Cerita ini untuk pembaca dewasa. Baca dengan bijak❗
Cherry Gabriella mengambil satu keputusan nekat yang mengubah seluruh hidupnya, menjadi ibu pengganti bagi pewaris berhati dingin, Trevor Spencer.
Namun, ketika bayi mungilnya lahir, Cherry tak sanggup menyerahkan darah dagingnya, meski harus diburu oleh pria yang bisa membeli segalanya… bahkan nyawanya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
“Kamu sudah siap?” tanya Cherry pada Arnold.
“Iya,” jawab anak itu mantap.
“Papa sebentar lagi turun,” ujar Cherry, mendengar langkah kaki di tangga. Suara berat itu pasti milik Trevor.
Benar saja, beberapa detik kemudian Trevor muncul di ruang makan. Begitu melihatnya, Cherry dan Arnold langsung menyanyikan lagu ulang tahun.
“Selamat ulang tahun!” seru Cherry riang.
“Selamat ulang tahun, Papa!” sambung Arnold dengan gembira, langsung memeluk ayahnya.
Namun Cherry bisa melihat rahang Trevor mengeras. Ia menelan ludah. Trevor marah. Tubuhnya gemetar karena gugup. Tatapan pria itu tajam, menusuk kue di tangannya seolah ingin melemparkannya ke lantai atau menghancurkannya di dinding.
Tapi karena Arnold ada di sana, Cherry tahu Trevor menahan diri. Ia tak akan melampiaskan amarahnya di depan anak mereka.
“Papa, aku dan Mama yang buat kue ini. Aku pilih warnanya, desainnya, terus aku juga yang tulis ‘selamat ulang tahun’ di atasnya biar lebih cantik,” ucap Arnold bangga.
Trevor menatap Cherry. “Siapa yang memberitahumu soal ini?” tanyanya datar, dingin. Suaranya membuat Cherry semakin gemetar. Arnold pun perlahan melepaskan pelukannya, seakan merasakan perubahan suasana di ruang makan.
“Trevor…” Cherry hanya bisa bergumam.
“Apakah Edwin? Akan kupatahkan lehernya,” ujar Trevor dingin sambil berbalik hendak pergi, tapi Cherry cepat-cepat meletakkan kue di meja dan menahannya.
“Trevor, tolong… nanti saja. Arnold ada di sini,” bisiknya memohon.
“Papa kenapa? Papa nggak suka kue buatan aku dan Mama?” tanya Arnold sedih.
“Tentu saja bukan begitu, sayang. Papa cuma terharu. Jadi jangan sedih, ya?” Cherry menenangkan lembut.
“Benarkah? Kalau begitu ayo kita makan kuenya!” ajak Arnold ceria.
“Iya, ayo.” Cherry tersenyum, menggandeng Arnold ke kursinya.
“Papa, duduk, dong,” kata Arnold pada ayahnya.
Cherry melirik Trevor. Pria itu akhirnya melangkah mendekat dan duduk. Cherry bergegas ke dapur, mengambil piring kecil dan sendok garpu, lalu meletakkannya di meja satu per satu. Setelah itu, ia mulai memotong kue.
“Sayang, mau potongan besar?” tanya Cherry.
“Iya!” jawab Arnold cepat.
Cherry memotong potongan besar untuk Arnold, lalu satu untuk dirinya, dan satu lagi untuk Trevor, meski ia tahu Trevor mungkin tak akan menyentuhnya.
“Papa, coba kuenya deh. Janji, enak!” bujuk Arnold.
Cherry melirik Trevor dengan gugup.
“Aku tidak lapar,” jawab Trevor datar.
“Coba sedikit aja, Pa. Aku yakin Papa bakal suka,” Arnold memaksa manja.
“Aku tidak mau makan, Nak,” jawab Trevor tegas.
Cherry kembali menelan ludah.
“Papa marah, ya? Karena aku dan Mama rayain ulang tahun Papa padahal Papa nggak mau?” tanya Arnold polos, membuat Cherry tersentak.
“Apakah Edwin juga yang bilang begitu padamu?” tanya Trevor lagi pada Cherry.
“Aku yang tanya sama dia,” jawab Cherry pelan.
“Papa, jangan marah sama Mama dan Paman Edwin. Kami cuma mau ngerayain ulang tahun Papa,” ucap Arnold, berusaha menenangkan suasana.
“Trevor, tolong. Nanti saja kita bicara. Nanti saja marahin aku. Kamu boleh lampiaskan semuanya padaku, asal jangan sekarang jangan di depan Arnold,” bisik Cherry memohon.
“Mama, Mama ngomong apa sama Papa?” tanya Arnold heran.
“Nggak apa-apa. Papa nggak bisa makan kue sekarang karena perutnya sakit, jadi biarkan saja, ya? Kita aja yang makan,” jawab Cherry cepat.
“Tapi Papa kayaknya marah. Aku lihat di internet, kalau Papa marah, harus dicium biar nggak marah lagi,” kata Arnold polos.
Cherry tertegun. “Coba aja, sayang. Siapa tahu berhasil,” katanya sambil tersenyum kaku.
“Papa, aku cium Papa biar Papa nggak marah lagi,” ucap Arnold sambil mencium pipi ayahnya.
Trevor tersenyum tipis, meski jelas itu senyum yang dipaksakan.
“Habiskan kuenya,” katanya.
“Papa juga harus makan,” sahut Arnold.
“Iya, sayang. Mama akan habiskan kuenya supaya kita bisa istirahat, oke?” jawab Cherry.
“Bukan itu maksudku. Maksudku, Mama juga harus cium Papa,” ucap Arnold polos, membuat Cherry langsung membelalak.
“A--apa?” Cherry nyaris tersedak kata-katanya.
“Mama juga cium Papa. Tapi karena Mama wanita nya Papa, ciumannya di bibir,” jelas Arnold penuh keyakinan.
Oh Tuhan, anak… kenapa kamu mempermalukanku di saat seperti ini?
“Nak, kamu ngomong apa sih?” Cherry berusaha tetap tenang.
“Mama cium Papa di bibir, biar Papa nggak marah lagi,” jawab Arnold polos.
“Cukup ciumanmu tadi aja, sayang. Papa udah nggak marah,” ujar Cherry cepat.
“Papa masih marah, kan, Pa?” tanya Arnold serius.
Tolong, Trevor. Bilang kamu nggak marah. Aku mohon. Tapi--ah, sudahlah, jangan bilang kamu masih marah.
“Iya, aku masih marah,” jawab Trevor tanpa ragu.
Ya ampun, seharusnya aku nggak berharap.
“Lihat, kan? Jadi Mama harus cium Papa sekarang. Aku tutup mata, deh,” kata Arnold sambil menutup matanya rapat-rapat.
“Tadi malam kamu tanya, apa yang bisa menghilangkan kemarahanku, kan?” ucap Trevor pada Cherry. “Aku bilang, tergantung siapa yang bikin aku marah. Dan untukmu… ini caranya.”
Cherry mengerutkan kening, tak mengerti.
“Mama, udah selesai belum?” tanya Arnold dari balik tangannya.
Sial… ayo cepat selesaikan ini. Ini juga salahku.
“Belum,” jawab Trevor pelan.
Cherry menghela napas panjang, lalu berdiri mendekati Trevor. Ia mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka hampir bersentuhan. Tatapannya jatuh pada bibir merah Trevor. Ia menelan ludah. Sangat menggoda.
Ia memiringkan kepala, memejamkan mata, lalu menekan bibirnya perlahan. Sentuhan lembut itu seperti aliran listrik hangat, menenangkan, dan anehnya… menyenangkan. Jangan bilang aku bakal kecanduan ciumannya?
Mata Cherry membesar ketika Trevor membalas ciuman itu, menghisap bibirnya dan menggigit pelan. Cherry tersentak, buru-buru menjauh. Astaga! Itu seharusnya cuma kecupan singkat!
“Sudah selesai, Pa?” tanya Arnold.
“Sudah. Kamu boleh buka matamu sekarang,” jawab Trevor santai.
Arnold membuka matanya dengan senyum puas.
Cherry kembali ke kursinya, menyuap kue tanpa suara. Ia butuh menenangkan jantungnya yang berdebar terlalu kencang.
Kue di piringnya sudah habis, sementara kue Trevor masih utuh. Cherry hendak mengambilnya, tapi Trevor menahan tangannya.
“Aku yang akan memakannya,” ucapnya tenang.
Cherry tak bisa berbuat apa-apa selain melepas piring itu.
“Hore! Papa mau makan kuenya! Berarti Papa udah nggak marah. Ciumanku sama Mama berhasil!” seru Arnold senang.
Cherry tersenyum canggung.
Trevor menatapnya sambil berkata, “Aku mau makan kuenya karena aku sudah tahu rasanya. Dan ternyata… enak.”
“Tapi Papa belum coba,” kata Arnold bingung.
“Bibir Mama-mu rasanya seperti kue, Nak. Enak sekali. Bikin aku pengen lagi,” ujar Trevor sambil menatap Cherry tajam. Cherry menelan ludah, wajahnya memanas.
“Selamat ulang tahun lagi, Papa!” seru Arnold.
“Terima kasih, Nak,” jawab Trevor lembut.
“Maaf ya, Papa. Kami nggak punya kado,” ucap Arnold menyesal.
“Kalian udah kasih kado terbaik buat Papa,” jawab Trevor sambil mengusap kepala anaknya.
**
Malamnya, Cherry menunggu Trevor di kamar. Ia ingin bicara dengannya. Begitu Trevor masuk, tatapan pria itu langsung menusuk. Cherry berdiri.
“Trevor,” panggilnya pelan.
“Apa saja yang Edwin bilang padamu?” tanya Trevor tanpa basa-basi.
“Semuanya,” jawab Cherry jujur.
“Akan kukirim bajingan itu ke neraka!” desis Trevor geram.
“Jangan. Kalau kamu lakukan itu, kamu akan kehilangan temanmu,” kata Cherry cepat.
“Siapa bilang dia temanku?”
“Kalau bukan teman, ya pengacara. Kalau kamu bunuh dia, kamu akan kehilangan pengacaramu,” ucap Cherry mengingatkan.
“Kamu sendiri sudah lulus dan jadi pengacara. Aku bisa pekerjakan kamu, lalu pecat dia,” balas Trevor dingin.
“Tapi aku harus fokus sama Arnold. Kalau aku kerja, aku bakal sibuk,” Cherry berargumen.
“Aku bisa pekerjakan orang lain untuk urus Arnold.”
“Trevor!” seru Cherry, sedikit frustrasi. “Apa yang harus Edwin lakukan supaya kamu nggak marah lagi?”
“Bunuh dirinya sendiri,” jawab Trevor datar.
“Trevor!” Cherry menatapnya tak percaya.
“Kamu bisa ganti hukumannya,” ujar Trevor tajam.
“Hukuman apa?” tanya Cherry ragu.
“Sama seperti yang harus kamu lakukan kalau kamu bikin aku marah,” ucap Trevor.
Cherry menelan ludah.
“A-aku nggak bisa berciuman,” bisiknya.
“Lakukan saja seperti empat tahun lalu,” balas Trevor lembut namun tegas.
Ingatan itu langsung muncul di benaknya saat Trevor menciumnya duluan. Ia diam saja waktu itu, tapi Trevor menyuruhnya meniru gerakannya, dan Cherry menurut.
Trevor kini sudah sangat dekat. Tangannya terangkat, memegang dagu Cherry, mengangkat wajahnya agar mata mereka sejajar. Tatapan pria itu turun ke bibirnya.
Apa dia mau melanjutkan ciuman tadi?
“Mama, Papa, kalian lagi ngapain?” suara Arnold tiba-tiba terdengar di pintu. Cherry spontan mendorong Trevor menjauh.