian
"Iya, enak." balas Liora sambil mengunyah.
Setelah selesai makan, Drevian membersihkan mulutnya dengan tisu. Ia melihat ada serpihan bumbu dipinggir mulut Liora. Saat Ia mau mengusapnya, dengan cepat Liora menyingkirkan tangan Drevian
"Aku bisa sendiri." gerutunya
Liora lalu mengambil tisu dan membersihkan mulutnya. Drevian mengeluarkan dompetnya lalu pergi ke kasir dan membayar makan siang itu.
"Totalnya Rp.1.300.000, Pak." ujar kasir
Liora menganga. Jelas saja Ia tak pernah makan semahal itu dan ini hanya sepotong daging sapi ukuran sedang dengan lemon tea tapi harganya diluar jangkauan Liora.
"Ayo pergi."
Drevian meraih tangan Liora lalu kembali ke mobil. Disitu Liora diam saja, masih memikirkan harga tadi. Ia rasa Drevian berlebihan mentraktirnya.
"Kau tidak terlalu suka make-up, ya? Tapi kau suka menata rambutmu dengan pita kecil itu. Aku tahu kita harus kemana." ujar Drevian
Drevian mengemudikan mobilnya menuju mall milik ibunya. Mall itu besar dan terkenal dikota itu. Pelanggannya rata-rata orang yang banyak uang.
Liora turun dari mobil dan berjalan bersama Drevian masuk ke dalam
"Selamat datang, Tuan Vendrell." sapa salah satu karyawannya
Drevian mengangguk tanpa tersenyum. Semua karyawan disitu sudah mengetahui bahwa Drevian adalah anak dari pemilik mall itu, nyonya Vendrell.
Ibu Drevian jarang ke mall karena Ia juga harus mengurus rumah dan suaminya. Agar lebih praktis, Ibu Drevian memilih shoping dari ponsel supaya tak capek-capek lagi harus keluar rumah.
"Jadi mall ini punya ibu kamu?" tanya Liora
"Iya. Ibu jarang ada disini."
Drevian mengajak Liora ke toko khusus perlengkapan perempuan.
"Ini dia. Pasti kamu suka"
Drevian mengambil beberapa jedai kupu-kupu, pita rambut ala-ala korea berwarna pink, bando mutiara, dan beberapa ikat rambut lainnya.
Harganya dua kali lipat dari harga dipasar. Liora ingin menghentikan Drevian dan tak usah membeli perhiasan rambut itu. Tapi ia tahu bahwa Drevian susah untuk dihentikan.
"Ini, berapa semua harganya?" Drevian menyerahkan itu ke kasir
"Baik tuan, untuk totalnya semua Rp.800.000"
Drevian mengeluarkan dompetnya dan memberi uang Rp.100.000 sebanyak delapan lembar. Ia lalu memberikan perhiasan rambut itu pada Liora yang sudah dibungkus dengan paperbag.
"Terima kasih, tuan. Datang lagi, ya."
"Nona." tegur karyawan pada Liora
Liora tersenyum dan mengangguk. Para karyawan di mall itu terkejut dengan kedatangan Drevian. Tumben-tumbenan anak boss mereka datang dan membawa seorang gadis.
Mereka tahu kalau Drevian itu seniman tato terkenal di kota itu dan mereka juga tahu kalau orang tua Drevian tak merestui studio tatonya itu.
"Aku dengar Tuan Vendrell tak mentato sembarangan wanita. Dan katanya kalau wanita itu sudah ditatonya maka akan menjadi miliknya. Apa benar?" tanya karyawan pada temannya
"Iya benar. Tuan Vendrell tak sembarangan milih perempuan. Kau tahu kan kakak perempuannya begitu sensitive kepada perempuan yang gak benar mendekati adiknya itu. Tapi kalau aku lihat-lihat gadis itu sepertinya baik. Dia juga manis. Apa jangan-jangan itu pacarnya Tuan Vendrell?"
Kedua karyawan itu saling berpandangan. Mereka saja yang perempuan suka melihat Liora dengan gaya sederhananya dan hedon seperti perempuan lain yang mendekati Drevian.
Banyak karyawan yang melihat bagaimana Drevian memegang tangan Liora dengan lembut, Sentuhannya berbeda seperti Drevian takut kehilangan Liora.
"Terima kasih sudah berkunjung, Tuan."
"Terima kasih, Nona. Datang lagi, ya."
Ucap satpam sambil membungkuk. Drevian mengangguk dan Liora membalas tersenyum. Saat melihat Liora tersenyum, orang-orang di mall itu merasa Liora bak bidadari yang jatuh dari gentayangan. Ia begitu manis dan ramah, tak pernah mereka lihat ada perempuan selugu dan semanis ini.
Setelah dari mall, Drevian lalu mengantarkan Liora pulang ke toko bukunya. Sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB. Livia bergegas untuk menutup toko buku.
"Wah, sudah pulang. Kamu bawa apaan?" tanya Livia
"Ini dari Drevian. Kami dari mall ibunya." ucap Liora sambil memperlihatkan paperbag isi perhiasan rambut itu.
Livia mengangguk dan tersenyum. Liora memang gadis yang feminin. Bertolak belakang dengan Livia, rambutnya selalu bergaya wolf cut dan tidak mencerminkan sisi femininnya.
"Aku pamit pulang ya, Liora." ucap Drevian
"Makasih banyak. Kamu hati-hati"
Liora melambaikan tangannya pada Drevian saat Ia masuk ke mobil dan mulai menghilang perlahan.
"Anak orang kaya tapi tidak mendapatkan peran kasih sayang." ujar Livia tiba-tiba.
Liora lalu kembali ke kamarnya. Ia mengeluarkan jedai kupu-kupu, pita merah muda dan beberapa ikat rambut. Biasanya ini Ia beli dengan harga murah. Tapi hari ini bersama Drevian, harga ini naik bahkan mencapai tiga kali lipat.
Ia menyimpan pemberian Drevian itu dilemari riasnya. Perasaannya menjadi aneh seperti dia merasa hatinya mulai terbuka untuk Drevian.