Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Galuh diam mematung. Pipinya masih terasa hangat, seolah terbakar. Bagja baru saja mendaratkan sebuah ciuman cepat di pipinya. Sederhana, tetapi efeknya luar biasa. Separuh nyawa Galuh serasa melayang entah ke mana.
Gadis itu membeku di tempat, kedua matanya melebar, bibirnya terbuka tanpa suara. Sementara di hadapannya, Bagja justru tersenyum jenaka, seolah baru saja melakukan hal sepele. Senyum itu bagai jurus pamungkas yang bisa meluluhkan hati siapa saja, kecuali Galuh yang justru mendadak ingin memaki, berteriak, lalu menghilang ke dalam tanah saking malunya.
Bagja tidak memberi kesempatan Galuh bicara. Pria berkacamata itu hanya melambaikan tangan, masih dengan senyum tengilnya, lalu melenggang pergi. Tinggallah Galuh bersama dua sahabatnya, Ryan dan Dewa, yang berdiri dengan mulut menganga. Mata mereka membulat sempurna, ekspresi kaget bercampur geli.
“Ma-mantranya ... man-jur,” ucap Dewa terbata-bata, seperti baru saja menyaksikan keajaiban dunia.
“I-ya” Ryan menimpali, nada suaranya bergetar antara kagum dan takut. “Ternyata mantranya sakti betulan.”
Galuh akhirnya bisa bergerak. Ia menoleh pada kedua temannya, wajahnya berubah panik.
“Bagaimana ini?” seru Galuh sambil mencengkeram rambut sendiri. “Aku nggak mau dikejar-kejar Bagja! Nanti kalau dia sudah benar-benar terkena mantra pemikat hati gara-gara aku, habislah hidupku!”
Ryan dan Dewa saling berpandangan. Dalam hati mereka berdua muncul rasa iba. Bayangan Bagja, sang dokter tampan sekaligus tetangga Galuh, mendadak menempel terus seperti perangko di surat cinta, pasti akan jadi masalah besar.
“Apa ada cara buat memutuskan mantra itu?” Galuh menatap keduanya dengan mata memelas. Suara gadis berkemeja kotak-kotak kebesaran itu terdengar nyaris putus asa.
Dewa menghela napas panjang. “Coba cari di bukunya! Siapa tahu ada bacaan mantra untuk memutuskan atau menghilangkan pengaruhnya.”
“Buku itu disimpan di rumah,” jawab Galuh lirih, bahunya merosot lemas. Dunia rasanya runtuh gara-gara satu kesalahan salah baca mantra.
Ryan menepuk tangan, ide cemerlang melintas di kepalanya. “Coba bacakan mantra tolak bala saja sekarang! Langsung ke Bagja!”
Galuh terbelalak, lalu bibirnya melengkung, tipis, ada secercah harapan. “Benar juga! Kalau mantra pemikat hati itu beradu dengan mantra penolak bala, mungkin efeknya hilang!”
Namun begitu Galuh menoleh, wajahnya langsung pucat. “Eh ... Bagja ke mana?” Ia baru sadar, pria itu sudah tidak ada di sekitar.
“Dia sudah pergi.” Dewa menunjuk ke arah luar ruangan.
“Cepat cari! Jangan sampai lolos, atau kamu akan selamanya dikejar-kejar Bagja!” seru Ryan dengan wajah serius, meski sorot matanya tampak geli.
Galuh berlari secepat mungkin menuju area parkir puskesmas. Napasnya terengah, jantungnya berdebar kencang. Di sana, benar saja, Bagja sedang menyalakan motor vespa kesayangannya.
Dengan nekat, Galuh menghadang. Kedua tangannya direntangkan seperti palang pintu kereta api.
“Galuh? Ada apa?” tanya Bagja. Senyum menawan itu kembali menghiasi wajahnya.
Brerrrr.
Tubuh Galuh langsung merinding. Kalau orang lain, pasti klepek-klepek disuguhi senyum semacam itu. Akan tetapi, tidak bagi Galuh. Efeknya justru kebalikan, bulu kuduknya berdiri, seperti habis menonton film horor.
“Aku ada perlu sama kamu,” jawab Galuh dengan wajah garang, berusaha menutupi rasa gugup yang menyesak.
“Ada perlu apa, nih? Aku siap membantu,” balas Bagja santai, seolah sedang berbicara dengan pasien biasa. Senyumnya masih saja menghiasi wajahnya, menyebalkan sekaligus memikat.
Galuh buru-buru merogoh saku baju dan celana. Ia baru sadar, kertas berisi mantra tolak bala tidak ada. Panik pun menyeruak.
“Kertas mantranya mana, ya? Jangan-jangan terjatuh lagi!” batin Galuh kalang kabut.
Bagja mencondongkan kepala, ekspresinya penuh rasa ingin tahu. “Kenapa? Kok, kamu kayak panik, gitu?” Lalu ia memasang wajah tengil khasnya. “Apa kamu mau ikut pulang bareng aku? Boleh saja, cepetan naik!”
“Hah?!” Galuh spontan memasang ekspresi cengo. “Siapa yang mau nebeng pulang sama kamu!”
Suara tingginya nyaris menggetarkan kaca jendela puskesmas.
Bagja terkekeh kecil. “Oh, aku kira kamu mau aku bonceng, kayak orang pacaran.”
Brerrrr.
Merinding lagi. Kali ini lebih parah. Galuh merasa seperti melihat sosok asing di balik tubuh Bagja. Bukan tetangga menyebalkan yang biasa ia temui, tapi seseorang yang berubah drastis. Menjadi terlihat romantis, menggoda, dan berbahaya.
“Siapa yang mau jadi pacar kamu!” teriak Galuh, wajahnya memerah padam. Lalu, tanpa pikir panjang, ia berbalik, melangkah cepat ke arah motor RX King kesayangannya.
Dengan kasar ia menyalakan mesin, bunyinya meraung keras. Sambil ngomel-ngomel tak jelas, ia melajukan motor pergi, meninggalkan Bagja yang hanya berdiri memandangi punggungnya.
Anehnya, Bagja tidak marah dan tidak tersinggung. Ia justru tersenyum, senyum yang makin dalam, seakan-akan baru saja menemukan sesuatu yang berharga. Dengan tenang, ia pun menyalakan vespanya, melaju menuju rumah.
Di jalan, pikiran Galuh berkecamuk. Angin sore yang berembus menyapu wajahnya, tetapi tidak mampu menyejukkan hati yang panas.
“Astagfirullah, kenapa bisa begini? Baru juga sekali baca mantra, efeknya langsung begini! Kalau begini terus, hidupku bisa jadi drama sinetron!”
Sementara itu, Ryan dan Dewa masih berdiri di depan puskesmas. Keduanya saling tatap dengan wajah penuh tanda tanya.
“Kalau mantranya bener-bener manjur—” gumam Ryan.
“Berarti mulai besok Galuh akan jadi pacarnya Bagja?” potong Dewa, wajahnya setengah prihatin, setengah menahan tawa.
Keduanya terdiam. Bayangan Galuh dikejar-kejar Bagja seperti dikejar anjing kampung mendadak muncul di kepala. Keduanya tidak tahan lagi, meledaklah tawa mereka, meski dalam hati terbersit kekhawatiran. Bagaimana kalau Bagja benar-benar tidak bisa lepas dari Galuh?
❤❤❤❤😍😙😗
teeharu...
❤❤❤😍😙😙😭😭😘
semoga yg baca semakin banyak....