Disarankan membaca Harumi dan After office terlebih dahulu, agar paham alur dan tokoh cerita.
Buket bunga yang tak sengaja Ari tangkap di pernikahan Mia, dia berikan begitu saja pada perempuan ber-dress batik tak jauh darinya. Hal kecil itu tak menyangka akan berpengaruh pada hidupnya tiga tahun kemudian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Simbiosis Mutualisme
Ada sebuah kesepakatan yang terjalin antara Ari dan Sandi, usai Sandi menumpahkan semua kegalauannya. Tepatnya alasan dia melarikan diri hingga ibu kota, tempat asing yang sudah dua kali didatanginya.
Untuk pertama kalinya, Sandi menangis di pelukan seorang laki-laki dan ajaibnya. Setelah itu, dirinya merasakan kelegaan. Maka dari itulah, Sandi menerima tawaran 'saling mengobati luka'.
Hubungan simbiosis mutualisme itu pun di mulai sejak pagi menjelang siang, di kala hari sedang hujan lebat di luar rumah.
Bukan pacaran pada umumnya, jadi semacam interaksi intens yang nanti akan mereka lakukan. Bukan juga tentang kontak fisik berlebihan. Mungkin hanya pegangan tangan dan pelukan atau rangkulan. Sebatas itu.
Lalu soal resiko jika salah satu dari mereka jatuh cinta, maka mereka dilarang untuk menuntut lebih. Intinya menanggung patah hati sendiri.
Bodoh. Tapi itu adalah resiko yang harus ditanggung atas kesepakatan tersebut.
Sandi tak boleh lagi menghindari Ari, seperti beberapa hari kebelakang. Ari mengatakan akan mengantar-jemput Sandi ke kantor. Kalau keburu, keduanya akan sarapan dan makan malam bersama. Lalu akan menghabiskan waktu kebersamaan pada akhir pekan.
"Mas ..."
"Hmm ..."
"Mas ..."
Ari menoleh dari balik kemudi, "apa?"
"Sudah berapa kali kamu ngelakuin hal kayak gini?"
"Maksudnya?" Dahi Ari mengernyit, dia menoleh sedikit dan kembali menatap ke arah depan. Mobil sedang melaju dia jalan bebas hambatan menuju ibu kota.
"Menjalin hubungan baru untuk melupakan hubungan yang lama."
"Udah beberapa kali, tapi baru hitungan hari. Gagal."
"Kenapa?" Tanya Sandi penasaran.
"Aku nggak mau menyakiti mereka, karena sepertinya mereka terlalu berharap lebih sama aku. Jujur aku kurang tertarik."
"Apa karena kurang cantik dibandingkan mantan kamu?" Tanya Sandi asal.
"Mungkin dari segi fisik iya, tapi jujur ada beberapa faktor yang menjadi alasan aku berhenti."
"Apa itu?" Sandi semakin penasaran.
"Obrolan nggak nyambung, kaku dan ada beberapa alasan pribadi yang nggak bisa aku ceritakan."
"Oohh ..." Sandi merasa kecewa, dia memilih menatap jembatan melintang yang akan mobil lewati.
"Apa kamu khawatir, aku akan menjauh terlebih dahulu?" Tanya Ari, sesekali dia melirik ke arah samping kemudi.
"Nggak." Tentu itu bohong, tapi jelas Sandi tak mungkin mau mengakuinya. Selain gengsi, dia merasa malu. Jangan sampai Ari mengetahui, jika dirinya memiliki rasa sejak tiga tahun lalu.
"Wah ... Kayaknya udah bisa ketebak, Ending bakal siapa yang patah hati duluan." Seru Ari.
"Emang siapa?" Tanya Sandi sedikit was-was.
"Aku kayaknya."
Sandi mendelik dan menoleh ke arah kemudi, dia menatap tak percaya. "Kenapa bisa gitu?"
"Mmmm ... Apa ya?" Ari menyentuh bibirnya sendiri, tengah merangkai kata-kata yang tepat untuk dia ucapkan.
Sementara Sandi masih menatap lelaki itu, intens. Dia penasaran setengah mati. Dan seolah tak percaya, bisa-bisanya Ari berpikir akan patah hati terlebih dulu. Menurut Sandi, itu mustahil.
"Mungkin karena aku yang duluan dekati kamu, atau mungkin ..." Ari menggantung ucapannya. "Emmm ... karakter kamu." Sambungnya.
Dahi Sandi mengernyit, "Karakter apanya? Aku tuh jelek, judes dan kolot."
"Emang ada yang bilang kamu jelek? Maksud aku, secara fisik."
"Mantan ku bilang, adikku lebih cantik dan seksi dibandingkan aku. Aku judes karena pelit senyum dan kolot karena nggak mau diapa-apain."
Dari balik kemudi, Ari meledakan tawanya. Alhasil Sandi berdecak kesal. Lelaki berusia tiga puluh satu tahun itu, gemar sekali menertawakannya.
"Maaf, aku bukannya mau menertawakan kamu. Aku tertawa karena ekspresi kamu. Kamu itu lucu, gemesin kalau lagi marah. Kayaknya aku nggak bakal bosan, lama-lama bareng kamu."
Sandi menoleh ke arah jendela kaca di sampingnya, dia hendak menyembunyikan wajahnya yang memerah malu.
"Kamu marah, ya?" Tanya Ari.
"Nggak." Sandi membantah. Mana ada dia marah. Dia sedang merasakan yang namanya gede rasa.
Terlihat Langit berwarna oranye, indah sekali. Dan suara penyiar radio meramaikan dalam perjalanan kali ini.
"Terus kamu ada rencana buat hadir di pernikahan adik dan mantan kamu, nggak? Kalau iya, kita mesti hunting tiket dari sekarang. Mau naik pesawat atau kereta? Atau mau naik mobil aja?" Tanya Ari.
"Aku malas datang." Posisi Sandi masih sama, dia masih menatap jalan yang mereka lalui.
"Ya nggak bisa gitu dong! Terus fungsinya aku, apa?" Tanya Ari.
"Bantu aku move on."
"Kamu malu bawa aku, ya?"
Sandi mendelik, dia menoleh cepat ke arah Ari. "Ya nggak lah, kamu itu menantu idaman cewek-cewek."
"Masa?"
"Bener Loh mas! Serius!!" Sandi menunjukkan dua jarinya.
"Kalau menurut kamu aku gimana?"
"Ganteng."
"Wah ... Aku tersanjung, kamu puji. Untung aku nggak tiba-tiba ngerem mendadak."
"Lebay kamu, mas!"
"Aku serius, aku tuh seneng banget. Kalau kamu yang muji."
"Haus validasi."
"Khusus kamu, ya!"
"Halah ... Halah ... Ketauan nih mas Ari pemain wanita. Suka banget menggombal."
"Terserah kalau kamu nggak percaya, tapi andai suatu saat aku ternyata suka duluan sama kamu. Izinkan aku buat mengejar kamu."
"Aku mau minta mutasi aja. Takut aku." Itu bohong, Sandi jelas akan menyambut dengan suka cita.
"Aku kejar terus, gampang kok. Tinggal tanya Mia." Ucap Ari santai.
"Sekarepe Njenengan, Mas!"
Mobil sedang mengantri keluar tol, Ari mengambil ponsel dan mengutak-atiknya sejenak. Lalu memberikan padanya. "Nih, kamu pesan tiket. Mau pakai pesawat atau naik kereta, terserah kamu." Dia menyodorkan pada gadis di sebelahnya.
"Aku males balik, mas! Lagian sayang uangnya buat beli tiketnya. Kan mahal." Sandi mendorong ponsel yang disodorkan padanya.
Ari menggeleng, "buruan sayang ... Aku harus nyetir."
"Halah, sayang ... Sayang ... Aneh tau. Kuping ku jadi gatal."
Lihat kan, bagaimana bisa Sandi bertahan dengan hal semacam ini kedepannya? Ini benar-benar tak baik untuk pengendalian dirinya. Bagaimana jika Sandi tiba-tiba mengungkapkan cinta terlebih dahulu? Apa nantinya Ari akan menolaknya?
"Terus kamu mau aku panggil apa? Asal jangan 'dek atau adek'."
"Emang kenapa?"
Mobil mulai melaju di jalanan kota, "itu panggilan ku untuk mantan calon istri. Nanti kalau kamu aku samain, kamu tersinggung lagi."
Sekarang saja, Sandi sudah merasa sedikit kesal. Tapi dia berusaha menutupinya. "Ya ampun, mas! Nggak usah serius gitu, kita kan pacaran pura-pura."
"Tapi tetap aja, kita harus senatural mungkin. Kita wajib punya panggilan sayang, terutama aku ke kamu."
"Terserah lah, suka-suka kamu."
"Serius?" Ari baru saja menghentikan laju mobilnya, tepat di lampu merah.
"Hmmm ... Asal jangan aneh-aneh."
"Ya nggak lah," Ari membantah. "Mungkin panggil 'sayang' aja kali ya? Apa mau 'beb'?"
"Terserah kamu, Mas Ari sayang ..."
Walau tau resiko akan patah hati lagi, Sandi menyanggupi ajakan Ari untuk saling membantu mengobati.
Setidaknya dengan begitu, mereka bisa bersama-sama meski hanya sementara saja.