NovelToon NovelToon
SUAMI DADAKAN

SUAMI DADAKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Cinta setelah menikah / Pengantin Pengganti / Pernikahan Kilat / Bercocok tanam
Popularitas:13.7k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Khanza hanya berniat mengambil cuti untuk menghadiri pernikahan sepupunya di desa. Namun, bosnya, Reza, tiba-tiba bersikeras ikut karena penasaran dengan suasana pernikahan desa. Awalnya Khanza menganggapnya hal biasa, sampai situasi berubah drastis—keluarganya justru memaksa dirinya menikah dengan Reza. Padahal Khanza sudah memiliki kekasih. Khanza meminta Yanuar untuk datang menikahinya, tetapi Yanuar tidak bisa datang.
Terjebak dalam keadaan yang tak pernah ia bayangkan, Khanza harus menerima kenyataan bahwa bos yang sering membuatnya kesal kini resmi menjadi suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32

Ruang Perawatan VIP — Schulthess Klinik, Zurich

“TIDAAAK!!! JANGAN SENTUH AKU!!!”

Khanza berteriak histeris, tangannya mencabut selimut dan berusaha turun dari ranjang meski tubuhnya masih lemah.

Alat monitor jantung berderit cepat, beep-beep-beep menandakan panik yang semakin memuncak.

“AKU MAU MAS REZA!!! MAS REZAAAA!!!”

Devan maju cepat, kedua tangannya menahan bahu Khanza agar tidak jatuh dari ranjang.

Tatapannya tajam, suaranya bergetar penuh dominasi.

“TENANG, ZA! REZA TIDAK ADA DI SINI! KAMU HANYA PUNYA AKU!!!”

“BOHOOOONG!!!” Khanza menggeleng keras-keras, tangannya mencoba menepis Devan.

“REZA AKAN DATANG!!! KAMU PEMBOHONG!!!”

Devan menahan rahangnya, wajahnya mendekat hanya beberapa sentimeter.

“Lihat mataku! Aku suamimu sekarang! Kau harus dengar aku, bukan orang lain!”

Tapi histeria Khanza makin menjadi. Tubuhnya bergetar hebat, dadanya naik turun cepat.

Suster masuk terburu-buru bersama dua perawat lain, wajahnya panik melihat monitor yang berbunyi keras.

“Sir, her condition is unstable!” seru suster dalam bahasa Inggris.

Devan menoleh cepat, nada suaranya penuh kuasa.

“Give her the sedative. Now.”

Perawat ragu sejenak. “But sir—”

Devan mengangkat buku nikah dari jasnya dan menunjukkannya dengan tatapan dingin.

“Saya suaminya. Dan saya berhak meminta agar istri saya tenang. Berikan suntikan itu sekarang!”

Khanza menjerit, mencoba meraih tangan suster. “JANGAN!!! JANGAN SUNTIK SAYA!!!”

Air matanya jatuh deras, kepalanya menggeleng-geleng liar. “Aku nggak mau! Aku masih mau lihat Reza!!!”

Perawat saling pandang, tapi akhirnya salah satu mengangguk pelan. Jarum suntik disiapkan.

“TIDAAAAK!!!” Khanza meronta, tapi tubuhnya lemah. Infus di tangannya hampir terlepas.

Devan menahan kedua pergelangan tangannya di atas ranjang, matanya tak berkedip.

“Maaf, Za. Aku lakukan ini untuk kebaikanmu.”

Jarum itu menusuk lengan Khanza.

“JANGAAAN…!!!” suaranya serak, semakin melemah.

Beep… beep… beep… monitor kembali melambat ke ritme normal.

Mata Khanza perlahan tertutup, tubuhnya terkulai kembali di ranjang

Air mata terakhir masih menetes di pipinya.

Devan mengusap wajahnya pelan, senyum tipis tersungging di bibirnya.

“Tidurlah, istriku. Saat kamu bangun, kamu hanya akan lihat aku. Bukan Reza.”

Ruang Perawatan VIP — Schulthess Klinik, Zurich

Pintu terbuka pelan. Seorang pria berpakaian hitam rapi, anak buah kepercayaan Devan, masuk dengan langkah cepat. Ia menunduk sopan.

“Tuan, helikopter sudah siap di atap. Dokter dan dua perawat pribadi juga sudah menunggu. Semua peralatan medis sudah dipindahkan.”

Devan masih duduk di tepi ranjang, jemarinya menyisir rambut Khanza yang terkulai tak berdaya.

“Bagus.” Ia berdiri, lalu menggeser tubuh Khanza perlahan.

Dengan gerakan hati-hati namun penuh tekad, Devan membopong tubuh lemah istrinya ke dalam gendongan.

Selimut putih masih menutupi tubuh Khanza, kepala wanita itu bersandar di bahunya.

Devan menatap wajah Khanza sejenak, senyum tipis muncul di bibirnya.

“Kita akan pergi jauh dari semua orang yang mencoba merebutmu dariku, Za. Mulai sekarang hanya ada aku.”

Anak buahnya membuka pintu lebar, memastikan koridor steril.

Dua perawat berjalan di depan, membawa tas medis dan tabung oksigen portabel.

Dokter paruh baya mengikuti, wajahnya penuh keraguan tapi terdiam karena bayaran besar yang sudah diterimanya.

Atap Klinik — Helipad, Zurich

Angin dingin menyapu keras, baling-baling helikopter hitam berputar kencang, menimbulkan debu salju beterbangan.

Anak buah Devan sigap menutup jalur akses, memastikan tak ada yang mengikuti.

Devan naik ke helikopter dengan langkah mantap, masih menggendong Khanza erat-erat.

Ia duduk di kursi VIP, memangku istrinya yang terlelap dalam dekapan.

Dokter segera menyiapkan selang infus portable, memastikan kondisi Khanza stabil selama penerbangan.

“Tuan, semua siap. Tujuan pulau pribadi di Laut Aegea.”

“Terbang sekarang.”

Pilot segera menggerakkan tuas dan mulai lepas landas.

Helikopter itu perlahan terangkat, meninggalkan cahaya kota Eropa malam hari.

Devan menatap keluar jendela sebentar, lalu kembali menunduk ke wajah Khanza yang tertidur.

Ia mencium kening wanita itu lembut, tapi tatapannya gelap.

“Di pulau itu, Za. Aku akan sembuhkan kamu. Dan tidak ada satu pun bahkan Reza yang bisa menemukanmu.”

Beberapa jam setelah perjalanan panjang, helikopter hitam itu mendarat di sebuah helipad batu yang dikelilingi laut biru gelap dan ombak yang berdebur di bawah tebing.

Pulau itu sunyi, hanya ada sebuah villa mewah bergaya modern minimalis berdiri megah di tengah pepohonan pinus.

Lampu-lampu villa berkilau hangat, kontras dengan kegelapan malam.

Devan turun dari helikopter sambil tetap menggendong Khanza yang masih terlelap karena obat penenang.

Anak buahnya berjalan cepat di depan, memastikan jalur aman.

Dokter dan perawat membawa koper besar berisi peralatan medis khusus.

Ruang Utama Villa — Kamar Perawatan Khusus

Kamar itu luas, dinding kaca besar menghadap ke laut. Ranjang pasien elektronik sudah disiapkan di tengah ruangan, lengkap dengan mesin monitor modern, tabung oksigen, dan infus portable.

Devan menurunkan Khanza perlahan ke ranjang, memastikan selimut menutupi tubuh lemah istrinya.

Tatapannya tajam, namun jemarinya bergerak pelan menyapu pipi Khanza.

“Di sini kamu aman, Za.” bisiknya dingin.

Kemudian dokter meminta perawat untuk kembali memasang beberapa alat medis ke tubuh Khanza.

“Pasang monitor jantung. Cek tekanan darah dan oksigennya.”

Beberapa perawat dengan cekatan bekerja mulai dari memasang selang infus baru dipasang ke lengan Khanza.

Memasang Masker oksigen ditempelkan ke wajahnya.

Elektroda monitor jantung ditempelkan ke dada dan pelipisnya.

Beep… beep… beep…

Suara mesin kembali memenuhi ruangan, kali ini stabil dan tenang.

Dokter menoleh pada Devan yang berdiri di sampingnya.

“Dia dalam kondisi aman sekarang, tapi tubuhnya lemah. Terapi harus segera dimulai agar leukemia tidak berkembang.”

Devan mengangguk, matanya tak pernah lepas dari wajah Khanza.

“Lakukan semua yang perlu. Uang bukan masalah. Yang penting dia tetap hidup.”

“Baik, Tuan.”

Saat dokter dan perawat bekerja, Devan berdiri di sisi ranjang.

Ia menggenggam tangan Khanza yang dingin, menunduk dan menatap wajah istrinya dalam.

“Tidurlah, Sayang. Mulai sekarang dunia kita hanya ada di sini. Pulau ini akan jadi saksi. Tidak ada Reza, tidak ada siapa pun. Hanya kau dan aku.”

Ia mengecup punggung tangan Khanza, senyum tipis penuh kepemilikan terlukis di bibirnya.

Lampu redup menerangi ruangan luas itu. Dari jendela kaca besar, suara debur ombak terdengar samar bercampur dengan semilir angin laut malam.

Khanza masih tertidur pulas, wajahnya pucat dengan masker oksigen menempel.

Infus menyalurkan cairan bening ke nadinya, sementara suara beep… beep… beep… monitor jantung mengisi keheningan.

Devan duduk di kursi empuk tepat di sisi ranjang. Jas hitamnya sudah ia lepas, hanya menyisakan kemeja putih dengan lengan tergulung.

Siku bertumpu pada lutut, tubuh condong ke depan. Tatapannya tak beranjak dari wajah Khanza.

Beberapa menit ia hanya diam, memperhatikan setiap tarikan napas lemah istrinya.

Jemarinya akhirnya bergerak, meraih tangan Khanza yang dingin lalu menggenggamnya erat.

“Za…” bisiknya pelan, seolah takut membangunkannya.

“Aku tahu kamu benci aku sekarang. Kamu bahkan menolak aku mentah-mentah.”

Matanya meredup, namun senyum tipis tetap tersungging.

“Tapi, aku nggak peduli. Yang penting, kamu di sini. Sama aku. Nggak ada lagi yang bisa merebutmu.”

Ia berhenti sejenak, pandangannya jatuh pada selang infus yang menempel di lengan Khanza.

“Aku akan sembuhkan kamu, Za. Biar kamu sadar suatu hari nanti bahwa yang benar-benar ada untukmu cuma aku, bukan Reza.”

Devan menunduk, mencium punggung tangan Khanza dengan lembut tapi penuh kepemilikan.

“Aku nggak akan biarkan kamu pergi lagi. Kalau harus mengurungmu di pulau ini seumur hidup, aku rela.”

Angin malam menerpa tirai tipis, sementara di luar laut terus bergemuruh.

Devan menyandarkan tubuhnya di kursi, namun tangannya tak pernah melepas genggaman pada tangan Khanza.

“Bangunlah cepat, Sayang. Aku ingin kau lihat sendiri betapa jauh aku sudah membawamu hanya untuk memastikan kamu jadi milikku.”

1
Dwi Estuning
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!