NovelToon NovelToon
Jodoh Jalur Orang Dalam

Jodoh Jalur Orang Dalam

Status: sedang berlangsung
Genre:Hamil di luar nikah / Konflik etika / Selingkuh / Cinta Terlarang / Keluarga / Menikah Karena Anak
Popularitas:186
Nilai: 5
Nama Author: yesstory

Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Punya Incaran Baru

“Kamu beneran bisa jaga Arsa, Rik?” Nira bertanya sebelum ia berangkat bekerja.

Riki mengangguk. “Arsa anakku juga, Ra. Nggak mungkin aku punya niat jahat padanya.”

Walau ragu, tapi Nira tak punya pilihan. Ia tak bisa mengambil libur tiga hari untuk mengasuh Arsa selama Mbak Dewi ijin.

“Nanti aku video call deh kalau kamu nggak sibuk. Biar kamu tahu kalau Arsa baik-baik aja sama aku,” ucap Riki setengah menyindir.

Nira mengangguk. “Ya udah. Aku pamit kerja dulu.”

Nira melangkah, melewati Riki.

“Kamu nggak mau cium punggung tangan suami kamu, Ra?”

Langkah Nira terhenti di ambang pintu. Riki mendekat, berdiri di depan Nira. Menatap wajah cantik istrinya. Tangan Riki terulur, mengambil tangan Nira, meremat jemarinya, membawa kedua tangan Nira ke depan bibirnya lalu mengecup perlahan.

Nira terdiam.

“Aku tahu sikapku kemarin ke kamu sudah sangat keterlaluan. Maaf aja rasanya nggak cukup buat ngembaliin Niraku yang dulu. Nira yang mencintaiku dengan tulus, tak memandang apapun pekerjaanku.” Riki berucap pelan, menatap lembut wajah Nira.

“Maaf, aku belum bisa jadi suami yang kamu impikan. Tapi, aku ingin kamu memberiku kesempatan, Ra. Ijinkan aku untuk membuatmu kembali mencintaiku seperti dulu. Aku nggak suka seperti ini. Kita satu rumah, tapi kita asing satu sama lain. Aku masih sangat mencintaimu, Ra.”

Nira menghela napas panjang. Ia tarik tangannya. “Aku harus berangkat sekarang sebelum terjebak macet.” Nira menggeser tubuh Riki lalu pergi dari sana.

Riki menatap kepergian Nira dengan tatapan lesu. Sungguh ia tak ingin pernikahan mereka seperti ini. Ia takut kalau Nira meminta pisah darinya. Ia tak sanggup kehilangan Nira.

Riki berjalan menuju kamar tamu, tempat Nira tidur sejak ia berlaku kasar. Arsa masih tertidur di ranjang kecil sebelah ranjang Nira. Riki duduk di sisi ranjang. Mengusap sprei.

‘Kenapa aku bisa semarah itu sama Nira dan menyetubuhinya secara kasar di kamar ini? Di ranjang ini. Padahal dia hanya ingin aku bekerja. Dia juga nggak minta aku harus bekerja apa. Yang penting aku bekerja. Hanya itu yang Nira minta. Tapi apa balasanku?’

‘Aku justru emosi. Nggak terima dan merasa Nira merendahkanku. Gara-gara sikapku, Nira berubah. Ia tak lagi menikmati setiap sentuhanku. Ia dingin. Ia seperti patung. Dan aku nggak suka.’

Riki lantas menatap Arsa. ‘Papa akan berbuat apa aja agar Mamamu nggak pernah berpikir untuk minta pisah sama Papa, Nak. Papa ingin kita terus bersama.’

Ponsel Riki berdering. Riki mengambilnya dari kantong celana. Dahinya berkerut. Nomor tak dikenal.

“Halo. Iya, saya sendiri. Benarkah? Bisa, Pak. Baik, Pak. Terima kasih.”

Riki tersenyum sumringah. Ia menghampiri ranjang Arsa, mencium dahi putranya. “Mamamu akan senang dengan kabar ini, Nak.”

Arsa menggeliat. Riki gegas menepuk nepuk pahanya perlahan agar anaknya tertidur kembali. Setelah Arsa tertidur lagi, ia keluar dari kamar.

Ia mengetik pesan pada Nira.

[Sayang, aku dapat panggilan kerja.]

Nira yang baru saja sampai di rumah sakit, menghentikan langkahnya untuk mengambil ponsel di dalam tasnya.

Pesan dari Riki masuk. Bibir Nira tanpa sadar tersenyum. Ia tak membalas tapi mengucap syukur dalam hatinya. Tangannya mengelus perutnya yang sudah membuncit.

‘Ini rezeki kamu, Sayang.’

Nira melanjutkan langkah sambil memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Karena kurang fokus, ia menabrak seseorang.

“Eh ya ampun. Maaf, Mas. Aku nggak se—“ Nira melotot, melihat siapa yang ia tabrak. “Fauzan?”

Fauzan tersenyum ramah. “Hai.”

“Kamu … Aduh, maaf ya. Aku beneran nggak lihat jalan. Ada yang sakit?” Nira melihat Fauzan dari ujung kepala sampai kaki memastikan apa ada yang terluka.

Fauzan menggeleng. “Kamu nabraknya pelan banget. Aman kok. Nggak lecet,” kekehnya.

Nira mengangguk kaku. “Ah. Syukurlah. Maaf ya.”

“Aku nggak papa. Apa kabar?”

“Baik.”

Fauzan menatap perut Nira. Dahinya mengernyit. “Kamu masih belum melahirkan juga dari dulu, Nir?”

Nira sontak mengeplak lengan Fauzan. “Sembarangan aja!”

“Nah ini baru ada yang sakit.” Fauzan pura-pura meringis sambil mengusap lengannya.

“Kamu kemana aja, Zan? Ngehindarin aku ya?”

“Ngapain mesti ngehindarin kamu? Emang aku punya hutang sama kamu sampai aku harus menghindar?”

Nira mengangkat tangannya, hendak mengeplak kembali lengan Fauzan. Fauzan refleks mundur, terkekeh pelan.

“Habisnya kamu nggak pernah kelihatan.”

“Nanti deh aku ceritain kalau kamu mau makan siang sama aku. Tapi tenang aja. Hanya sebatas makan siang. Anggap aja sebagai perayaan atas kembalinya aku ke rumah sakit tercinta ini.”

“Kembali? Maksudnya?”

“Mau makan siang bareng nggak?” Fauzan balas bertanya.

“Makan siang doang ‘kan? Nggak ada modus?”

Fauzan tertawa pelan. “Nggak lah.” Fauzan mendekat lalu berbisik,” Aku punya incaran baru.”

Nira melotot. “Maksudnya?”

“Cerita ini ekslusif. Kamu orang pertama yang tahu. Tapi kita harus segera kerja. Jadi, aku mau cerita nanti kalau kamu mau makan bareng.”

“Eum, kita chattingan lagi aja nanti. Takutnya jadwal istirahat kita beda. Kamu masih pakai nomormu yang lama ‘kan?”

Fauzan mengangguk. “Oke.”

Dan disinilah Nira juga Fauzan berada. Di sebuah restoran padang yang tak jauh dari rumah sakit. Akhirnya mereka mendapat jam istirahat yang sama setelah satu minggu dari terakhir Fauzan mengajak Nira makan siang.

“Jadi, kamu di sana itu kerja atau godain perawat sana sih?” Nira berkata setelah Fauzan menceritakan kepindahan dirinya dari rumah sakit itu ke rumah sakit kota sebelah.

“Ya sambil menyelam minum air lah. Kerjaan aman, dapat incaran baru pula.”

“Dasar. Tapi, aku yakin sih dia pasti cantik.”

Fauzan mengangguk sambil mengunyah makanannya. “Kami lagi pendekatan sekarang. Baru pendekatan tapi udah diuji. Kami LDR deh.”

“Halah. Pacaran juga belum kok LDR.”

“Ya kalau masih pendekatan, tapi jauhan gini ya semua rencanaku gagal lah. Gimana bisa ngajak pacaran kalau nggak ketemu? Masa iya aku nembak lewat hp. Nggak lah. Bukan pria sejati itu.”

“Ya kamu ke sana. Usaha dikit lah sebagai pria sejati.”

“Terus habis itu, aku kembali lagi ke sini? Capek di aku dong.”

“Ya kalau cinta, nggak akan ngerasa capek.” Nira terdiam sendiri setelah mengucapkan kalimat yang muncul begitu saja lewat bibirnya.

Kalau cinta, nggak akan ngerasa capek. Tapi, Nira sendiri sudah merasa sangat lelah.

“Kita lihat aja lah ke depannya.” Suara Fauzan memutus lamunannya.

Nira tersenyum dan kembali menyuap makanannya.

“Awas. Terlalu lama mengungkapkan rasa, nanti kamu keduluan sama pria lain.”

Fauzan menatap Nira. “Kayak yang terjadi di antara kita?”

“Kita? Enggak juga. Dari awal aku emang cuma nganggep kamu sebagai teman. Kamu aja yang terbawa perasaan.”

“Ya gimana nggak terbawa perasaan kalau setiap hari, setiap saat kita bertemu, ngobrol bareng berdua. Lama-lama pasti ada ketertarikan lah.”

“Udah ah. Kok malah bahas masa lalu sih? Terus, gimana kira-kira pendekatan kalian? Ada tanda-tanda dia tertarik sama kamu nggak?” Nira dengan cepat mengalihkan pembicaraan.

Fauzan tersenyum tipis. Mereka lantas mengobrol layaknya teman yang sudah lama tak jumpa. Mungkin perasaan suka Fauzan pada Nira masih ada. Tapi, Fauzan tak ingin hubungan mereka memburuk. Ia sudah ikhlas. Selamanya Nira hanya akan menjadi temannya. Bukan jodohnya.

Tiga orang pria memasuki restoran. Salah satunya, menyapu pandangan dan terhenti saat melihat siapa yang duduk di salah satu kursi di ujung ruangan.

“Nira.”

1
Miu miu
Gak terasa waktu lewat begitu cepat saat baca cerita ini, terima kasih author!
ZodiacKiller
Ga sabar nunggu kelanjutannya thor, terus semangat ya!
yesstory: Terima kasih kak.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!