Azura Eliyena, seorang anak tiri terbuang. Ibu dan Ayahnya bercerai saat usia Azura masih tiga tahun. Bukan karena ekonomi, melainkan karena Ibunya tak sudi lagi bersama Ayahnya yang lumpuh. Ibunya tega meninggalkan mereka demi pria lain, hidup mewah di keluarga suami barunya. Menginjak remaja, Azura nekat kabur dari rumah untuk menemui Ibunya. Berharap Ibunya telah berubah, namun dirinya justru tak dianggap anak lagi. Azura dibuang oleh keluarga Ayah tirinya, kehadirannya tak diterima dan tak dihargai. Marah dan kecewa pada Ibunya, Azura kembali ke rumah Ayahnya. Akan tetapi, semua sudah terlambat, ia tak melihat Ayah dan saudaranya lagi. Azura sadar kini hidupnya telah jatuh ke dalam kehancuran. Setelah ia beranjak dewasa, Azura menjadi wanita cantik, baik, kuat, tangguh, dan mandiri. Hidup sendirian tak membuatnya putus asa. Ia memulai dari awal lagi tuk membalas dendam pada keluarga baru Ibunya, hingga takdir mempertemukannya dengan sepasang anak kembar yang kehilangan Ibunya. Tak disangka, anak kembar itu malah melamarnya menjadi Istri kedua Ayah mereka yang Duda, yang merupakan menantu Ayah tirinya.
“Bibi Mackel… mau nda jadi Mama baluna Jilo? Papa Jilo olangna tajil melintil lhoo… Beli helikoptel aja nda pake utang…” ~ Azelio Sayersz Raymond.
“Nama saya Azura, bukan Bibi Masker. Tapi Ayah kalian orangnya seperti apa?” ~ Azura Eliyena.
“Papa ganteng, pintel masak, pintel pukul olang jahat.” ~ Azelia Sayersz Raymond.
“Nama kalian siapa?”
“Ajila Ajilo Sales Lemon, Bibi Mackel.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23. ANAK TIRI TERBUANG MENJADI ISTRI TANGGUH DUDA KILLER | BIKIN MATA CILAU
Beberapa jam kemudian.
“Mama Jula… bibil na Jila keling… hauss…” Keluh Azelia yang masih di sekolah karena Hansel belum datang-datang juga menjemput mereka. Air minum dalam tasnya sudah habis dan Azelia mulai merasa kehausan.
“Jilo juga lapal, pelut Jilo telus bunyi kliuk-kliuk Bibi…” pinta Azelio mulai merengek pada Azura yang juga kepanasan sambil mengibaskan tangannya ke muka yang basah oleh keringat.
Sementara orang tua murid lain sudah ada yang pulang. Sisanya menunggu jemputan dan ada pula yang menjauhi Azura dan si kembar. Mereka sedang bergosip tak menduga Aina punya kembaran tetapi sifatnya bagaikan bumi dan langit. Aina orangnya kalem, tak seperti Azura yang bar-bar dan pantang mundur sebelum lawannya tumbang.
“Huuu… Om Cel mana yah? Napa nda ambil Jila, Kakak Jilo sama Mama Jula?” desah gadis mungil itu lesu. Tampak kaki kecilnya terus menendang-nendang udara, lelah menunggu.
“Om Cel lagi sibuk kelja pasti,” tebak Azelio.
“Om Cel nda seluh. Jila nda suka, hmp! Ental Jila malahin di lumah Papa.” Ucap Azelia melipat kedua tangan di dada dengan pipi menggembung.
“Bagaimana kalau kita pulang saja? Pakai mobil taksi? Kalian mau?” bujuk Azura menunjuk ke arah jalan yang cukup jauh dari gerbang sekolah.
“Nda mau.” Tolak mereka menggeleng.
“Lho, kenapa?” tanya Azura bingung.
“Matahalina panas… Mama. Matahalina bikin matana Jila cilauu… Jila nda bisa lihat jalanna,” celoteh Azelia menunjuk ke depan yang tak ada tempat berteduh.
“Kalo tekena matahali, ental Papa malah-malah kalau lihat badan kita melah-melah. Bibi Jula bisa dimalahin. Jilo nda mau Bibi dimalahin,” sahut Azelio bermaksud melindungi Ibu mereka dari Joeson.
“Anak-anak, tidak perlu cemas, coba lihat apa di tangan Bibi?” kata Azura.
Si kembar menoleh lalu tersenyum melihatnya. Satu payung besar yang bisa mereka pakai dan sebotol air mineral. Mereka dengan riang pun meminta air dulu.
“Payung na dapat dali mana, Mama?” tanya Azelia setelah merasa lega sambil melirik Azelio yang juga minum dari air mineral itu.
“Tuh, tadi beli di sana. Untung saja Bibi sempat beli sebelum kehabisan. Gimana? Mau pulang sekarang? Atau nunggu mobil Om Hansel lagi di sini?”
Si kembar mengangkat tasnya. Mereka berdiri dan menunjuk cepat ke jalan. “Mau na pulang sekalang.” Ajak mereka menarik-narik tangan Azura.
Azura terkekeh kemudian berdiri sambil membuka payungnya. Tapi Azura tiba-tiba diam membuat si kembar mendongak kebingungan. “Napa nda jalan, Mama?” tanya Azelia garuk-garuk kepala.
“Bibi mau pipis?” tebak Azelio .
Azura menggeleng-geleng kepala lalu tersenyum.
“Sini Bibi gendong kalian, tapi kalian harus pegang payungnya erat-erat, jangan sampai terbang,” kata Azura menyodorkan payungnya ke mereka. Dengan senang hati, mereka terima payung itu.
“Ayo pulang sekalang, Mama. hihi...” Seru mereka kegirangan, tak seperti Azura yang cukup kesulitan karena anak kembar itu lumayan berat juga. Namun melihat keceriaan terpancar di wajah imut mereka, kelelahan Azura tak berasa sama sekali. Selain itu, mereka mendadak mengecup pipi kanan kiri Azura, membuat mata coklat Azura berembun. Perasaan Azura tersentuh mendapat kecupan tulus mereka.
“Mama Jula, ental kita mampil dulu lumah na Bunda Caila yah,” mohon mereka membuat senyum di wajah Azura sirna, berubah menjadi ketakutan.
“Napa nda bicala lagi, Mama? Mama Jula saliawan na belum sembuh?” tanya Azelia polos sambil menunjuk plaster di pipi Azura.
“Bibi Jula takut sama Bunda Caila ya?” tebak Azelio seolah tahu kegundahan hati kecil Ibunya.
Azura menggeleng dan tersenyum. “Nda takut, kok. Bibi cuma khawatir saja, siapa tahu Bibi diusir.”
“Mama jangan kawatil, Bunda Caila olang na baik, cantik, sama nda pelit. Mama Jula halus temenan sama Bunda Caila. Ental Jila sama Kakak Jilo yang bantuin, ya,” hibur mereka tersenyum sumringah melihat Azura tak sedih lagi.
Azura mengangguk paham, namun dalam hati, ia masih takut. Takut Sahira mengusirnya atau tidak mengakuinya sebagai adik lagi.
“Apa Kak Sahira akan maafkan aku?” guman Azura dalam hati.
Sedangkan di salah satu gedung tinggi, Joeson sedang duduk di meja kerjanya sambil memandang alat pelacak yang menunjukkan pergerakan anak dan istrinya. Senyum tipis terukir di sudut bibirnya melihat Azura yang bisa mengatasi keterlambatan Hansel yang sudah direncanakan.
“Aku pikir dia bakal menunggu sampai Hansel tiba. Rupanya dia tahu juga cara pulang sendiri.” Meski Joeson tak suka istrinya itu, tetapi ada kepuasan tersendiri melihat Azura yang mandiri dan mampu menjaga anak kembarnya.
‘Ck, kenapa pula aku harus memikirkan wanita aneh dan cerewet ini?!’ batin Joeson menggeleng-geleng. Menepis jauh-jauh bayangan Azura dari pikirannya. Melihat sang pimpinan yang bertingkah aneh, para bawahan di gedung itu merasa terheran-heran.
“Hari ini, Bos lebih bersemangat daripada hari-hari sebelumnya. Dulu-dulu, pandangan mata Pak Bos kelihatan kosong seperti mayat hidup. Semenjak ia kehilangan istrinya, Pak Bos jarang bicara, tapi hari ini… Bos kadang suka bicara sendiri.”
….
Setibanya di Raymond Home, Azura tak henti-henti terpukau memandangi kediaman Kakek suaminya yang bak istana itu. Berbeda di rumah Joeson yang sepi akan kehidupan, di kediaman Raymond justru terlihat hidup dan berwarna.
“Kalau disuruh pilih, mendingan aku tinggal di sini daripada di rumah yang kelihatan berhantu itu,” guman Azura.
“Rumah siapa yang kamu maksud?”
Degh!
Tubuh Azura dari ujung kaki hingga kepala, rasanya kesetrum mendengar perkataan itu. Nada suaranya dalam, berat, dingin, tegas dan tajam. Bulu kuduk Azura meremang satu badan. Aura orang itu lebih mengintimidasi dari Joeson. Andaikan Leni masih ada bersamanya, wanita itu mungkin sudah pipis di celana. Tidak seperti si kembar yang sebaliknya.
“OM CEND0L!” seru mereka melompat kegirangan, namun seketika meringis menerima jentikan lembut dari jari Zander di kening mereka.
“Panggil Om Zen dengan benar, hmp!” protes suami Sahira itu mendengus.
“Om Seng?” panggil mereka polos membuat Azura diam-diam tertawa. ‘Kenapa tidak sekalian saja Om genteng?’ pikirnya lalu melirik-lirik wajah Zander. Ia cukup kagum dan iri pada Sahira dan Aina yang menikahi lelaki tampan dan gagah. Ditambah dua pria itu seorang Presdir dan Mafia.
‘Hah… setelah aku cerai sama Ayah mereka nanti, aku juga bakal cari pria tampan dan sultan, lebih tampan dari duda galak si muka tembok itu!’ tekad Azura dalam hati tak mau kalah juga.
Huachii!
‘Siapa yang sedang membicarakanku? Apa si gadis muka plaster itu lagi?’ gumam Joeson heran sambil menggosok-gosok hidungnya yang tiba-tiba gatal.
“Om Cendel, mana Bunda Caila?” tanya Azelio dan Azelia menengadah ke atas.
Azura menunduk ragu sambil meremas jarinya yang gemetar. Ia gugup akan bertemu dengan Sahira.
“Untuk apa kalian mencari istriku?” tanya Zander. ‘Apa Joeson yang menyuruh mereka?’ pikirnya.
Si kembar langsung menunjuk Azura. “Om Cendel, tau nda? Bibi ini… Mama balu na Jilo sama Jila lho. Mama Jula kemali mau lihat Bunda Caila, lihat adik Jee sama adik Jena juga.” Pamer Azelia tersenyum manis, sedangkan Azelio merasa ragu-ragu melihat ekspresi masam pamannya yang seakan-akan tak menyukai kedatangan Ibunya.
“Boleh masuk nda, Om?” tanya mereka memohon sambil mengedipkan mata berulang kali, membuat ekspresi yang menggemaskan supaya pria berhati dingin itu luluh.
“Zan…”
Spontan, tubuh Azura membeku mendengar suara itu. Ia kemudian menunduk sambil meremas-remas jemari tangannya yang gemetar.
“Ohh… Jila sama Jilo datang sama siapa ini?” tanya Sahira menatap punggung seseorang yang sedang membelakanginya. Ia tak pernah melihatnya tetapi serasa cukup familier. Sementara itu, Zander cuma diam saja sambil melirik Azura yang berusaha menahan tangisnya.
“Bundaa… ini Mama.…” putus si kembar terkejut melihat mata Ibu mereka basah. "Mama... Napa nangis?" tanya mereka khawatir, berdiri tepat di hadapan Azura.
_________
Mama balu kalian itu lagi sedih Jila...
Jangan lupa Like, komen, subscribe, vote, 🌹
pasti lucu tiap ketemu teringat tubuh polos istri nya pasti langsung on
secara dah lama ga ganti oli 😂😂😂
karena klrga joe bukan kaleng3
bapak nymshhidup dn tanggung jawab samaanaj ny, kok malah mauerevut hak asuh.
memang nyari masalah nexh siMatthuas dan Aeishta