Arumi Bahira, seorang single mom dengan segala kesederhanaannya, semenjak berpisah dengan suaminya, dia harus bekerja banting tulang untuk membiayai hidup putrinya. Arumi memiliki butik, dan sering mendapatkan pesanan dari para pelanggannya.
Kedatangannya ke rumah keluarga Danendra, membuat dirinya di pertemukan dengan sosok anak kecil, yang meminta dirinya untuk menjadi ibunya.
"Aunty cangat cantik, mau nda jadi mama Lion? Papa Lion duda lho" ujar Rion menggemaskan.
"Eh"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kikoaiko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30
Sepanjang perjalanan menuju ke butik, mobil Alvaro melaju lambat, mengikuti irama percakapan mereka yang hangat dan penuh kelembutan. Arumi duduk dengan santai di kursi penumpang, sesekali melirik ke arah Alvaro yang fokus menyetir namun tetap menunjukkan kepeduliannya.
"Bagaimana pipi mu, sudah sembuh atau belum?" Alvaro bertanya, suaranya lembut namun terdengar sedikit khawatir.
Ia menoleh sejenak, menatap wajah Arumi yang masih terlihat sedikit memar. "Masih sedikit memar, tapi sudah tidak sakit kok," jawab Arumi dengan senyum yang mencoba menyembunyikan rasa sakit yang sebenarnya.
Alvaro mengulurkan tangan kanannya, lembut mengusap pipi Arumi yang sedikit memar. Sentuhan itu penuh dengan kasih dan kelembutan, namun ada kekuatan dalam genggamannya yang mengirimkan pesan perlindungan.
Dengan tatapan yang terbakar, Alvaro mencoba menanamkan semangat juang kepada Arumi. "Lain kali jangan sampai terluka, lawan saja siapapun yang menyakitimu, bila perlu bunuh saja sekalian biar tidak menjadi hama," ucapnya dengan suara berat, matanya menembus dalam ke mata Natasha, berusaha menyuntikkan keberanian.
Plak......
Tiba-tiba, Arumi dengan cepat mengangkat tangannya dan menampar lengan Alvaro. Suara tamparan itu menggema di dalam mobil.
Alvaro meringis kesakitan, wajahnya mengerut tidak percaya. "Aduhh... Kenapa kamu suka sekali memukulku?" Alvaro bertanya, nada suaranya mencampur aduk antara kesal dan bingung.
"Makanya kalau bicara jangan asal, Kamu mau menjadikan istrimu seorang pembunuh, huh? Bagaimana kalau aku di penjara?" ucap Arumi dengan suara tinggi, jelas terganggu. Wajahnya memerah, matanya memancarkan api kekesalan.
Alvaro mengusap lengan yang masih terasa perih, menatap Arumi dengan campuran rasa bersalah dan frustasi. Dia menyadari kalimatnya tadi terlalu ekstrem, dan itu jelas-jelas membuat istrinya tidak nyaman.
Atmosfer di dalam mobil itu berubah menjadi tegang, dengan Arumi masih dengan nafas yang terengah-engah dan Alvaro yang berusaha meredakan situasi.
"Kamu tenang saja, tidak akan ada yang berani memenjarakan mu" ucap Alvaro sombong.
"Apa karena kamu memiliki uang, sehingga kamu bisa seenaknya seperti ini?" tanya Arumi dengan penuh selidik.
"Nyatanya memang seperti itu nyonya. Hukum bisa di beli bagi mereka yang punya uang, itu sudah menjadi rahasia umum di negara ini" kata Alvaro.
Alvaro meraih bahu Arumi, dan merangkulnya. Sesekali dia mengusap kepala istrinya itu.
"Woilah, bisa tidak jangan seperti ini. Jantungku rasanya mau lompat" Batin Arumi merasakan jantungnya berdegub kencang.
"Aku tidak bermaksud menyuruhmu menjadi seorang pembunuh, aku hanya tidak mau kamu di perlakukan semena-mena oleh mantan suami mu dan keluarganya. Baik boleh, tapi jangan bod*h." ucap Alvaro.
Arumi mengangguk, tersenyum tipis, merasakan kehangatan dan keamanan dari suaminya. Ia tahu bahwa Alvaro selalu ada untuk melindunginya, dan kata-katanya menjadi semangat baru untuk menghadapi apapun yang mungkin datang mengganggu kebahagiaan mereka.
Di dalam mobil itu, di antara alunan musik radio yang lembut, ada janji yang tak terucapkan untuk selalu menjaga satu sama lain, bagaimanapun situasinya.
"Mas..."
"Kenapa?"
"Boleh lepas ngga tangannya? Kamu fokus nyetir aja jangan seperti ini"
"Memangnya kenapa? Aku masih bisa nyetir dengan satu tangan kok"
Arumi mendengus sebal suaminya itu tidak mengerti. Ia bukan tidak mau di rangkul oleh suaminya, hanya saja dari tadi jantungnya jedag jedug. Dia khawatir terkena serangan jantung.
"Kamu tau tidak sih, kalau dari tadi jantungku jedag jedug" pekik Arumi kesal, wajahnya memerah antara marah dan malu menjadi satu.
Namun berbeda dengan Alvaro, pria itu justru tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan istrinya.
Arumi tampak menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang memang berdegup tidak karuan. Wajahnya yang semula memerah karena marah kini terlihat semakin memerah karena malu.
Ia menatap suaminya dengan tatapan tajam, namun Alvaro hanya tertawa terbahak-bahak, menganggap pernyataan istrinya itu sebagai lelucon semata.
"Baru di peluk aja kamu sudah seperti ini, bagaimana kalau aku meminta hak ku? Bisa-bisa kamu pingsan" ejek Alvaro sambil masih terus tertawa.
Arumi yang mendengar itu semakin kesal, tangannya terkepal erat. Ia merasa dipermalukan oleh suaminya sendiri yang seolah-olah tidak memahami kecemasan yang ia rasakan.
"Alvaro, kamu ini...!" Arumi tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, frustrasi.
Alvaro akhirnya berhenti tertawa dan memandang istrinya dengan serius. Ia melihat wajah kesal istrinya.
Dengan lembut, Alvaro mengulurkan tangannya dan memeluk Arumi, "Maaf. Aku hanya bercanda. Aku tidak bermaksud membuatmu marah atau malu."
Arumi menenggelamkan wajahnya di dada suaminya, mencoba merasakan kehangatan yang bisa menenangkan hatinya yang jedag jedug. Dia tidak marah, hanya saja jantungnya tidak bisa di ajak kompromi.
Arumi dan Alvaro, sepasang suami istri yang selalu dipenuhi dengan tawa. Suasana dalam mobil mereka dipenuhi dengan canda gurau yang membuat perjalanan terasa singkat. Tak terasa, mobil itu sudah berhenti tepat di depan butik.
Sebelum membuka pintu mobil, Arumi menoleh kepada Alvaro dengan senyum mengembang. "Kamu hati-hati, jangan ngebut-ngebut nyetirnya," ujar Alvaro dengan nada mengingatkan, seraya tangannya lembut mencium punggung tangan suaminya yang masih memegang kemudi.
Alvaro membalas dengan tatapan penuh sayang. "Kamu juga hati-hati, jangan sampai terluka lagi," sahutnya lembut. Bibirnya menyentuh kening Arumi seolah memberi perisai melalui ciuman tersebut.
Alvaro selalu khawatir setiap kali Arumi keluar rumah, mengingat beberapa hari yang lalu, dan kejadian kemarin dengan mantan suaminya.
Arumi mengangguk, memahami kekhawatiran suaminya. Setelah itu, ia perlahan membuka pintu mobilnya dan turun. Namun, sebelum menutup pintu mobil, ia sempat menoleh sekali lagi dan memberikan senyum termanisnya kepada Alvaro, seakan itu adalah janji bahwa ia akan menjaga diri.
Alvaro membalas dengan lambaian tangan, mata mereka bertemu penuh arti sebelum akhirnya Arumi menutup pintu mobil, dan Alvaro melajukan kendaraannya meninggalkan tempat itu.
Setelah mobil Alvaro mengilang, Arumi masuk kedalam butik. Ia segera bersiap-siap untuk membuat pesanan baju pelanggannya.
*****
Sementara itu di sekolah, Bella dan Naka sedang bernyanyi bersama guru dan juga teman-teman sekelasnya.
"Potong bebek angca, angca di kuali, Naka minta makan, makan empat kali. Macuk ke mulut, macuk ke pelut.... Nyam, nyam, nyam, kenyang" Naka mengubah lirik lagunya, membuat Bella yang duduk di sampingnya menjadi kesal.
"Calah Naka, bukan cepelti itu nyanyinya. Makan, makan telus yang ada di pikilanmu itu, yang benal itu nona minta danca, danca empat kali, celong ke kili, celong ke kanan, lalalalalalal.... " omel Bella seraya membenarkan lirik lagu yang di nyanyikan Naka.
"Kamu yang calah, angcanya kan cudah di macak. Ngapain malah minta danca, halusnya makan aja angcanya, cayangkan cudah di macak nda ada yang makan. Dancanya nanti aja cetelah makan" ucap Naka membela diri.
Guru yang sejak tadi memperhatikan mereka, di buat melongo dengan ucapan Naka.
seharusnya ganti tanya Arumi
bagaimana servisku jg lbh enakan mana sm clara wkwkwk
Alvaro menyesal menghianati clara
kok minta jatah lagi sama arumi
itu mah suka al