Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sisi lain Nisa bagi Dafa
Sore itu ,adalah Pertama kalinya Dafa berjalan berdua dengan Nisa ,apalagi sampai ia mengantarkannya di kontrakannya ,hal yang tidak pernah ia lakukan semenjak mereka kuliah di kampus ,dan kelas yang sama.
Dafa menyesap teh hangat yang disuguhkan Nisa sambil menyandarkan punggungnya ke dinding kontrakan yang—meski catnya sudah mengelupas di sana-sini—terasa nyaman seperti pelukan nenek yang kelewat gemuk tapi hangat banget. Udara sore itu lembut, angin berembus pelan lewat jendela yang cuma ditutupi tirai tipis bergambar kucing-kucing lucu. Ya, kucing. Bukan macan, bukan harimau, apalagi singa. Kucing. Lucu banget, sampai Dafa hampir lupa kalau dia dulu takut ngobrol sama Nisa.
“Jadi… lo dulu mikir selama ini gue galak?” tanya Nisa sambil nyengir, tangannya sibuk mengupas kacang goreng dari cangkangnya
Dafa nyengir juga, tapi agak malu-malu. “Iya, sih. Soalnya tiap ketemu di kampus, lo selalu kayak lagi ngelawan dunia. Muka masam, mata tajam, suara kayak lagi ngomong sama mesin ATM yang error.”
Nisa tertawa keras, sampai tetangga sebelah—Pak Juki yang lagi nyiram tanaman—ikut menoleh. “Itu karena gue emang lagi ngelawan dunia, Daf! Dunia kampus. Lo tau nggak, kemarin gue bersikap seperti itu untuk menjaga Reva ,karena aku tahu kamu selalu mendekatinya ,padahal ia sudah nikah sama Raka ."
"jadi selama ini ,Lo tahu kalau Reva sudah menikah ? kenapa lo nggak ngasih tahu gue,jadi kan gue tidak terlalu berharap sama dia ." Nisa tersenyum .
"Sengaja biar kamu tahu sendiri ."
“Wah, kamu ini memang bener bener ,bikin teman patah hati ," mendengar ucapan Dafa Nisa tertawa .
"Ngomong - ngomong lo suka nonton film apa sih ,untuk menghilangkan kejenuhan ?" Dafa mengalihkan pembicaraan .
"Drakor ."
"Jadi lo penggemar drama Korea juga?” Dafa terkejut. “Gue kira lo tipe yang cuma nonton dokumenter alam liar atau berita ekonomi.”
“Gue tipe yang nonton apa aja, asal ada subtitle-nya dan nggak bikin gue mikir terlalu keras. Kalau lagi capek, gue lebih milih lihat cowok ganteng Korea nangis di tengah hujan daripada baca buku ekonomi ,” jawab Nisa sambil memasukkan biji kacang yang baru ia kupas ke mulutnya .
Dafa ketawa. “Gue juga gitu! Tapi gue malu mengakuinnya. Takut dikira lemah.”
“Lemah gimana? Lo kira nangis bareng Do Min-joon itu tanda kelemahan? Itu tanda lo punya jiwa yang sensitif dan mampu merasakan cinta sejati yang melampaui ruang dan waktu!” ujar Nisa dramatis, tangannya masih sibuk mengupas kacang kulit ditangannya sambil sesekali mengangkat alis kayak tokoh antagonis di sinetron.
Dafa geleng-geleng kepala, tapi senyumnya nggak bisa berhenti. “Gue nggak nyangka lo se-humoris ini. Dulu gue mikir lo tipe yang ngomong ‘pedes Mulu ."
“Ya iyalah, di kampus emang harus gitu. Tapi di rumah? Di rumah gue manusia biasa yang suka ngemil, nonton YouTube, dan kadang ngobrol sama tanaman,” kata Nisa santai.
“Ngobrol sama tanaman?”
“Iya. Itu yang di pojokan—si Monstera—namanya Mbak Lala. Gue cerita ke dia tiap kali ada masalah. Dia pendengar yang baik, nggak pernah menyela, apalagi nyebar gosip.”
Dafa nyaris tersedak teh. “Serius?”
“Serius banget. Bahkan kemarin gue curhat soal mantan yang balik lagi minta balikan. Mbak Lala cuma diam, tapi gue yakin dia mikir, ‘Dasar cowok nggak punya malu!’”
Keduanya tertawa sampai perut kram. Dafa merasa seperti udah kenal Nisa seumur hidup, bukan cuma rekan kampus yang selama ini cuma disapa “Hai” dan “Makasih” di kelasnya
“Ngomong-ngomong soal mantan…” Dafa mulai penasaran. “Lo pernah pacaran lama?”
Nisa mengangkat bahu. “Pernah. Tiga tahun. Putus karena dia nggak suka gue masak pedas. Katanya, ‘Nisa, kamu terlalu banyak cabai, kayak hidup kita.’ Gue jawab, ‘Kalau hidup kita nggak pedas, buat apa hidup?’ Terus dia kabur kayak dikejar setan.”
Dafa terbahak. “Itu alasan paling absurd yang pernah gue dengar.”
“Tapi bener, Daf. Cinta itu kayak masakan. Harus ada garam, ada gula, ada asam, dan jangan lupa—cabai! Kalau semuanya manis doang, nanti enek.”
“Wah, filosofi hidup level master chef,” goda Dafa.
“Gue memang master chef di dapur kecil gue,” jawab Nisa tertawa ,sehingga membuat dia tersedak
Dafa buru-buru ambil air minum di dekatnya dan menyodorkannya.
"Terimakasih “
"iya ,Ternyata Lo orangnya asik , Nis. Gue jadi nyesel nggak ngajak ngobrol dari dulu.”
“Yaudah, mulai sekarang lo boleh datang tiap minggu. Asal bawa camilan atau Boba ” seloroh Nisa.
“Deal! Tapi gue bawa mie instan aja, ya? Soalnya dompet lagi kritis.”
“Mie instan? Serius? Gue kira lo bakal bawa brownies atau minimal es krim.”
“Gue mahasiswa abadi, Nis. Kalau gaji belum masuk, mie instan adalah makanan paling mewah di dunia.”
Nisa menghela napas pura-pura sedih. “Kasihan banget lo. Tapi gapapa, gue terima. Asal lo janji nggak nambahin kecap manis ke mie gue. Itu dosa besar.”
“Woi, kecap manis itu penyelamat hidup! Lo nggak boleh hina kecap manis!”
“Gue hina, dan gue bangga!” tantang Nisa tertawa
"Ngomong - ngomong soal mie instan,aku lapar ,elo punya stock nggak ? gue janji besok aku akan ganti ."
“Ada ,ya sudah, Kita bikin mie instan versi fusion. Telur, sawi, sambal, dan… kecap manis dikit aja, ya?”
“Dikit banget. Kayak dosa kecil yang masih bisa diampuni,” kata Nisa.
Sambil menunggu mie matang, mereka lanjut ngobrol tentang hal-hal receh: film horor yang bikin ngakak, tetangga yang punya ayam tapi nggak pernah bagi telur, sampai teori konspirasi kalau kopi sachet sebenarnya dikendalikan alien biar manusia nggak tidur dan terus kerja.
“Lo percaya alien?” tanya Dafa.
“Kalau nggak percaya, kenapa tiap gue minum kopi, mata gue langsung melek kayak lagi dikejar utang? Itu pasti teknologi luar angkasa,” jawab Nisa mantap.
Dafa cuma bisa geleng-geleng sambil ketawa. Rasanya seperti beban yang selama ini dia pikul—rasa takut dianggap bodoh, takut salah bicara, takut nggak diterima—perlahan-lahan menguap. Di sini, di kontrakan kecil yang berantakan tapi penuh tawa ini, dia bisa jadi dirinya sendiri.
“Nis,” kata Dafa pelan, “lo tau nggak, gue dulu mikir lo nggak suka sama gue.”
Nisa berhenti mengaduk mie. “Kenapa?”
“Soalnya tiap gue lewat, lo nggak pernah senyum. Bahkan setip aku dekat Ama Reva ,elo galak dan ngusir gue."
“Oh itu…” Nisa tersenyum kecil. “Gue lagi dalam versi menjaga sahabat gue ,Daf. Bukan karena gue nggak suka lo. Jujur, gue malah mikir mimik wajah lo lucu pas aku usir untuk menjauhi Reva ,Tapi gue takut ketawa, nanti lo malu.”
Dafa terdiam sebentar, lalu tertawa. “Jadi selama ini kita kayak dua orang yang main tebak-tebakan perasaan, tapi nggak pernah ngomong langsung?”
“Iya. Manusia emang aneh, ya? Takut salah ngomong, takut disalahpahami, takut… jadi teman.”
“Tapi sekarang kita udah jadi teman, kan?”
Nisa menatap Dafa, lalu mengangguk. “Iya. Dan gue janji, mulai besok di kampus, gue bakal senyum pas ketemu lo. Asal lo janji nggak Bakal ganggu hubungan Reva Ama Raka ,mereka berhak bahagia ”
“Deal,” kata Dafa sambil menjabat tangan Nisa—tapi karena tangan Nisa masih pegang sendok mie, jadinya mereka bersalaman sambil pegang sendok. Lucu banget.
Mereka makan mie berdua di lantai, piringnya cuma pake mangkuk plastik, tapi rasanya kayak makan di restoran bintang lima. Mungkin karena ada tawa, ada canda, dan ada rasa lega karena akhirnya menemukan seseorang yang bisa diajak jadi diri sendiri tanpa takut dihakimi.
Saat senja mulai menguning dan suara adzan maghrib berkumandang dari masjid dekat kontrakan, Dafa berdiri dan bersiap pulang.
“Makasih ya, Nis. Gue pulang dulu.”
“Sama-sama. Jangan lupa, minggu depan bawa mie rasa soto. Gue penasaran gimana rasanya.”
“Siap, komandan!”
Dafa melangkah keluar dengan hati ringan. Di perjalanan pulang, dia tersenyum sendiri. Siapa sangka, di balik wajah ‘galak’ Nisa, ternyata ada seorang teman yang hangat, lucu, dan suka ngobrol sama tanaman.