Karena kesulitan ekonomi membuat Rustini pergi ke kota untuk bekerja sebagai pembantu, tapi dia merasa heran karena ternyata setelah datang ke kota dia diharuskan menikah secara siri dengan majikannya.
Dia lebih heran lagi karena tugasnya adalah menyusui bayi, padahal dia masih gadis dan belum pernah melahirkan.
"Gaji yang akan kamu dapatkan bisa tiga kali lipat dari biasanya, asal kamu mau menandatangani perjanjian yang sudah saya buat." Jarwo melemparkan map berisikan perjanjian kepada Rustini.
"Jadi pembantu saja harus menandatangani surat perjanjian segala ya, Tuan?"
Perjanjian apa yang sebenarnya dituliskan oleh Jarwo?
Bayi apa sebenarnya yang harus disusui oleh Rustini?
Gas baca, jangan lupa follow Mak Othor agar tak ketinggalan up-nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjanjian Bab 25
Tok! Tok! Tok!
Rustini rasanya belum lama tidur, tetapi suara ketukan pintu begitu mengganggu pendengarannya. Wanita itu bangun dan duduk sejenak sambil meregangkan otot-otot lelahnya, karena kemarin dia sudah bekerja di warteg milik mak Atun sampai sore.
"Tin! Tini! Ayo bantu Mak ke pasar. Ada pesanan nasi kotak hari ini, Mak gak sanggup kalau ke pasar sendiri."
"Iya, Mak. Bentar," jawab Rustini.
Wanita itu mengusap wajahnya, menguncir rambutnya dan segera membuka pintu kamar kontrakan itu. Nampaklah mak Atun yang sedang tersenyum ke arah Rustini.
"Cuci muka sama gosok gigi dulu gih, Mak tunggu di depan. Nanti kamu ya, yang bawa motornya. Bisa kan' bawa motor?"
"Bisa, Mak."
"Ya udah buruan, nanti keburu siang."
"Ya," jawab Rustini yang langsung mengambil perlengkapan mandi dan melangkahkan kakinya menuju kamar mandi bersama yang ada di dekat kamar kontrakannya.
Seperti yang dikatakan oleh mak Atun, wanita itu dengan cepat menggosok giginya dan mencuci mukanya. Lalu, mengunci pintu kamar kontrakannya dan segera menghampiri mak Atun.
Keduanya langsung pergi ke pasar tradisional yang ternyata tidak jauh dari kontrakan Rustini, mak Atun membeli semua kebutuhan bahan makanan untuk jualan. Sedangkan Rustini mengikuti wanita itu sambil menenteng belanjaan.
"Ya ampun, Mak. Ini belanjaannya banyak banget loh," ujar Rustini setelah merapikan belanjaan.
Bagian depan motor sudah penuh dengan sayuran, bagian belakang motor juga sudah penuh dengan ikan, ayam dan yang lainnya. Jika mak Atun mau ikut pulang, wanita itu tidak kebagian tempat untuk duduk.
"Kamu pulang duluan aja, Tin. Mak masih mau beli bumbu, ikan, timun, buah, kerupuk sama beli sarapan untuk kita. Tapi nanti jemput ke sini lagi, tunggu di parkiran."
"Iya, Mak. Tapi, aku mau jajan dulu boleh gak?" tanya Rustini ragu-ragu.
Sebenarnya Rustini bisa merasakan kalau mak Atun itu orangnya begitu baik, tapi kali ini wanita itu sedang terburu-buru untuk berbelanja. Takutnya akan marah kalau Rustini meminta sedikit waktu untuk dirinya sendiri.
"Jajan apa?" tanya Mak Atun.
"Tadi aku liat ada toko makanan ringan yang sudah buka, pengen beli buat camilan."
Mak Atun tersenyum mendengar apa yang dikatakan oleh Rustini, wanita yang ada di hadapannya itu masih muda. Masih terlihat kekanak-kanakan, terlihat kuat walaupun mak Atun bisa merasakan kalau Rustini merupakan wanita yang lemah.
"Ya udah sana, jangan lama-lama."
"Siap! Makasih, Mak."
Mak Atun melangkahkan kakinya untuk kembali belanja keperluan yang belum dibeli, sedangkan Rustini pergi ke toko makanan ringan. Dia membeli banyak ciki dan juga wafer coklat yang terlihat menggugah selera.
Di kampung jangankan untuk jajan, untuk makan saja terkadang kurang. Kini dia memiliki banyak uang dari Jarwo, dia bisa membeli makanan apa saja yang dia inginkan.
"Udah banyak, pulang ah. Nanti mak Atun marah kalau aku lama-lama di pasar," ujar Rustini.
Rustini berjalan tersenyum-senyum sambil membawa keranjang belanjaan, dia membayangkan kalau hari ini akan memakan makanan itu sambil membantu mak Atun. Namun, tak lama kemudian senyum di bibirnya luntur.
Dia mendengar ada seseorang yang memanggil namanya, dia begitu mengenali suara itu. Walaupun di pasar sangat ramai, tapi Rustini sangat yakin kalau suara itu adalah suara Jarwo.
"Apa iya ada Tuan Jarwo?"
Rustini menolehkan wajahnya ke arah suara, wajah wanita itu langsung pucat ketika melihat Jarwo yang sedang tersenyum sambil melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arahnya.
"Gawat!" pekik Rustini. Dia ingat kenapa dia kabur, dia ingin menghindari dari apa yang akan dilakukan oleh Ratih terhadap dirinya. Jika saat ini dia tertangkap, Rustini yakin kalau dirinya akan dijadikan tumbal.
Wanita itu langsung berlari dengan begitu kencang, Jarwo yang melihat akan hal itu begitu kaget. Namun, dengan cepat dia mengejar istri sirinya itu.
"Tin! Jangan lari, aku mau bicara."
Rustini semakin ketakutan saja melihat Jarwo yang mengejar dirinya, karena walau bagaimanapun juga dia adalah seorang perempuan. Kalau tertangkap pasti tak akan seberapa besar tenaganya dalam melawan Jarwo.
"Duh Gusti! Baru mau bernapas lega, tapi udah sesak napas lagi," ujar Rustini.
Rustini berlari ke arah parkiran, dia ingin segera kabur dari Jarwo. Namun, saat dia hendak naik ke motor milik mak Atun, Jarwo mencekal pergelangan tangan wanita itu dan langsung memeluknya.
"Jangan lari!" ujarnya lirih dengan napasnya yang tersenggal-senggal karena cukup lama mengejar wanita itu.
Pelukan hangat dari pria itu langsung Rustini rasakan, perasaan aneh langsung menyerbu hatinya. Kini bukan ketakutan lagi yang dia rasakan, tapi seperti perasaan aneh yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
"Kenapa kabur, hem? Apa kamu tak betah kerja di rumah aku?"
Mendengar pertanyaan dari Jarwo, Rustini tiba-tiba saja merasa dijebak. Dia ingat betul ketika Jarwo membicarakan hal tentang tumbal bersama dengan Ratih, dia mendengar dengan jelas kalau dirinya akan ditumbalkan.
Namun, kali ini Jarwo memeluk dirinya dan berkata-kata dengan sangat manis. Rustini takut kalau ini adalah jebakan, wanita itu dengan cepat berkata.
"Maaf, Tuan. Saya mau pipis, udah kebelet banget ini."
"Kamu gak boleh pergi, nanti kamu kabur lagi." Jarwo tetap memeluk Rustini.
Rustini menghela napas kasar, dia masih ingat betul ketika beralasan ingin pipi saat di kota tua, pria itu pasti tidak akan percaya lagi kepada dirinya.
"Ini beneran loh, saya bahkan lapar. Pengen makan," ujar Rustini.
"Kalau gitu saya antar untuk makan," ujar Jarwo sambil mengurai pelukannya. Lalu, pria itu menautkan tangannya pada tangan Rustini.
Setelah itu dia mengajak Rustini menuju warung nasi, dia bahkan menuntun Rustini untuk duduk di salah satu bangku yang ada di warung nasi itu. Rustini menghela napas kasar sambil memikirkan bagaimana caranya untuk kabur dari sana.
'Ya Allah, aku mau pergi dari sini. Takutnya dia mau baik-baikin aku doang, terus nanti aku ditumbalkan.'
Rustini terus berdoa di dalam hati agar bisa kabur dari sana, tak lama kemudian dia melihat tukang bubur yang tidak jauh dari sana. Yang beli lumayan banyak, Rustini berpikir dia bisa kabur dengan cara yang saat ini melintasi otaknya.
"Ehm! Tuan, aku mau bubur. Bubur ayamnya jangan pake bawang seledri, jangan pake kacang. Ayamnya sedikit aja, sate ususnya yang banyak."
"Oh, gak mau nasi?"
"Nggak, ya udah kamu duduk di sini anteng-anteng. Aku akan belikan," ujar Jarwo.
"Ya," jawab Rustini.
Jarwo langsung melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arah tukang bubur, tentunya sekali-sekali dia akan menolehkan wajahnya ke arah Rustini. Rustini tersenyum dengan sangat manis ke arah pria itu, hingga saat pria itu sedang berbicara dengan tukang bubur, Rustini dengan cepat berlari menuju parkiran dan naik ke atas motor milik mak Atun.
"Tini!" teriak Jarwo panik ketika melihat Rustini sudah tak ada di sana.
Mak Reader mau lihat gimana perjuangan mu dulu Jarwo
gak juga kali ngejelasin nya 😫🤦♀️