NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Ternodai

Cahaya Yang Ternodai

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / One Night Stand / Romansa / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:399
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.

Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.

Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.

Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

20. Meminta Maaf

Malam itu, setelah mereka duduk berdua di bangku taman, Rayven menarik napas panjang. Matanya menatap Alendra dengan pandangan yang berat, penuh penyesalan.

“Len… gue harus minta maaf,” suaranya serak, nyaris pecah. “Gue… gue nggak pernah bermaksud ngelakuin semua itu sama Lo. Malam itu… gue dipengaruhi obat perangsang, dan gue… gue mabok. Itu bukan alasan, Len… tapi itu kenyataannya. Gue nggak sadar sepenuhnya, gue kehilangan kendali.”

Alendra menatapnya lama, matanya berkaca-kaca. Suaranya pelan, tapi tajam dengan kekecewaan yang masih membekas di hatinya. “Ray… gue jujur… gue sangat kecewa sama Lo malam itu. Lo… Lo melecehkan gue. Lo bikin gue kehilangan kendali atas tubuh gue, masa depan gue… Gue bahkan sudah berteriak, minta dilepas… tapi Lo nggak mengindahkan teriakanku. Gue… gue merasa hancur, Ray.”

Rayven menunduk, menahan rasa bersalah yang menyesakkan dadanya. Ia menggenggam tangan Alendra dengan lembut, menatap wajahnya penuh penyesalan. “Len… gue tahu, gue sadar semua itu salah besar. Gue… gue nyesel banget. Gue nyesel karena bikin Lo sakit, karena nyakitin Lo… karena bikin Lo kehilangan kendali dan merasa hancur. Gue harus tanggung jawab, Len. Semua ini… gue harus hadapin konsekuensinya.”

Alendra menelan ludah, menunduk menahan air matanya. “Gue… gue udah mencoba ikhlas, Ray. Nasi sudah menjadi bubur… gue gak bisa ubah apa yang udah terjadi. Tapi… jujur, masih ada kekecewaan di hati gue. Gue cuma mau… gue mau Lo tahu seberapa berat malam itu buat gue.”

Rayven menekuk tubuhnya sedikit, menundukkan kepala, suaranya nyaris patah. “Gue ngerti, Len… gue nyesel banget. Gue akan bertanggung jawab. Gue nggak bakal lari dari Lo dan anak kita. Gue bakal jujur sama Lo, sama keluarga gue, sama semua yang perlu tau. Gue bakal hadapi semuanya. Gue janji… gue bakal ada buat Lo, selalu.”

Alendra menatap mata Rayven, dada berdebar campur aduk—antara sakit hati, lega, dan harapan. “Gue percaya sama Lo… tapi gue masih takut, Ray. Gue takut masa depan… tapi gue mau hadapi semua ini sama Lo, walau berat.”

Rayven mencondongkan tubuhnya, memeluk Alendra erat. “Lo nggak sendirian, Len. Gue bakal ada di sisi Lo… di sisi anak kita. Kita jalani semua ini bareng-bareng. Gue janji, Len.”

Di bawah cahaya lampu taman yang temaram, malam itu terasa panjang, sunyi, tapi hangat. Dua hati yang pernah terluka kini perlahan mulai menemukan titik harapan—awal baru yang berat tapi nyata, di mana kejujuran, penyesalan, dan tanggung jawab menjadi fondasi bagi mereka dan anak yang akan lahir.

Setelah perbincangan panjang di bangku taman dekat cafe, Alendra menarik napas dalam. Malam itu sunyi, lampu taman temaram, dan hanya terdengar sesekali suara daun tertiup angin. Hatinya masih berkecamuk—antara lega karena Rayven akhirnya jujur, kecewa karena luka yang ia alami, dan cemas memikirkan masa depan.

“Gue harus pulang sekarang,” katanya pelan, mencoba tersenyum tipis, meski getaran di bibirnya tak bisa sepenuhnya disembunyikan.

Rayven menatapnya lama. “Lo mau gue anterin?” tanyanya lembut, matanya menatap Alendra penuh perhatian.

Alendra menggeleng. “Nggak usah, Ray… gue lebih baik pulang sendiri.” Ia menatap sekeliling taman, berpikir tentang lingkungan padat penduduk tempat tinggalnya. “Lingkungan gue padat penduduk. Gue nggak mau Lo jadi bahan gosip tetangga kalau Lo anter gue malam-malam. Apalagi suara motor Lo… bising banget.”

Rayven menghela napas panjang, menahan kecewa. Ia menatap Alendra sebentar, lalu tersenyum tipis. “Kalau Lo yakin… hati-hati, ya. Lo jalan pelan aja, jangan capek.”

Alendra tersenyum tipis kembali, lalu menuntun sepeda onthelnya dari parkiran taman. Ban sepeda menggerus aspal, suara roda yang berdecit lembut terdengar di malam yang sepi. Sepeda onthel itu bukan kendaraan cepat, tapi malam itu, perlahan tapi pasti, Alendra merasa lebih tenang bisa mengayuh sendiri, membiarkan pikiran dan emosinya sedikit mereda dengan setiap putaran roda.

Setiap kayuhan membawa Alendra lebih jauh dari cafe, tapi juga lebih dekat ke kenyataan yang harus ia hadapi—anak yang sedang ia kandung, tanggung jawab yang menanti, dan perasaan yang belum sepenuhnya sembuh.

Di sepanjang jalan, suasana malam terasa sunyi dan panjang. Lampu jalan yang temaram menciptakan bayangan panjang di dinding rumah-rumah, membuat jalanan gang terlihat sepi dan hening. Alendra menahan napas setiap kali melewati tikungan gelap, sementara angin malam yang dingin menyapu wajahnya. Ia merasakan getaran di dadanya, campuran takut, lega, dan kekecewaan.

Ia masih bisa mengingat malam itu—ketika Rayven menyerangnya dalam keadaan mabuk dan dipengaruhi obat perangsang. Ia masih mendengar suaranya sendiri yang memekik, memohon dilepaskan, tapi tidak diindahkan. Luka itu masih membekas di tubuh dan hatinya, dan meski kini Rayven sudah minta maaf dan berjanji akan tanggung jawab, rasa kecewa itu belum sepenuhnya hilang.

Namun, perlahan Alendra mencoba menenangkan diri. Ia menepikan rasa sakitnya, mengingat janji Rayven: tanggung jawab, kejujuran, dan perlindungan. Ia menutup mata sejenak saat mengayuh, menarik napas panjang, mencoba ikhlas menerima kenyataan. “Gue harus kuat… gue harus ikhlas… untuk anak gue,” bisiknya pelan pada diri sendiri, suaranya hampir tertelan angin malam.

Perjalanan menggunakan sepeda onthel memberi Alendra waktu untuk merenung. Setiap kayuhan seolah membawa beban hatinya sedikit lebih ringan, meski tidak sepenuhnya. Ia menahan air mata yang ingin jatuh, menahan rasa takut yang mengintai setiap kali memikirkan masa depan. Tapi ia tahu, anak yang sedang ia kandung membutuhkan ketenangan dan keberanian dari dirinya.

Gang demi gang ia lalui, lampu jalan yang jarang membuat jalanan terlihat sepi dan sunyi. Rumah-rumah yang biasanya ramai siang hari kini sepi, beberapa jendela menyala, menandakan penghuni masih terjaga. Setiap suara langkah kaki atau kendaraan yang lewat membuat Alendra menegang, tapi ia terus mengayuh sepeda dengan perlahan, hati-hati.

Di salah satu tikungan, Alendra berhenti sebentar. Ia menatap langit malam yang gelap, bertabur cahaya lampu kota yang jauh. Hatinya bergetar. “Gue harus ikhlas… gue harus terima semua ini… meski berat,” bisiknya pelan. Ia menundukkan kepala, menahan tangis yang ingin pecah. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, meski luka dan kecewa masih menghantuinya.

Setelah beberapa menit, ia kembali mengayuh sepeda. Setiap putaran roda terasa seperti usaha untuk menenangkan jantung yang berdebar, menenangkan pikiran yang masih bergelora. Ia tahu, malam ini bukan hanya perjalanan pulang—ini perjalanan batin, sebuah ritual untuk mempersiapkan diri menghadapi semua yang menanti di depan.

Sesampainya di dekat rumah, Alendra menurunkan kecepatan, menghela napas panjang. Rumah tampak sunyi, beberapa lampu di jendela menyala, menandakan keluarganya masih terjaga. Ia menatap pintu depannya, jantungnya berdebar. Perlahan, ia menuntun sepeda ke teras, meletakkan kaki di tanah, lalu memasukkan kunci ke gembok pintu. Suara kunci yang berputar terdengar begitu nyata, seakan menandai akhir perjalanan malam ini.

Alendra membuka pintu, masuk perlahan, menutupnya dengan hati-hati. Suasana rumah yang hangat namun sepi membuat dadanya sedikit lega, tapi pikirannya masih kacau. Ia menyalakan lampu, menaruh sepeda di pojok teras, dan duduk sebentar di sofa, membiarkan tubuhnya rileks setelah perjalanan panjang.

Ia menatap dinding rumah, mencoba membayangkan masa depan yang akan dijalani—menjadi ibu, menghadapi tanggung jawab, dan menghadapi Rayven dengan segala konsekuensinya. Ia menelan ludah, menutup mata sebentar, berbisik pada diri sendiri, “Gue harus kuat… gue harus ikhlas… gue harus siap.”

Beberapa saat setelah Alendra meninggalkan taman, Rayven bangkit dari bangku dengan langkah berat. Ia menatap sepeda Alendra yang mulai menjauh, kemudian menoleh ke sekeliling taman yang sepi sebelum berjalan ke arah motornya yang masih terparkir di depan cafe.

Menyalakan mesin motor, suara deru motor sportnya memecah kesunyian malam. Cahaya lampu jalanan memantul di helm dan jaketnya, menambah kesan dingin tapi penuh ketegangan di udara. Rayven menarik napas panjang, memacu motornya pelan, tapi pikirannya tetap tertuju pada Alendra—pada keselamatan dan kenyamanannya, pada janji yang baru saja ia ucapkan.

Namun, sebelum sampai rumahnya, ia berhenti di sebuah supermarket yang masih buka. Mematikan mesin motor, Rayven menurunkan kaca helmnya, menatap rak-rak yang dipenuhi berbagai produk. Ia mengingatkan dirinya sendiri tentang tanggung jawabnya—anak yang sedang dikandung Alendra, dan bagaimana ia ingin menunjukkan perhatian sekecil apa pun.

Ia berjalan ke bagian susu ibu hamil, memperhatikan label-label yang berbeda, rasa dan kandungan yang beragam. Rayven mengerutkan dahi sejenak. Ia tidak tahu Alendra suka rasa apa, tapi ia ingin memastikan Alendra mendapatkan yang terbaik. Akhirnya, dengan keputusan cepat tapi penuh perhatian, ia mengambil satu dari setiap rasa yang tersedia.

Keranjang belanjaannya kini penuh dengan susu ibu hamil berbagai rasa, namun tatapannya serius, hampir khusyuk. Ia membayangkan Alendra membuka kantong itu besok, senyum kecilnya, mungkin sedikit terkejut, tapi pasti senang. Itu membuat hatinya sedikit hangat di tengah dinginnya malam.

“Ini mungkin kecil… tapi semoga Lo ngerasa gue bener-bener perhatian,” gumamnya pelan, menutup botol susu satu per satu ke dalam keranjang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!