NovelToon NovelToon
Suami Pilihan Kakek

Suami Pilihan Kakek

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Nikahmuda / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Alfiyah Mubarokah

"Ka-kakak mau apa?"
"Sudah kubilang, jaga sikapmu! Sekarang, jangan salahkan aku kalau aku harus memberimu pelajaran!"



Tak pernah terlintas dalam pikiran Nayla Zahira (17 tahun) bahwa dia akan menikah di usia belia, apalagi saat masih duduk di bangku SMA. Tapi apa daya, ketika sang kakek yang sedang terbaring sakit tiba-tiba memintanya menikah dengan pria pilihannya? Lelaki itu bernama Rayyan Alvaro Mahendra (25 tahun), seseorang yang sama sekali asing bagi Nayla. Yang lebih mengejutkan, Rayyan adalah guru baru di sekolahnya.

Lalu bagaimana kisah mereka akan berjalan? Mungkinkah perasaan itu tumbuh di antara mereka seiring waktu berjalan? Tak seorang pun tahu jawabannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 06 Ini Lliptint Kak

“Rayyan di mana, Sayang?” tanya Mila lembut ketika Nayla baru saja turun ke dapur. Perempuan paruh baya itu tengah menyiapkan teh hangat di meja, menyambut pagi dengan senyum keibuannya.

“Masih di atas Ma,” jawab Nayla, melangkah mendekat.

“Sini biar aku aja Ma.” Dengan cekatan, Nayla mengambil alih teko dari tangan Mila.

Mila tersenyum kecil, lalu bergeser sedikit memberi ruang. Matanya memperhatikan gerak-gerik Nayla yang sibuk menuang teh ke dalam cangkir, lalu mengatur piring-piring kecil berisi puding yang memang sudah Mila bawa sejak tadi.

Setelah beberapa saat terdiam, Mila membuka suara, “Rayyan selama ini baik-baik saja, kan, sama kamu, Nayla?”

Pertanyaan itu membuat Nayla sempat berhenti sejenak, tapi kemudian ia tersenyum, mencoba menenangkan diri. “Baik banget Ma,” jawabnya sambil tetap berusaha terdengar santai.

Mila mengangguk, namun tatapannya tak lepas dari wajah Nayla. Ada rasa khawatir yang tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya, meski bibirnya tersenyum. “Kalau dia sampai kasar atau bikin kamu sedih, jangan sungkan bilang sama Mama, ya. Walaupun dia anak Mama, Mama gak akan segan-segan marahin dia kalau dia sampai nyakitin kamu.”

Nayla menoleh, memandang Mila dengan senyum yang menghangat di dada. Ucapan sederhana itu entah kenapa membuat hatinya terasa penuh. “Kak Rayyan orangnya baik Ma. Baik banget malah,” ucap Nayla pelan, ingatannya melayang pada kejadian tadi pagi.

Kejadian Pagi Hari

“Ini kamu bawa,” kata Rayyan sambil menyodorkan dua kartu kredit pada Nayla. Mata laki-laki itu santai, tapi nadanya terdengar tegas.

Nayla memandang kartu itu dengan bingung. “Untuk apa Kak?”

“Buat kamu. Kalau butuh apa-apa, langsung beli aja,” jawab Rayyan santai, seolah hal itu tak perlu dibahas panjang lebar.

Nayla buru-buru menolak, “Ah Kakak, gak usah. Aku masih ada uang kok.”

Rayyan tersenyum kecil, tapi matanya menatap Nayla dengan penuh makna. “Saya tau kamu masih punya uang. Tapi mulai sekarang, kebutuhan kamu jadi tanggung jawab saya. Jadi kamu simpan ini. Jangan sampai nanti kamu butuh sesuatu dan harus mikir dua kali buat bilang sama saya.”

Ucapan itu diiringi gerakan Rayyan yang menyelipkan kartu-kartu itu ke tangan Nayla, membuat gadis itu makin bingung harus bereaksi seperti apa.

“Tapi uang mahar dari Kakak aja masih utuh, aku belum pakai sama sekali kok,” ujar Nayla, mencoba membujuk.

“Itu memang hak kamu. Tapi ini nafkah dari saya sebagai suami. Jadi kamu harus terima, jangan bikin saya marah karena kamu nolak rezeki dari saya,” balas Rayyan, kali ini dengan nada yang lebih serius.

Akhirnya, Nayla pun menerima dua kartu itu dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi ia merasa kikuk, tapi di sisi lain, ada rasa hangat yang merayap di hatinya.

 

Kembali Lagi Dapur

“Kamu gak bohong kan, Sayang?” suara Mila menyadarkan Nayla dari lamunannya.

Nayla segera tersenyum, mencoba menyembunyikan rona merah di pipinya. “Beneran Ma. Mama gak perlu khawatir.”

Mila menghela napas lega, lalu tersenyum hangat. “Syukur alhamdulillah kalau begitu.”

 

Malam harinya, pukul sepuluh malam, Nayla yang biasanya sudah terlelap kini malah terjaga. Cahaya lampu kamar temaram, menciptakan bayangan lembut di sudut-sudut ruangan. Pandangannya tertuju pada sosok Rayyan yang terlelap di sofa sempit. Suara gesekan tubuh Rayyan yang terus berusaha mencari posisi nyaman di sofa yang jelas terlalu kecil untuk tubuhnya membuat Nayla tak bisa memejamkan mata.

“Aduh tidur aja deh, Nay. Gak usah pedulikan dia,” gumam Nayla, menarik selimut hingga menutupi tubuhnya. Tapi usahanya sia-sia. Lima belas menit berlalu, Nayla justru bangun dan berjalan mendekati Rayyan.

“Kak Rayyan bangun, Kak,” ucapnya pelan sambil menyentuh bahu Rayyan.

Ia menatap wajah Rayyan yang tampak begitu damai saat tidur. “Duh ganteng banget, tapi ngeselin,” batinnya dengan gemas.

Namun tanpa diduga, Rayyan membuka matanya perlahan dan menatap Nayla dengan senyum geli. “Apa kamu bilang barusan?” tanyanya, membuat Nayla terlonjak kaget.

“A-apa? Aku cuma bilang Kakak bangun!” elak Nayla cepat-cepat, wajahnya memerah seperti maling ketahuan.

“Setelah itu?” Rayyan menatap dengan serius, senyum tipis masih terukir di sudut bibirnya.

“Gak ada! Udah sana, pindah ke kasur!” Nayla menunjuk ke arah ranjang dengan sikap galak yang berusaha ia tampilkan, meski nadanya gugup.

Rayyan tertawa pelan, lalu bangkit dari sofa. “Beneran saya boleh tidur di sana?”

“Iya boleh. Tapi Kakak jangan macem-macem!” ancam Nayla, mengerutkan kening seolah ingin terlihat tegas.

Rayyan hanya tersenyum miring, menikmati reaksi istrinya yang baginya sangat menggemaskan. Ia pun berjalan santai menuju ranjang, sementara Nayla yang merasa jengah langsung pergi ke kamar mandi.

Pukul 04.40 dini hari, Rayyan perlahan membuka matanya. Ada sensasi aneh yang ia rasakan di tubuhnya. Saat ia menoleh, betapa terkejutnya ia mendapati Nayla tertidur memeluknya, dengan wajah damai yang begitu polos.

Rayyan tersenyum tipis. Tangannya perlahan menyibak anak rambut Nayla yang jatuh menutupi wajahnya. “Kalo tidur manis banget, tapi kalo ngomel, serem,” gumamnya sambil mengelus pelan pipi Nayla.

Tak ingin membangunkan gadis itu, Rayyan dengan hati-hati mengangkat tangan Nayla dan bangkit menuju kamar mandi.

Lima belas menit kemudian, Nayla terbangun. Ia mengerjapkan mata, mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. “Kak Rayyan kemana ya?” batinnya.

Begitu melihat pintu kamar mandi setengah terbuka, ia berjalan pelan ke arah sana. Namun, langkahnya mendadak terhenti disertai jeritan histeris saat Rayyan keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk.

“Aaaakkkh!” teriak Nayla sambil menutup matanya dengan kedua tangan.

Rayyan mengerutkan kening, lalu terkekeh pelan. “Ya ampun ini bocah,” gumamnya geli.

“Apa kamu mau Papa Mama denger teriakan kamu dan salah paham?” ujar Rayyan, menahan tawa yang hampir pecah.

“Habisnya Kakak sih! Muncul tiba-tiba cuma pakai handuk!” balas Nayla dengan suara kesal, pipinya memanas.

“Saya kan habis mandi, Nayla Zahira Aditama ,” jawab Rayyan santai.

“Tapi bawa baju ganti sekalian ‘kan bisa!” gerutu Nayla.

Rayyan hanya mendekat dengan langKah santai. “Biasakan aja dulu. Saya memang begini orangnya,” ucapnya sambil tersenyum jahil.

“Nyebelin!” Nayla mendengus kesal, memalingkan wajah.

“Kamu ngomong apa barusan?” Rayyan menyipitkan mata.

“Gak ada!” Nayla buru-buru melesat masuk ke kamar mandi sebelum Rayyan sempat mengejarnya dengan godaan lain.

 

Sekitar dua puluh menit kemudian, mereka sudah rapi dengan pakaian masing-masing. Nayla dengan seragam sekolahnya, sedangkan Rayyan dengan setelan kantornya yang terlihat sangat rapi dan profesional.

“Kakak gak ke sekolah?” tanya Nayla polos, heran melihat penampilan Rayyan.

“Gak. Saya ke kantor,” jawab Rayyan singkat, merapikan jasnya.

Nayla mengangguk pelan. Mereka pun turun sarapan bersama Mila dan Mahendra. Suasana pagi itu terasa hangat dan penuh canda, meski di dalam hati, Nayla masih memikirkan kejadian tadi.

 

Perjalanan menuju sekolah terasa lebih hening dari biasanya. Nayla terlihat gelisah, terutama ketika mobil sudah mendekati area sekolah.

“Kak turunin aku di depan aja, jangan sampai gerbang,” pintanya cemas.

Rayyan tidak menjawab. Tangannya tetap memegang kemudi, fokus menatap jalan.

“Kak!” panggil Nayla lagi, nada suaranya makin khawatir.

“Kamu diam saja,” balas Rayyan dengan nada santai tapi tegas.

Nayla menggigit bibir, menatap kaca spion dengan resah. Rayyan yang memperhatikan Nayla lewat spion, mendadak menghela napas panjang.

“Kamu pakai lipstik?” tanyanya tiba-tiba, membuat Nayla terkejut.

Nayla reflek memegang bibirnya. “Ini liptint Kak. Kenapa? Ketebalan ya?”

“Iya. Cepat hapus,” perintah Rayyan datar.

Nayla mencoba mengusap bibirnya dengan jari, namun hasilnya nihil. “Udah gak papa lah Kak. Gak tebal-tebal amat,” ucapnya tak yakin.

Tanpa banyak kata, Rayyan mendadak mendekat, mengejutkan Nayla. Sebelum sempat Nayla bereaksi, bibir Rayyan sudah menyapa bibirnya dengan lembut namun cepat, membuat Nayla membelalak kaget.

“Sudah, sekarang gak terlalu tebal,” ucap Rayyan santai, seolah tak terjadi apa-apa.

Nayla hanya bisa diam, napasnya memburu. Pipinya memerah hebat.

“Mau turun gak?” tanya Rayyan, nyengir kecil.

Nayla buru-buru membuka pintu mobil dan turun tanpa berkata apapun. Ia bahkan tak berani menoleh ke arah Rayyan yang tertawa pelan sambil melajukan mobilnya.

 

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!