Berawal dari sebuah gulir tak sengaja di layar ponsel, takdir mempertemukan dua jiwa dari dua dunia yang berbeda. Akbar, seorang pemuda Minang berusia 24 tahun dari Padang, menemukan ketenangan dalam hidupnya yang teratur hingga sebuah senyuman tulus dari foto Erencya, seorang siswi SMA keturunan Tionghoa-Buddha berusia 18 tahun dari Jambi, menghentikan dunianya.
Terpisahkan jarak ratusan kilometer, cinta mereka bersemi di dunia maya. Melalui pesan-pesan larut malam dan panggilan video yang hangat, mereka menemukan belahan jiwa. Sebuah cinta yang murni, polos, dan tak pernah mempersoalkan perbedaan keyakinan yang membentang di antara mereka. Bagi Akbar dan Erencya, cinta adalah bahasa universal yang mereka pahami dengan hati.
Namun, saat cinta itu mulai beranjak ke dunia nyata, mereka dihadapkan pada tembok tertinggi dan terkokoh: restu keluarga. Tradisi dan keyakinan yang telah mengakar kuat menjadi jurang pemisah yang menyakitkan. Keluarga Erencya memberikan sebuah pilihan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Penerbangan dari Padang ke Jambi hanya memakan waktu sekitar 6 jam, namun bagi Akbar, 6 jam itu terasa seperti seumur hidup. Saat pesawat lepas landas, meninggalkan daratan Minangkabau di bawahnya, jantungnya terasa ikut terangkat. Ia menempelkan dahinya ke jendela kabin yang dingin, memandangi petak-petak sawah dan rumah-rumah yang perlahan mengecil, lalu hilang ditelan gumpalan awan putih.
Ini adalah pertama kalinya ia bepergian sejauh ini sendirian, dan untuk tujuan yang begitu personal. Selama di atas awan, di mana dunia di bawahnya terasa begitu jauh, pikirannya berkecamuk. Campuran antara euforia dan teror yang melumpuhkan. Bagaimana jika ia tidak seperti yang Erencya bayangkan? Fotonya, suaranya, bahkan wajahnya di panggilan video, semuanya adalah versi dua dimensi dari dirinya. Bagaimana dengan versi tiga dimensinya? Bagaimana dengan cara jalannya yang sedikit terburu-buru, atau kebiasaannya menggaruk tengkuk saat sedang gugup?
Ia mengeluarkan ponselnya, mengabaikan instruksi mode pesawat yang sudah ia aktifkan. Ia membuka galeri, menatap satu-satunya foto Erencya yang berani ia simpan: sebuah tangkapan layar dari panggilan video mereka beberapa minggu lalu. Di foto itu, Erencya sedang tertawa lepas, matanya menyipit membentuk bulan sabit yang indah. Foto itu menjadi jimatnya, sumber kekuatannya. Aku melakukan ini untuknya, batinnya, untuk tawa itu.
Saat roda pesawat menyentuh landasan pacu di Bandara Sultan Thaha Jambi, sebuah getaran keras menyadarkannya dari lamunan. Ia telah tiba. Jantungnya berdebar begitu kencang seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Ia berada di kota yang sama dengan Erencya. Mereka menghirup udara yang sama.
Di saat yang hampir bersamaan, sebuah mobil sedan berwarna perak yang tampak terawat baik memasuki area parkir bandara. Di belakang kemudi, Lusi melirik sahabatnya yang duduk di kursi penumpang dengan cemas.
"Ren, rileks," kata Lusi sambil mematikan mesin. "Muka lo tegang banget kayak mau ujian nasional."
"Aku nggak bisa, Lus! Perutku rasanya melilit," jawab Erencya sambil meremas-remas tangannya yang terasa dingin dan berkeringat. Pagi itu, ia telah berhasil menjalankan alibinya dengan sempurna. Ia dan Lusi berpamitan pada orang tuanya, lengkap dengan kamera yang menggantung di leher Lusi sebagai properti. Papanya bahkan memberinya uang saku tambahan. Hati Erencya terasa perih sekaligus lega.
"Dengar," kata Lusi, memegang bahu sahabatnya. "Semuanya akan baik-baik saja. Kamu sudah ngobrol sama dia berbulan-bulan. Anggap saja ini ketemuan sama sahabat pena. Sahabat pena versi modern."
Erencya menarik napas dalam-dalam. "Oke. Oke, kamu benar."
Mereka berdua berjalan memasuki terminal kedatangan. Suasananya ramai dan riuh. Mata Erencya terpaku pada papan informasi elektronik. Nama kota 'Padang' dan status 'Telah Mendarat' bersinar terang di sana.
"Dia udah mendarat, Lus," bisik Erencya, suaranya bergetar.
"Ya sudah, ayo kita tunggu di depan pintu keluar," ajak Lusi, menarik sahabatnya yang tampak seperti akan pingsan.
Mereka berdiri di antara kerumunan penjemput lainnya. Setiap kali pintu geser otomatis terbuka dan serombongan penumpang keluar, jantung Erencya berloncatan. Ia memindai setiap wajah, mencari sosok yang selama ini hanya ia kenal melalui layar.
Akbar berjalan mengikuti arus penumpang. Ia hanya membawa satu tas ransel, jadi ia langsung menuju pintu keluar. Tangannya berkeringat. Ia berhenti sejenak sebelum melewati pintu geser otomatis, menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya. Ini dia.
Pintu itu bergeser terbuka. Akbar melangkah keluar, menyipitkan matanya, beradaptasi dengan cahaya yang lebih terang. Pandangannya berkeliling, mencari-cari di tengah keramaian.
Dan kemudian, ia melihatnya.
Di dekat salah satu pilar, berdiri seorang gadis yang mengenakan blus berwarna biru langit—warna favoritnya, yang pernah ia sebutkan pada Akbar—dipadukan dengan celana jeans putih. Rambut hitam panjangnya tergerai indah. Gadis itu sedang menatap ke arahnya dengan mata yang sedikit melebar, penuh dengan ketidakpercayaan dan harapan. Itu Erencya. Jauh lebih memukau daripada di foto atau video mana pun.
Pada detik yang sama, Erencya juga menemukannya. Pria itu sedikit lebih tinggi dari yang ia perkirakan, dengan bahu yang tegap. Ia mengenakan kemeja flanel kotak-kotak yang lengannya digulung hingga siku. Ia menggendong tas ransel yang tampak berat, dan wajahnya menunjukkan ekspresi yang sama persis dengan yang Erencya rasakan: campuran antara gugup, lega, dan bahagia yang meluap. Itu Kak Akbar. Nyata.
Dunia di sekitar mereka seakan melambat. Suara-suara di sekeliling mereka meredup. Untuk beberapa saat, mereka hanya berdiri di sana, terpisah sekitar sepuluh meter, saling menatap. Senyum perlahan mulai terukir di wajah mereka berdua.
Akbar lah yang bergerak pertama kali. Ia mulai berjalan mendekat. Erencya, seakan kakinya baru saja menemukan kembali kekuatannya, juga melangkah maju.
Saat jarak di antara mereka hanya tinggal satu meter, mereka berhenti. "Hai," ucap Akbar, suaranya sedikit serak, namun begitu hangat dan nyata.
"Hai, Kak," balas Erencya, suaranya lebih seperti bisikan. "Kamu... nyata."
Akbar tertawa kecil, sebuah tawa lega. "Kamu juga."
Didorong oleh keberanian yang datang entah dari mana, Erencya mengambil satu langkah terakhir dan memeluk Akbar. Pelukan itu awalnya sedikit canggung, lalu berubah menjadi sebuah dekapan yang erat dan penuh kelegaan. Akbar menjatuhkan tasnya dan balas memeluk Erencya. Ia bisa merasakan betapa rapuhnya gadis itu dalam pelukannya, sementara Erencya menenggelamkan wajahnya di dada Akbar, merasakan detak jantungnya yang cepat. Ini terasa seperti pulang.
"Ehem!" Deheman yang dibuat-buat membuyarkan momen mereka. Lusi berdiri di sana sambil bersedekap, senyum jahil terpasang di wajahnya. "Maaf mengganggu momen telenovela kalian. Aku Lusi, sahabat sekaligus bodyguard nona ini. Dan kamu... pasti si pangeran dari Padang, kan?"
Akbar, yang pipinya sedikit merona, tersenyum sopan dan mengulurkan tangannya. "Akbar. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu, Lusi. Terima kasih sudah menjaga Erencya."
Saat mereka berjalan menuju tempat parkir, Lusi yang berjalan di depan tiba-tiba berhenti dan berbalik. Ia tampak sedikit lelah. "Duh, mendadak pusing nih gue gara-gara tegang nungguin kalian ketemu. Mana harus nyetir lagi." Ia menatap Akbar dengan tatapan menilai. "Lo bisa nyetir mobil, kan?"
Erencya terkejut dengan pertanyaan itu, ia bahkan tidak pernah memikirkannya. Akbar juga tampak sedikit kaget, tapi kemudian ia mengangguk. "Bisa. Dulu pernah kerja antar-jemput katering untuk tambahan uang kuliah."
Jawaban itu membuat Erencya terkesan. Kak Akbar-nya ternyata punya banyak keahlian tersembunyi.
Tanpa diduga, Lusi melemparkan kunci mobilnya ke arah Akbar, yang menangkapnya dengan sigap. "Bagus. Lo yang nyetir. Anggap aja tes pertama dari bodyguard. Kalau cara nyetir lo ugal-ugalan, lo gagal," katanya dengan nada bercanda, namun ada keseriusan di matanya. "Gue di belakang, mau update status dulu."
Akbar tersenyum mengerti. Ia melirik Erencya, yang memberinya tatapan penuh semangat. Saat mereka tiba di mobil, Akbar membuka pintu depan untuk Erencya, sebuah gestur kecil yang membuat hati gadis itu menghangat. Lalu, ia duduk di kursi pengemudi. Ia mengamati interior mobil yang bersih dan modern itu sejenak, jauh lebih mewah dari mobil pick-up tua yang biasa ia pakai untuk bekerja dulu.
Dengan mulus, ia menyalakan mesin dan mulai mengemudikan mobil keluar dari area parkir bandara. Di kursi belakang, Lusi benar-benar sibuk dengan ponselnya, memberi ruang bagi kedua temannya.
Kini, hanya ada mereka berdua di depan. Kecanggungan yang tadi sedikit terasa, kini berganti menjadi keintiman yang tenang. Erencya tidak bisa berhenti melirik Akbar. Melihatnya di sini, di dunianya, mengemudikan mobil sahabatnya dengan begitu tenang dan percaya diri, terasa begitu sureal.
"Nggak apa-apa, Kak? Nggak bingung sama jalanan Jambi?" tanya Erencya, memulai percakapan.
Akbar tersenyum tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. "Aman. Selama ada GPS dan ada kamu di sampingku, aku nggak akan tersesat."
Kata-kata sederhana itu membuat pipi Erencya kembali merona. Ia menunjuk ke depan. "Nanti di depan belok kiri ya, Kak. Kita cari tempat makan dulu. Kakak pasti lapar."
"Aku lebih lapar mau dengar ceritamu langsung, sih. Tapi makanan juga boleh," jawab Akbar, membuat Erencya tertawa.
Saat mobil berhenti di lampu merah, Akbar menoleh, menatapnya lekat. "Aku masih nggak percaya aku ada di sini sekarang, Ren."
"Aku juga," balas Erencya, tatapannya terkunci pada mata Akbar. "Rasanya semua perjuangan Kakak... terbayar."
"Lebih dari terbayar," kata Akbar tulus.
Lampu berubah hijau, dan mobil kembali melaju. Di kursi pengemudi mobil yang bukan miliknya, melintasi jalanan kota yang asing, dengan gadis yang telah mengisi pikirannya selama berbulan-bulan duduk di sampingnya, Akbar merasa lebih berada di rumah daripada kapan pun dalam hidupnya. Perjalanan mereka yang sesungguhnya baru saja dimulai.