Saquel dari Novel "Janda untuk om Duda"
Semenjak mamanya menikah dengan tuan muda Danendra, perlahan kehidupan Bella mulai berubah. Dari Bella yang tidak memiliki ayah, dia menemukan Alvaro, sosok ayah sambungnya yang menyayangi dirinya selayaknya anak kandungnya sendiri.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, sebuah insiden membuat semua berbalik membencinya. Bahkan mama kandungnya ikut mengabaikan dan mengucilkan Bella, seolah keberadaannya tidak pernah berarti.
Di tengah rasa sepi yang mendalam takdir mempertemukan kembali dengan Rifky Prasetya , dokter muda sekaligus teman masa kecil Bella yang diam-diam masih menyimpan rasa sayang untuknya. Bersama Rifky, Bella merasakan arti dicintai dan di lindungi.
Namun, apakah cinta masa lalu mampu menyembuhkan luka keluarga yang begitu dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kikoaiko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 Revisi
Maureen berdiri di depan pintu kamar Naka, napasnya masih sedikit terengah-usai berlari menaiki tangga. Matanya berbinar penuh rasa penasaran, namun juga ada sedikit kegelisahan yang bersembunyi di balik senyum tipisnya. "Siapa perempuan yang disukai kak Rifky? Pasti ini semua akal-akalan Kairen," gumamnya dalam hati, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ada sesuatu yang disembunyikan di balik sikap kakaknya yang selama ini terlihat biasa saja.
Tanpa ragu, Maureen mengayunkan tangan dan mendorong pintu kamar itu.
Ceklek.
Begitu pintu terbuka, Naka yang tengah duduk sambil menatap laptopnya mendongak, matanya menyipit menatap Maureen dengan jelas terlihat kesal. Garis-garis kecil di keningnya mengerut, bibirnya menekuk membentuk ekspresi tidak senang.
"Selalu saja masuk kamar orang tanpa permisi," ucap Naka dengan nada tegas, tapi bukan marah yang menggelegar lebih ke peringatan yang sudah sering diulang namun tetap diabaikan. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangannya mengibaskan kertas yang ada di mejanya, seolah berusaha menahan rasa jengkel yang mengganggu konsentrasinya.
Maureen mengangkat bahunya acuh, kebiasaan di manjakan membuat gadis itu selalu menyepelekan sebuah masalah.
"Ada apa?" tanya Naka datar sambil menoleh sekilas ke arah adiknya.
"Kakak tahu tidak siapa perempuan yang lagi dekat dengan kak Rifky?" suara Maureen terdengar ragu, tapi matanya menatap serius.
Naka memicingkan mata, heran. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba saja adiknya menyinggung nama Rifky. "Tidak tahu, aku tidak pernah melihat dia bersama perempuan lain, kecuali Bella," jawab Naka tenang.
Jantung Maureen berdegup lebih cepat. Nama itu lagi. Bella. Bibirnya refleks terkatup rapat, ia menggigitnya pelan. Tangannya meremas ujung rok, seolah dengan cara itu ia bisa meredam rasa sesak di dadanya. Kenapa harus kak Bella? Kenapa harus dia lagi yang selalu ada di sekitar Rifky? batinnya menjerit.
"Apa mungkin perempuan yang dimaksud Kairen itu kak Bella?" tanyanya lagi, meski nada suaranya sedikit bergetar. Ada getir yang tidak bisa ia sembunyikan.
Naka mulai jengah, sorot matanya tajam. "Aku sudah bilang aku tidak tahu. Kamu bisa tanyakan langsung saja sama orangnya," ucapnya kesal. Ia memang tidak pernah suka ikut campur dalam urusan orang lain, apalagi yang menyangkut hati dan perasaan.
Maureen hanya terdiam, menunduk. Wajahnya muram, matanya berkedip cepat menahan sesuatu yang ia sendiri tak sanggup akui.
Dia keluar dari kamar Naka sambil menghentikan kakinya kesal.
*
*
*
Tiga hari berlalu, saat ini kondisi Bella kini sudah jauh membaik. Pagi yang cerah menyelimuti kota, Bella dan Adel berdiri di depan gedung tua dengan papan bertuliskan "Pelatihan Boxing Mandiri". Udara pagi yang segar membuat napas Bella sedikit lega, meski jantungnya masih berdegup cepat karena kegelisahan.
"Ini tempatnya, Del?" suara Bella terdengar ragu, matanya menatap sekeliling dengan penuh keingintahuan sekaligus penasaran.
Adel tersenyum tipis sambil membuka pintu, "Iya, Bel. Ayo kita masuk." Ia menggandeng tangan Bella dengan lembut, memberi semangat tanpa kata-kata.
Begitu melangkah ke dalam, aroma karet dan bau keringat bercampur memenuhi ruangan. Suara pukulan dan teriakan pelatih memenuhi telinga mereka. Seorang pria bertubuh tegap dan berwajah serius mendekat dengan langkah pasti. Otot-ototnya terpahat jelas di bawah kaos hitam yang melekat erat.
"Siapa yang ikut kejuaraan, Del?" tanya pria itu dengan suara berat, matanya tajam menatap mereka.
Deny adalah pelatih senior yang terkenal disiplin, dulu Adel pernah berlatih dengan pria itu, hanya saja sudah lama berhenti.
Adel menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan campuran rasa bangga dan cemas. Perlahan ia menunjuk ke arah Bella yang menundukkan kepala, wajahnya memerah tapi matanya berkilat tekad. "Dia belum pernah berlatih boxing sama sekali," ucap Adel dengan suara pelan, seolah takut kata-katanya membuat Bella mundur.
Namun, di balik keraguannya, ada harapan besar yang tersembunyi. Bella mengangkat wajahnya, menatap pria tegap itu dengan mata penuh keberanian. Jantungnya berdebar lebih kencang, tapi tekadnya menguat. Dia tahu, perjalanan ini akan sulit, tapi dia siap berjuang demi mimpinya yang selama ini tersembunyi di balik luka dan ketakutan.
Pria itu mengangguk perlahan, ekspresinya berubah menjadi serius tapi penuh semangat. "Kalau begitu, kita mulai dari dasar. Jangan takut jatuh, Bella. Semua juara pernah memulai dari nol." Suaranya penuh motivasi, membakar api semangat yang mulai berkobar di dada Bella.
Adel meremas bahu Bella dengan lembut, "Semangat Bel, ingat hadiahnya lima ratus juta" ucap Adel sambil tertawa kecil.
Bella mengangguk pelan, menenangkan detak jantungnya yang mulai berpacu kencang. Matanya menatap lurus ke depan, membara dengan tekad yang tak tergoyahkan. Langkah pertamanya menuju kejuaraan, tempat di mana mimpi dan kenyataan bertarung habis-habisan dimulai sekarang, di ruang latihan yang penuh bau keringat dan gema pukulan keras.
“Ganti pakaianmu di sana, setelah ini kita mulai latihan dasar,” titah Deny dengan suara tegas namun penuh perhatian.
Tanpa membalas, Bella segera melangkah ke ruang ganti. Ia melepas jaket tebalnya dan mengenakan kaos olahraga yang sederhana, yang sedikit longgar di tubuhnya yang ramping namun kuat. Wajahnya tanpa riasan, menampilkan keseriusan yang membungkam segala keraguan. Setiap gerakan mengganti pakaian seolah menjadi ritual penguatan diri, membakar semangat yang sudah lama terpendam.
Setelah selesai, Bella kembali ke ruang latihan. Deny sudah menunggu, matanya tajam mengamati setiap gerakan Bella. “Kita mulai dengan pemanasan dulu,” ucap Deny, suaranya mengandung dorongan yang membuat Bella semakin bersemangat.
Mereka berdua mulai dengan gerakan ringan, stretching, lari di tempat, dan putaran bahu. Keringat mulai menetes di dahi Bella, tapi ia tidak mengeluh. Setiap tarikan napas dan gerakan ototnya membentuk gambaran seorang pejuang yang siap menghadapi segala rintangan. Di balik wajahnya yang serius, ada gelora harapan yang tak kalah kuat dari rasa sakit dan lelah yang akan datang. Hari ini adalah awal dari perjalanan panjang yang akan menguji ketangguhan dan keberaniannya.
Deny menghela napas panjang. Keringat mulai membasahi dahinya meski mereka baru saja memulai pemanasan.
"Istirahat dulu, satu menit" ucap Deny sambil duduk di tepi matras, matanya menatap Bella yang sudah bersiap dengan tinju terkepal.
Setelah hitungan satu menit berlalu, Deny berdiri tegap, wajahnya serius namun sedikit tersenyum menantang. Dia memasang belly pad di perutnya sebagai pelindung. "Kamu sudah siap?" tanya Deny.
"Siap" jawab Bella seraya memasang kuda-kuda.
"Pukul aku, Bella. Uji seberapa kuat pukulanmu," katanya sambil mengangkat dagu, memperlihatkan rasa percaya diri yang tersembunyi di balik kerutan kecil di dahinya.
Bella menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
"Pukul!" perintah Deny dengan suara tegas.
Bugh
Tangan Bella melesat cepat, menghantam belly pad dengan suara 'bugh' yang nyaring.
Getaran pukulan itu merambat ke lengan Deny, membuat ototnya sedikit menegang. "Lagi!" Deny menuntut dengan suara yang tetap stabil, menantang.
Bugh
Sekali lagi, pukulan Bella mendarat dengan keras, bunyi pukulan kedua kali bergema di ruangan. Wajah Bella memerah, napasnya memburu, tapi tatapannya tak melemah.
Deny tersenyum puas, menepuk bahunya sendiri, menandakan keberhasilan ujian kecil itu. Ia tahu, pukulan Bella bukan hanya soal kekuatan, tapi juga keteguhan hati yang mulai tumbuh dalam diri gadis itu.
up lagi thor