Hari yang seharusnya menjadi momen terindah bagi Hanum berubah menjadi mimpi buruk. Tepat menjelang persalinan, ia memergoki perselingkuhan suaminya. Pertengkaran berujung tragedi, bayinya tak terselamatkan, dan Hanum diceraikan dengan kejam. Dalam luka yang dalam, Hanum diminta menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda, Abraham Biantara yaitu pria matang yang baru kehilangan istri saat melahirkan. Dua jiwa yang sama-sama terluka dipertemukan oleh takdir dan tangis seorang bayi. Bahkan, keduanya dipaksa menikah demi seorang bayi.
Mampukah Hanum menemukan kembali arti hidup dan cinta di balik peran barunya sebagai ibu susu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Pemilik Sketsa itu...
Setelah sarapan selesai, pengasuh kembali menghampiri untuk membawa Kevin ke kamar agar bisa beristirahat. Hanum sempat enggan melepaskan si kecil, tapi Abraham sendiri yang mengambil alih dan menyerahkannya dengan penuh kehati-hatian. Tatapannya masih melekat pada Hanum yang tampak begitu keibuan saat menggenggam tangan mungil Kevin.
Ketika meja makan mulai dibereskan, Hanum bersiap untuk kembali ke kamarnya. Namun, Abraham menghentikannya dengan nada tenang tapi penuh wibawa.
“Hanum,” panggilnya sambil berdiri tegak di depan pintu keluar ruang makan.
“Ikut aku ke ruang kerja. Ada hal yang ingin kubicarakan.”
Hanum menatapnya ragu. “Tapi, Mas Bian … bukankah ini jam kerjamu? Kau pasti sibuk...”
“Aku memang sibuk,” potong Abraham cepat. “Tapi tidak terlalu sibuk untuk mengabaikan istriku.”
Kata-kata itu membuat Hanum terdiam, pipinya kembali merona. Tanpa banyak bantahan lagi, ia akhirnya mengikutinya.
Di ruang kerja yang luas, Hanum duduk di kursi tamu yang empuk, sementara Abraham membuka beberapa berkas di mejanya. Namun, bukannya langsung sibuk bekerja, ia justru melirik Hanum dari balik kertas.
“Kau tahu,” ucapnya tiba-tiba, “aku masih penasaran tentang sketsa yang kutemukan di meja ini sebulan lalu. Sketsa itu … luar biasa detail. Mirip dengan gaya desain yang pernah kupelajari. Aku ingin tahu siapa pemiliknya.”
Hanum terkejut, tangannya refleks meremas kain blusnya. Itu memang hasil karyanya yang tertinggal hari itu, tapi ia belum berani mengaku.
“Aku tidak tahu,” jawab Hanum berusaha tenang. “Mungkin milik salah satu tim desainmu.”
Abraham menyipitkan mata, seolah mencoba membaca wajahnya. Tapi kemudian ia hanya tersenyum samar. “Entahlah ... padahal aku hanya berharap bisa bertemu pemiliknya, karena aku ingin mengajaknya bekerja sama lebih jauh.”
Hanum terdia, untuk mengalihkan suasana, Abraham berdiri dari kursinya dan berjalan mendekat. Dia berhenti tepat di depan Hanum, membuat jarak mereka begitu dekat. “Ngomong-ngomong … aku berpikir untuk menjadwalkan hari ini sedikit berbeda.”
Hanum mendongak. “Berbeda bagaimana?”
“Aku ingin kau menemaniku seharian,” jawab Abraham tanpa ragu. “Ada pertemuan dengan tim proyek baru siang nanti. Biasanya aku hanya membawa Julio atau sekretarisku yang lain. Tapi kali ini … aku ingin kau ikut. Anggap saja sebagai … bentuk perkenalanmu dengan dunia kerjaku.”
Hanum terbelalak. “Aku? Tapi aku bukan siapa-siapa di perusahaanmu, Mas. Kehadiranku bisa..."
“Kau adalah istriku,” potong Abraham dengan nada tegas. “Dan itu lebih dari cukup. Mereka harus tahu siapa wanita yang berdiri di sisiku.”
Hanum terdiam, tidak bisa membantah. Dia tahu Abraham tidak pernah berbicara sembarangan, apalagi dengan tatapan setajam itu.
Siang harinya, sesuai perkataan Abraham, Hanum ikut menghadiri pertemuan dengan para petinggi perusahaan. Semua orang tampak terkejut ketika melihat Hanum masuk ruangan bersama Abraham. Beberapa bahkan berbisik-bisik pelan.
Abraham tak peduli. Ia dengan santai menarik kursi di sebelahnya untuk Hanum, lalu berkata lantang, “Mulai hari ini, apapun yang kubicarakan di ruangan ini, istriku berhak mendengarnya. Anggap saja Hanum bagian dari tim inti.”
Hanum merasa jantungnya berdegup kencang. Dia berusaha menutupi rasa canggungnya dengan duduk tenang, meskipun tatapan para eksekutif begitu menusuk. Rapat berjalan serius. Abraham menjelaskan berbagai strategi, sementara Hanum diam, sesekali mencatat poin-poin penting di sebuah kertas kecil.
Namun, kejutan terjadi ketika salah satu direktur menunjukkan konsep desain baru untuk proyek mendatang. Abraham tampak kurang puas, dan tanpa sadar, Hanum memberi sedikit masukan.
“Seandainya struktur utamanya diperkuat dengan pilar tambahan di sisi timur, aku rasa distribusi bebannya akan lebih stabil. Selain itu, jika materialnya diganti dengan bahan yang lebih ramah lingkungan, biayanya bisa ditekan.”
Semua mata langsung tertuju padanya. Hanum menyadari dirinya sudah kelewatan bicara. Namun Abraham justru menatapnya dengan penuh perhatian, bahkan matanya berbinar.
“Itu masukan yang sangat bagus,” ucapnya lantang. “Catat itu, kita akan mempertimbangkannya.”
Ruangan mendadak hening, lalu kembali sibuk mencatat. Hanum menunduk, pipinya panas karena malu. Sementara Abraham, dalam diam, justru semakin yakin sketsa yang ia temukan dulu, pasti milik Hanum. Sepulangnya dari pertemuan, Abraham mengajak Hanum langsung kembali ke rumah tanpa mampir ke kantor pusat.
Di dalam mobil, Abraham bersandar dengan senyum samar. “Kau membuatku bangga hari ini.”
Hanum meliriknya cepat, lalu kembali menatap jalan. “Aku tidak bermaksud ikut campur, hanya kebetulan saja.”
“Tidak, Hanum.” Abraham menoleh penuh, menatapnya dalam. “Itu bukan kebetulan. Kau memang punya kemampuan. Dan mulai sekarang, aku tidak akan membiarkanmu terus bersembunyi di balik bayang-bayang. Kau akan berdiri di sisiku, sebagai istri … dan sebagai wanita yang berbakat.”
Hanum tercekat, dia tidak tahu harus menjawab apa. Namun jauh di dalam hatinya, ada rasa hangat yang sulit dijelaskan. Untuk pertama kalinya, ia merasa keberadaannya benar-benar dihargai.
[Tuan, benar sketsa itu milik Nyonya. Nyonya Hanum yang menggambarnya,] pesan singkat dikirim oleh Julio yang tengah memeriksa cctv ruangan CEO, bibir Abraham melengkung seperti bulan sabit dia tersenyum.
"Hanum,"
"Hemm," Dia menoleh ke arah suaminya, Abraham langsung menarik leher Hanum dan menempelkan bibirnya pada bibir ranum Hanum, hingga kedua mata Hanum melebar mendapati sikap yang tiba-tiba itu.
Hanum.bisa loh nakhlukin ranio
waspada Abraham
Istri mu nggak kaleng2 Biiii 👏👏👏