Dominic, sang maestro kejahatan, telah menawarinya surga dunia untuk menutup mata atas bukti-bukti yang akan menghancurkan kerajaannya.
Yumi, jaksa muda bercadar itu, telah menolak. Keputusan yang kini berbuah petaka. Rumahnya, hancur lebur. Keluarga kecilnya—ibu, Kenzi, dan Kenzo, anak kembarnya—telah menjadi korban dalam kebakaran yang disengaja, sebuah rencana jahat Dominic.
Yumi menatap foto keluarga kecilnya yang hangus terbakar, air mata membasahi cadarnya. Keadilan? Apakah keadilan masih ada artinya ketika nyawa ibu dan anak-anaknya telah direnggut paksa? Dominic telah meremehkan Yumi. Dia mengira uang dapat membeli segalanya. Dia salah.
Yumi bukan sekadar jaksa; dia seorang ibu, seorang putri, seorang pejuang keadilan yang tak kenal takut, yang kini didorong oleh api dendam yang membara.
Apakah Yumi akan memenjarakan Dominic hingga membusuk di penjara? Atau, nyawa dibayar nyawa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiba di Pulau
Setelah berjuang lebih dari dua hari tanpa makan dan minum di tengah lautan yang luas, Yumi dan Dominic akhirnya mencapai sebuah pulau terpencil.
Pulau itu begitu terisolasi, jauh dari daratan lain. Dari kejauhan, daratan lain hanya terlihat sekecil ujung ibu jari, menunjukkan betapa terpencil lokasi mereka di tengah samudra yang luas.
Yumi, dengan napas terengah-engah, berdiri tegak. Kelelahan yang luar biasa telah mengalahkan semangat kompetitifnya; pertarungan selama dua hari seolah terlupakan.
Pandangannya menyapu sekeliling pulau, mencari tanda-tanda kehidupan. Kekecewaan tampak jelas di wajahnya, saat menyadari ia harus menunggu entah sampai kapan di pulau itu. "Sepertinya tidak ada tanda kehidupan di pulau ini," gumamnya, lemas. Setelah perjuangan panjang, ia hanya bisa pasrah menunggu keajaiban—sebuah kapal yang lewat, atau bantuan yang datang entah dari mana.
Dominic, di sisi lain, duduk di tepi pantai, memegangi lukanya yang masih terasa perih. Wajahnya pucat terlalu banyak kehilangan darah, namun pria itu tetap terlihat tegar tanpa mengeluh dengan wajah tanpa ekspresi.
Yumi menyadari kondisi Dominic yang kritis meski tanpa mendengar eluhan pria itu.
Dengan sigap, ia menghampiri Dominic, merobek ujung bajunya, lalu dengan hati-hati membalut luka Dominic.
"Jangan mati sekarang, ini belum apa-apa dibandingkan kehilangan putra-putra dan ibuku akibat ulah, Anda!" Yumi menarik kerah baju Dominic.
Ia sudah kembali ke Yumi yang penuh tekad dan dendam untuk menghancurkan Dominic.
Dominic tidak menjawab, hanya diam menatap Yumi. Keduanya juga tak lagi membahas pertarungan di tengah laut.
Yumi, meskipun mengingatnya, memilih bungkam. Ia sadar bahwa Dominic yang menang, dan ia tertinggal jauh di belakang.
Dominic juga tak mengungkit kemenangannya. Kata-kata yang ia lontarkan di tengah laut hanyalah untuk memberi semangat, bukan janji serius. Ia sama sekali tak berniat untuk memanfaatkan situasi tersebut untuk benar-benar meniduri Yumi.
Keheningan menyelimuti mereka, diselingi hanya suara debur ombak. Keduanya menyadari betapa kecil dan ringkihnya mereka di hadapan alam yang begitu luas dan tak terduga.
Kemenangan dan kekalahan, ambisi dan persaingan, semuanya terasa tak berarti di pulau terpencil ini. Yang terpenting sekarang adalah bertahan hidup, menghadapi tantangan bersama-sama.
Dominic berdiri, mengabaikan rasa sakit yang menusuk di perutnya. Ia berjalan, mencari kayu runcing untuk menangkap ikan.
Dua hari lebih terombang-ambing di tengah lautan telah membuat mereka kelaparan dan kehausan luar biasa. Yumi takjub melihat Dominic, pria itu masih bisa berdiri tegak, menahan luka serius di perutnya. Ketahanan fisik Dominic sungguh mengagumkan.
Dominic mengandalkan pengalamannya mendaki gunung dan menjelajahi hutan belantara. Sebagai seorang mafia yang berpengalaman, ia terlatih untuk bertahan hidup di kondisi ekstrem.
Keterampilannya dalam bertahan hidup, yang terasah melalui berbagai misi berbahaya, kini menjadi penyelamatnya dan Yumi. Ia tahu bagaimana menemukan sumber air, membuat perangkap sederhana, dan mencari makanan di alam liar.
Keahliannya yang selama ini tersembunyi di balik citra seorang mafia kini menjadi harapan bagi mereka berdua untuk dapat bertahan hidup di pulau terpencil ini. Ia tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Yumi, yang kini bergantung padanya.
Tanpa terasa, hari mulai gelap. Yumi duduk di tepi pantai, pikirannya melayang pada kedua putranya dan ibunya. Rasa rindu memenuhi hatinya.
Namun, Dominic tiba-tiba datang, membawa ikan bakar yang baru saja ia masak. Ia meletakkan ikan tersebut di atas alas daun yang bersih.
"Makanlah, jika kau ingin tetap bertahan hidup," kata Dominic tenang, matanya menatap lautan luas. Ia menikmati ikan bakarnya yang sederhana, tanpa garam.
Yumi, yang memang sangat kelaparan, langsung memakan ikan tersebut. Ia tak mampu menolak tawaran makanan di tengah keputusasaan.
"Saya pikir orang kaya raya seperti Anda tidak tahu cara bertahan hidup di tempat seperti ini, mengingat kehidupan Anda yang penuh kemewahan," sindir Yumi, mencoba menutupi rasa kagumnya pada kemampuan bertahan hidup Dominic. Ia tak menyangka seorang mafia kaya raya seperti Dominic ternyata memiliki keterampilan bertahan hidup yang luar biasa.
Dominic tidak menjawab, hanya diam dengan wajah datar. Ia tak terpengaruh oleh sindiran Yumi; pujian atau cercaan tak berarti baginya.
Ia sudah terbiasa menghadapi berbagai situasi sulit dan tekanan, kekebalan emosionalnya telah teruji berkali-kali. Ia tak goyah, tak terpancing, tetap tenang dan fokus pada situasi yang dihadapi.
Bagi Dominic, bertahan hidup di pulau terpencil ini adalah prioritas utama, bukan menanggapi komentar-komentar yang tak penting.
Setelah Yumi selesai makan, Dominic memberikannya minum. Air yang diberikan Dominic, entah dari mana asalnya, terasa tawar dan segar, sama sekali tidak asin seperti air laut. Kemampuan Dominic untuk menemukan sumber air tawar di pulau terpencil itu.
Entah mengapa, melihat semua yang dilakukan Dominic, Yumi kembali ragu. Mungkinkah pria yang mampu bertahan hidup dan penting menunjukkan kebaikan ini adalah orang yang telah membunuh ibunya dan anak-anaknya? Keraguan itu mulai mengusik pikirannya lagi.
**
Di rumah, suasana sudah heboh. Semua orang panik mencari Yumi yang telah hilang selama dua hari.
"Mas, kok ponakan kita ini benar-benar nggak ada, ya? Ke mana sebenarnya Yumi pergi?" Riya benar-benar sangat cemas
Rinto memijat kepalanya, frustasi. Mereka sudah membuat laporan polisi, dan beberapa petugas telah dikerahkan untuk mencari Yumi, namun tetap tanpa hasil. Keberadaan Yumi masih menjadi misteri.
"Aku juga bingung, mau nyari Yumi di mana lagi. Kita kan sama-sama tahu, terakhir kali kita makan malam bareng Yumi, terus dia pamit tidur. Pas bangun, Yumi udah nggak ada. Aku bingung mau ngomong apa, atau nunjukin ke mana sebenarnya Yumi pergi," kata Rinto, suaranya terdengar putus asa. Kehilangan Yumi telah membuat keluarganya kalut dan cemas.
"Mas... bagaimana kalau... curigaan kita benar? Yumi ditahan... atau mungkin diculik oleh Tuan Dominic?" Tante Riya, mulai mengeluarkan dugaan yang semakin kuat sering mengait-ngaitkan tentang hilangnya Yumi dengan Dominic didorong oleh kecemasan yang luar biasa.
Pikirannya melayang pada Dominic, pria yang selama ini dikenal misterius dan memiliki reputasi yang kurang baik di mata masyarakat. Kemungkinan terburuk pun mulai terlintas di benaknya, semakin memperparah rasa khawatir dan panik yang sudah membayangi keluarga.
Rinto sebenarnya juga berpikir demikian, tetapi mereka tak berdaya. Karena jika memang Yumi ditahan atau diculik oleh Dominic, mereka tahu tak akan bisa berbuat banyak.
Mereka yakin, bahkan polisi pun tak akan berani menggeledah atau menyelidiki Dominic secara menyeluruh. Kekuasaan dan pengaruh Dominic yang sangat besar membuat mereka merasa kecil dan tak berdaya di hadapannya.
"Mas, gimana kalau kita laporkan saja Tuan Dominic atas apa yang terjadi dan atas hilangnya Yumi? Mungkin benar kalau dia terlibat," saran Ria, meskipun suaranya terdengar ragu-ragu. Sarannya memang terdengar nekat dan tidak masuk akal. Meskipun mereka semua mencurigai Dominic, mereka juga sadar akan konsekuensi menuduh seseorang tanpa bukti yang kuat. Tuduhan yang salah bisa berbalik dan membuat mereka sendiri yang bermasalah.
"Tidak bisa, Ri. Sekalipun kita punya bukti, kita nggak punya uang cukup untuk melawan Tuan Dominic. Apalagi sekarang kita sama sekali nggak punya bukti tentang firasat kita ini," jawab Rinto, suaranya berat. Ia tahu istrinya hanya didorong oleh kecemasan dan keputusasaan. Namun, melawan Dominic bagaikan melawan badai. Kekuasaannya terlalu besar untuk dilawan dengan tangan kosong. Bahkan berduit pun mereka belum tentu bisa melakukannya.
Tok… tok… tok…
Suara ketukan pintu terdengar, mengagetkan Rinto dan Riya. Ketegangan di ruangan itu semakin terasa. Siapakah yang datang di saat-saat mencekam ini?
Dan salam kenal para reader ☺️☺️😘😘