Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.
Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.
Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.
Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.
Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.
Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 16
Di pagi hari Zia sudah bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan lengkap: roti panggang, telur mata sapi, dan sup hangat. Aroma teh melati mengisi udara, menenangkan suasana pagi yang biasanya sepi.
Ia menyusun piring satu per satu, memastikan segala keperluan Azka dan Aksa tertata rapi. Seragam Aksa digantung dengan sempurna, jas hitam milik Azka disetrika tanpa kerutan.
Tak lama, Oma Ririn masuk ke ruang makan, mengenakan kimono santai dengan rambut digelung rapi.
“Pagi, Oma…” ucap Zia pelan, sambil menyodorkan secangkir teh hangat.
“Pagi, Zia,” balas Oma Ririn, tersenyum lembut. “Kamu bangun lebih pagi dari biasanya, ya?”
Zia hanya mengangguk kecil, mencoba menyembunyikan kantuk di balik matanya yang sembap sisa tangis semalam.
“Mana Azka dan Aksa?” tanya Oma Ririn sambil duduk di kursi kepala meja.
“Mereka udah siap, Oma. Tapi masih di atas,” jawab Zia sopan.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki menuruni tangga terdengar.
Azka turun lebih dulu dengan jas hitamnya, elegan dan tenang. Di belakangnya, Aksa melangkah santai mengenakan seragam sekolah, rambutnya sedikit acak-acakan tapi tetap keren.
“Selamat pagi, Oma,” ucap keduanya hampir bersamaan sambil mencium pipi sang nenek.
“Pagi juga, cucu-cucu Oma.” Wajah Oma Ririn tampak berbinar sesaat melihat mereka begitu rapi.
Saat mereka mulai menikmati sarapan bersama, suasana cukup hangat. Tapi lalu Oma Ririn menaruh sendoknya dan menatap mereka serius.
“Azka, Aksa…” ucapnya lembut, tapi nadanya penuh makna. “Setelah pulang nanti… temuilah orang tua kalian.”
Azka menghentikan gerakan tangannya. Aksa melirik dari atas mangkuk sup-nya.
“Mereka sudah lama menunggu, kalian tahu itu.”
Hening. Zia yang berdiri di dekat meja, tak sengaja menegakkan tubuh, merasa bahwa ini bukan percakapan biasa.
“Kita masih di sini karena kita mau, Oma,” ucap Aksa pelan, nada suaranya tidak seenaknya seperti biasa. “Mereka gak pernah ngerti apa yang kita pengen.”
Azka menambahkan pelan, “Kita bukan anak kecil lagi. Tapi mereka tetap memperlakukan kita seolah kita boneka yang bisa diatur.”
Oma Ririn menarik napas dalam. “Oma tahu… tapi keluarga tetaplah keluarga. Mereka orang tua kalian, dan kalian gak bisa selamanya lari dari itu.”
____
Zia segera mengambil tasnya saat melihat Aksa dan Azka sudah mulai masuk ke garasi untuk mengambil kendaraan mereka masing-masing.
“Boleh Zia ikut nggak?” tanya Zia sambil sedikit berlari mengejar Aksa.
“Boleh… tapi bayar dua ratus ribu,” jawab Aksa santai, tanpa menoleh.
“Mahal banget. Zia nggak punya uang,” ucap Zia lesu.
“Berarti lo nggak bisa numpang ke gue. Lagian lo juga kan biasanya naik angkutan umum,” balas Aksa cuek.
“Udah nggak ada angkutan lain kali jam segini,” jawab Zia sedikit putus asa.
Aksa menghela napas. “Ckkm… buruan naik.”
“Makasih, Aksa,” kata Zia sambil tersenyum manis.
Dari kejauhan, tepatnya di dalam mobilnya sendiri, Azka menatap mobil Aksa yang mulai menjauh. Pandangannya sempat tertahan saat melihat senyuman Zia dari kaca samping. Seketika matanya meredup, tapi tak lama kemudian dia menggeleng pelan, seperti mencoba mengusir pikiran yang tiba-tiba muncul.
Mobilnya pun melaju, mengikuti arah yang sama… namun entah kenapa, di matanya, senyum itu terasa familiar.
★★★
Pagi itu, suasana di halaman sekolah masih tenang. Hanya terdengar suara burung berceloteh dan riuh rendah beberapa siswa yang baru datang.
Tiba-tiba, suara mesin mobil mewah memecah suasana. Sebuah mobil sport putih berhenti di depan gerbang, membuat beberapa pasang mata langsung tertuju padanya.
“Eh, itu mobilnya Aksa kan?” bisik salah satu siswi sambil mendorong bahu temannya.
“Lah, iya! Tapi… itu siapa di sebelahnya?”
Begitu mobil itu masuk ke area parkiran, semakin banyak tatapan yang mengikuti. Aksa, cowok populer yang dikenal dingin dan sulit didekati, keluar lebih dulu. Dengan santai, ia merogoh tasnya, sama sekali tak peduli dengan bisik-bisik di sekitarnya.
Lalu, pintu sebelah kiri terbuka. Seorang gadis dengan seragam rapi dan rambut yang diikat sederhana melangkah keluar. Zia,beberapa mulut langsung ternganga.
“Ehh… itu kan anak baru kemarin.”
“Iya, kok bisa-bisanya dia satu mobil sama Aksa?”
“Gila, berani banget ya… padahal dia cuma—” kalimat itu tak selesai, tapi tatapan merendah yang menyertainya sudah cukup menyakitkan.
Di sisi lain parkiran, Talita Elpida berdiri kaku. Wajahnya yang cantik memerah menahan amarah. Tangannya mengepal erat di samping tubuhnya.
Di sebelahnya, Grey—sahabat sekaligus orang yang paling sering menemaninya—hanya menghela napas panjang. Ia tahu, badai akan datang.
Talita melangkah cepat ke arah Aksa.
“Aksa!” serunya lantang.
Aksa menoleh sekilas. “Apa?” jawabnya datar, tanpa emosi.
“Kok kamu bisa-bisanya berangkat sama cewek kampungan ini?” suara Talita meninggi, penuh nada menghina.
Aksa menaikkan alis, lalu kembali berjalan. “Emang kenapa? Bukan urusan lo juga." ucapnya dingin, melewatinya begitu saja.
“AKSA!” Talita memanggil lagi, tapi hanya mendapatkan punggungnya yang menjauh. Napasnya tersengal karena marah, matanya lalu beralih ke Zia.
“Lo itu anak baru,” ujarnya sinis, mendekat setengah langkah. “Jangan berani-beraninya bikin masalah di sini. Salah satunya… deketin cowok gue.” Talita mengakhiri kalimatnya dengan senyum miring penuh ancaman sebelum pergi.
Grey ikut berjalan melewati Zia. Sambil melirik ke arah gadis itu, ia berbisik cukup keras untuk terdengar.
“Dasar cewek udik… miskin.”
Zia berdiri terpaku, merasakan tatapan puluhan pasang mata yang masih menilai dirinya. Tapi di balik tatapan tertunduknya, ada kilatan kecil—sebuah tekad untuk tidak kalah.
_____
Aksa memasuki kelasnya dengan langkah santai. Suara riuh siswa yang bercanda langsung terdengar begitu ia masuk, tapi tatapannya tetap datar.
Di pojok kelas, tiga sahabatnya—Lian, Edgar, dan Leon—sudah menunggu sambil duduk santai.
“Gue denger tadi lo berangkat sama anak baru itu,” ucap Lian, langsung membuka topik begitu Aksa duduk.
“Hmmm,” sahut Aksa singkat, wajahnya tanpa ekspresi.
“Katanya lo kagak kenal,” timpal Edgar sambil memainkan bolpoin di tangannya.
“Gue ketemu cewek itu di jalan,” jawab Aksa dengan tak jujur, seolah tak mau menjelaskan panjang lebar.
Leon mengangkat alis, tatapannya penuh rasa ingin tahu. “Yang bener lo?”
“Iya. Percaya sama gue,” ucap Aksa singkat.
“Musyrik kali kalau percaya sama lo,” celetuk Edgar sambil nyengir.
“Garing, tau nggak? Bercandaan lo nggak masuk,” sahut Lian sambil geleng-geleng.
“Emang gue nggak niat bercanda,” balas Edgar santai, membuat Lian memutar bola mata.
“Udah, diem. Guru datang,” potong Aksa datar. Pandangannya sudah mengarah ke depan, sama sekali tak tertarik memperpanjang obrolan.
Begitu guru masuk, suasana kelas langsung hening. Namun, di beberapa sudut ruangan, bisik-bisik soal Aksa dan Zia masih terdengar samar.
Aksa hanya menatap papan tulis, tapi ujung matanya sempat melirik ke arah luar jendela—ke arah lapangan—di mana sosok Zia terlihat berjalan melewati koridor.