JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5. GILA?
Suara pintu yang dibanting keras itu bergema di seluruh rumah, menggetarkan dinding-dinding yang sudah menua, membuat kaca jendela bergetar halus seolah turut merasakan gejolak emosi sang pemilik rumah. Ayah Sadewa berdiri di ambang pintu kamar anaknya dengan napas terengah, mata merah membara, rahang mengeras menahan murka yang sejak pagi hari menumpuk tanpa bisa lagi dibendung.
"Sadewa!" suara ayah Dewa meledak, berat, menggelegar, penuh bara yang tak bisa ditawar. "Apa-apaan kelakuanmu selama ini, hah?! Tidak sekolah, teriak-teriak seperti orang gila di rumah! Kau kira aku ini orang tua yang buta?!"
Sadewa, yang sejak tadi meringkuk di sudut kamar dengan wajah pucat pasi, tubuh gemetar, hanya bisa menunduk. Napasnya memburu. Seluruh inderanya terasa tumpul, hanya bunyi jantung yang berdegup kencang dan bayangan hitam yang selalu menari-nari di sudut pandang matanya, mengusik kewarasan yang semakin rapuh.
"I-iya, Yah," suaranya parau, hampir tak terdengar. Tapi kata-kata itu justru menyulut api yang lebih besar di dada sang ayah.
"Iya, iya apanya?!" teriaknya. "Setiap hari aku lihat kau cuma bersembunyi di kamar, berteriak-teriak ketakutan seperti orang kesurupan! Kau kira aku bodoh?! Jangan-jangan kau sudah terjerumus obat-obatan terlarang?! Itu sebabnya kelakuanmu aneh begini, hah?! Jawab aku, Sadewa!"
Tangan ayahnya, besar, keras, dan penuh otot karena bertahun-tahun ditempa kehidupan sebagai pejabat lapangan yang terbiasa memimpin dengan disiplin keras, terangkat tinggi lalu menghantam pipi Sadewa. Suara tamparan itu meledak, menggema di ruangan sempit itu. Kepala Sadewa terhempas ke samping, pandangannya berkunang, bibirnya terasa asin oleh darah.
"Pa! Jangan!" suara Ibu Sadewa yang sejak tadi berdiri di ambang pintu, menahan napas penuh cemas, akhirnya pecah. Ia berlari, memegang lengan suaminya agar tidak kembali terangkat. "Jangan pukul Dewa! Dia bukan anak nakal, dia sakit! Kau tidak lihat?! Dia sakit, Pa!"
"Sakit?!" Sang ayah menoleh dengan sorot mata berapi-api. "Apa yang sakit darinya? Dia nggak cacat, nggak kekurangan apa pun! Dia hanya malas! Malas dan sudah keblinger! Kalau terus-terusan seperti ini, aku sumpah, lebih baik aku usir dia dari rumah daripada mempermalukan keluarga kita!"
"Pa!" suara Ibu Dewa meninggi, kali ini tak kalah keras. "Kamu buta, Pa! Kamu nggak lihat bagaimana anakmu ketakutan setiap malam! Kamu kira itu main-main?! Kamu kira itu sekadar alasan untuk tidak sekolah?! Nggak! Dia sedang tertekan, stress, mendekati ujian nasional! Kamu tahu sendiri betapa keras dia belajar! Sekarang dia jatuh sakit karena beban itu!"
Pertengkaran itu meledak di hadapan Sadewa. Kata-kata yang saling menghantam seperti pisau, suara teriakan yang memenuhi telinganya, membuat kepalanya terasa mau pecah. Ia menutup telinga dengan kedua tangannya, tubuhnya meringkuk semakin kecil, ingin lenyap, ingin menghilang dari kenyataan pahit itu.
Namun, di tengah hiruk pikuk itu, sesuatu terjadi.
Di balik kabut ketakutannya, pandangan Sadewa terhenti pada sosok yang sudah terlalu sering menghantui hari-harinya. Sosok pucat kebiruan, perempuan dengan rambut panjang kusut menjuntai menutupi sebagian wajah, yang biasanya hanya berdiri di sudut kamar memandanginya dengan tatapan kosong.
Kali ini, sosok itu berbeda.
Sosok itu berdiri tepat di hadapan Sadewa. Bukan lagi di sudut, bukan lagi sekadar bayangan samar. Tubuhnya yang tinggi menjulang, pucat kebiruan dengan aura dingin menusuk tulang, tegak seperti perisai. Kedua tangannya terentang ke samping, seolah melindungi Sadewa dari murka ayahnya yang siap menghantam lagi.
Dan yang lebih mengejutkan, wajah sosok itu.
Tidak lagi hanya kosong. Ada kemarahan di sana. Mata yang redup kebiruan kini menyala garang, bibirnya yang pucat membentuk garis tegang, seakan sedang menahan amarah besar. Namun kemarahan itu bukan tertuju pada Sadewa. Bukan. Untuk pertama kalinya sejak ia menampakkan diri, perempuan itu menatap tajam lurus ke arah kedua orang tua Sadewa.
Seolah hendak berkata: Jangan sentuh dia. Jangan sakiti dia.
Sadewa terpaku. Jantungnya membuncah, bukan hanya karena takut, tapi juga bingung.
Kenapa ... kenapa sosok itu melindunginya?
Suasana kamar menjadi semakin pengap. Pertengkaran antara Ayah dan Ibu Sadewa tidak berhenti, suara mereka saling tindih, saling menghantam, seolah dua badai bertubrukan dalam ruangan sempit yang hanya berisi ketakutan.
Namun bagi Sadewa, semua suara itu seakan menjauh, teredam oleh sesuatu yang lain. Ia hanya fokus pada sosok perempuan pucat yang kini berdiri di hadapannya.
Sosok itu bukan lagi sekadar bayangan samar. Jelas. Nyata. Setiap helai rambut kusutnya tampak seperti bisa disentuh. Setiap keriput pucat di wajahnya, setiap sorot matanya yang dingin, semuanya terlalu nyata untuk sekadar khayalan.
Sadewa menelan ludah. Tubuhnya bergetar.
Ini nyata? Atau aku sudah benar-benar gila? pikir Sadewa.
Kedua orang tuanya masih berteriak. Namun yang membuat Sadewa tercekat adalah tatapan sosok itu. Ia tidak menatap dirinya, melainkan menatap ayah dan ibunya. Tatapan itu menusuk, penuh amarah yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
"Ayah?" gumam Sadewa lirih, matanya tak lepas dari perempuan itu. Suaranya bergetar, antara memohon dan bingung. "Ibu? Kalian ... kalian lihat dia, kan?"
Namun pertanyaannya justru tidak digubris. Sang ayah masih memaksa dan menuduh, "Sadewa! Jawab aku! Kau pakai obat-obatan, kan?!"
Sadewa mendengar suara itu sayup-sayup, seperti dari kejauhan. Ia ingin menjawab, tetapi kata-kata tercekat. Bukan karena takut pada ayahnya, melainkan karena sosok perempuan itu perlahan menggerakkan kepalanya.
Perlahan ... sangat perlahan.
Dari menatap lurus ke arah orang tua Sadewa, kini kepalanya menoleh, matanya menatap langsung ke Sadewa.
Dan saat itu, dada Sadewa seakan diremas.
Ada sesuatu yang ia lihat di mata perempuan itu: kemarahan bercampur belas kasih. Seperti sosok itu bukan ingin menakutinya, tetapi ... memepringatkannya.
Namun memperingatkan apa?
Suara gaduh semakin kencang. Ibu dan Ayah Sadewa kini saling dorong di dekat pintu.
"Berhenti menyalahkan anakmu!" teriak sang ibu.
"Kamu terlalu membelanya! Dia memalukan keluarga!" balas sang ayah.
Sadewa tak bisa lagi fokus. Dunia seperti berputar. Suara-suara itu berputar di kepalanya, bercampur dengan bisikan halus yang entah dari mana asalnya.
Bisikan itu lirih. Terlalu lirih untuk dipahami jelas. Tapi Sadewa yakin ... itu suara perempuan di hadapannya.
"Mereka tidak dengar aku ...."
Sadewa terperanjat. Jantungnya hampir meloncat keluar. Ia menatap sosok itu lekat-lekat.
Dia bicara padaku? batin Dewa menjerit ketakutan.
Bisikan itu terdengar lagi.
"Mereka ... tidak melihat ... apa yang kau lihat. mereka buta ...."
Kepala Sadewa terasa mau pecah. Ia ingin menutup telinganya, tetapi suara itu seakan datang dari dalam kepalanya, bukan dari luar.
Dewa menoleh cepat ke arah ayah dan ibunya. "Kalian dengar?! Dia bicara! Dia bicara!!" teriaknya dengan mata melotot.
Ayahnya membeku sejenak, lalu wajahnya semakin merah padam. "Astaga, Dewa! kau benar-benar sudah gila!"
"Iya, Yah! Dia bicara!" Sadewa menunjuk sosok itu dengan tangan gemetar. "Dia ada di sini! Dia berdiri di sini! Jangan pura-pura tidak lihat!!"
Ibu Sadewa mendekat, meraih pundak anaknya yang bergetar hebat. "Dewa, tenang, tenang, Nak. Tidak ada siapa-siapa di sini. Itu hanya bayangan pikiranmu."
"TIDAK!!" teriak Sadewa histeris. "Dia ada! Dia di sini!! Dia melindungiku dari Ayah! Dia ... dia marah pada kalian!!"
Ucapan itu membuat wajah sang ayah kaku sejenak. Bukan karena percaya, melainkan karena semakin yakin putranya telah kehilangan akal sehat. Tangan keras itu kembali terangkat, siap mendarat ke wajah Sadewa.
Namun, saat itu juga sesuatu terjadi.
Lampu kamar yang redup tiba-tiba bergetar, berkelip beberapa kali sebelum kembali menyala. Udara dalam kamar mendadak menjadi dingin, menusuk tulang. Aroma tanah basah menyeruak entah dari mana.
Dan perempuan itu, sosok pucat kebiruan menyeramkan itu, mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. Seolah benar-benar hendak menahan ayah Sadewa yang siap memukul.
Tatapannya kian menajam. Mulutnya sedikit terbuka. Menatap tajam ayah Sadewa.
Ayah Sadewa tiba-tiba terdiam, seperti merasakan sesuatu yang tidak bisa ia lihat. Wajahnya memucat dan menurunkan tangannya yang sempat ingin ia layangkan ke wajah putranya.
"Jangan sentuh ... dia."
Untuk sesaat, Sadewa merasa seluruh dunia berhenti berputar. Sosok itu membela Sadewa.
Ada yang berubah.
Sosok itu, bukan lagi hanya sekadar hantu yang menyeramkan. Ia terlihat hidup. Terlalu hidup di mata Dewa.
Dan yang membuat Sadewa makin bingung, wajah sosok itu, sekilas ... sekilas saja ... mirip seseorang yang pernah Dewa lihat.
Tapi siapa?
Kepala Sadewa dipenuhi tanda tanya, ketakutan, dan rasa penasaran yang mengguncang seluruh pikirannya.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
ternyata bener kn jadi tumbal
kenapa si dewa ini
apa ayahnya Dewa???