NovelToon NovelToon
TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Obsesi / Identitas Tersembunyi / Sugar daddy
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.

Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.

Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ELIZABETH IKUT CAMPUR

Keesokan harinya, Nayara dan Kaelith berjemur di pantai.

Nayara mengenakan bikini yang sudah Kaelith pilihkan untuknya, sementara pria itu hanya memakai celana pendek berwarna hitam, membiarkan dadanya terekspos. Sinar matahari menyoroti otot-ototnya yang terukir sempurna, dan tato baru di sekitar perutnya terlihat kontras di atas kulit kecokelatannya.

Tatapan Nayara sempat tertahan pada tato itu, namun ia buru-buru memalingkan wajah, pura-pura sibuk membetulkan posisi duduknya di kursi pantai.

Kaelith menyadari tatapan itu, lalu tersenyum miring.

Ia memiringkan tubuhnya, menatap Nayara yang kini mencoba fokus pada buku yang bahkan belum satu halaman pun ia baca sejak tadi.

“Suka tato baruku?” tanya Kaelith santai, namun nada suaranya terdengar menggoda.

Nayara melirik sekilas, lalu menghela napas. “Biasa saja,” ucapnya, mencoba terdengar acuh.

Kaelith tertawa kecil, lalu bangkit dari kursinya. Dengan langkah santai, ia mendekat, membungkuk di sisi Nayara. Tangannya terulur, menyingkirkan rambut yang jatuh di bahu gadis itu, lalu membisikkan,

“Kalau begitu, mungkin nanti aku harus membuat tato wajahmu… lengkap dengan baju baby favoritmu, supaya kau benar-benar memperhatikannya.”

“Awas kalau sampai kau benar-benar membuatnya,” ucap Nayara sambil memelototinya, berusaha menutupi rasa malu yang merayap di wajahnya.

Kaelith hanya terkekeh pelan, lalu merebahkan tubuhnya di kursi pantai sambil menatap Nayara dari ujung kaki hingga ujung kepala.

“Aku serius, Baby. Wajahmu di perutku akan jadi tanda kepemilikan paling manis,” ucapnya, nada suaranya terdengar menggoda sekaligus menantang.

Nayara menghela napas, lalu mengambil segelas jus dari meja kecil di sampingnya. “Tanda kepemilikan macam apa itu? Orang-orang pasti akan menertawakanmu.”

“Biar saja,” jawab Kaelith santai, matanya tetap mengunci pada wajah Nayara. “Selama aku bisa pamer kalau kau hanya milikku, aku tak peduli orang mau bilang apa.”

Nayara bangkit dari kursinya, lalu berjalan menuju bibir pantai tanpa menoleh lagi pada Kaelith. Ia membiarkan pasir hangat menyentuh telapak kakinya sebelum akhirnya melangkah ke air dan mulai berenang, meninggalkan Kaelith yang masih berbaring santai di kursi. Pria itu kini mengambil ponselnya, jemarinya bergerak santai di layar sambil sesekali melirik ke arah Nayara.

Kaelith sempat tersenyum tipis saat melihat Nayara berenang cukup jauh, ombak kecil mengangkat tubuh gadis itu lalu membiarkannya kembali jatuh perlahan.

Namun, ketika layar ponselnya menampilkan sebuah pesan masuk, ekspresi Kaelith berubah dingin. Rahangnya mengeras, jemarinya berhenti mengetuk, seolah pesan itu membawa kabar yang tidak ia sukai.

Ia menatap ke arah Nayara lagi lebih lama kali ini seakan sedang mempertimbangkan sesuatu yang tidak diucapkannya.

Pesan dari Alaric, sang ayah, terpampang jelas di layar ponsel Kaelith:

"Kau benar-benar anak sialan, Kaelith. Kevin menikah, dan kau bahkan tak muncul untuk sekadar mengucapkan selamat."

Kaelith hanya menatap layar ponselnya beberapa detik, rahangnya mengeras.

Ia mengetik balasan singkat.

"Aku punya urusan sendiri, Papa. Ucapkan selamat dariku pada Kevin."

Pesan itu terkirim, namun centang biru muncul hampir seketika, menandakan Alaric sudah membacanya. Balasan pun datang cepat.

"Urusanmu? Urusan dengan perempuan itu lebih penting daripada keluargamu sendiri?"

Kaelith menghela napas panjang, lalu meletakkan ponselnya di atas meja kecil di samping kursi berjemur. Ia menatap Nayara yang tengah berenang, bibirnya terangkat tipis.

"Aku memilihmu, Nayara," gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

Kaelith akhirnya bangkit dari kursinya, melangkah santai ke arah laut.

Tanpa banyak bicara, ia masuk ke air, dinginnya ombak menyentuh kulitnya.

Nayara yang sedang mengapung menoleh, sedikit terkejut melihat pria itu mendekat.

“Aku pikir kau malas basah-basahan,” ucapnya.

Kaelith tersenyum miring. “Aku malas kalau sendirian. Kalau denganmu, lain cerita.”

Ia berenang mendekat, lalu meraih pinggang Nayara, menariknya hingga tubuh mereka hanya terpisah sejengkal.

Air laut membasahi wajah keduanya, namun tatapan Kaelith tetap tajam menembus mata Nayara.

“Kau pikir aku akan membiarkanmu bersenang-senang sendiri?” bisiknya.

Kaelith menarik tangan Nayara, meletakkannya di atas bahunya seakan menandai kepemilikan.

Tanpa memberi kesempatan untuk mengelak, ia melumat bibir Nayara dengan ciuman dalam, membuat napas gadis itu tercekat.

Ketika bibir mereka terlepas, Kaelith menunduk, membiarkan suaranya terdengar rendah dan berat di telinga Nayara.

“Daddy akan menghukummu segera,” bisiknya, seolah janji yang tak memberi ruang untuk penolakan.

Kaelith, yang tak peduli di mana mereka berada, kembali menuntun Nayara ke pelukannya dan menuntaskan keinginannya tanpa ragu.

Setiap erangan Nayara yang memanggil “Daddy” terdengar bagaikan bahan bakar bagi gairahnya, membuat gerakan Kaelith semakin intens, seolah ia ingin menegaskan bahwa tak ada tempat, waktu, atau alasan yang bisa memisahkan mereka dari candu ini.

Napas keduanya memburu, tercampur dengan suara debur ombak yang menghantam bibir pantai.

Kaelith menatap wajah Nayara yang memerah, jemarinya mengusap lembut pipi gadis itu sebelum kembali menekan tubuhnya lebih dekat.

“Kau akan selalu jadi milikku, Nayara. Selamanya,” ucapnya rendah namun penuh penegasan, seakan mengukir janji itu di bawah terik siang.

Nayara hanya mampu memejam, merasakan setiap sentuhan yang seakan menandai dirinya milik Kaelith sepenuhnya.

Erangan Nayara yang terputus-putus, diselingi panggilan “daddy” dan permohonan agar Kaelith berhenti, justru membuat pria itu semakin terpacu.

Alih-alih mengendurkan gerakannya, Kaelith malah semakin mendekap Nayara erat, seolah tak rela melepaskan. Tatapan matanya tajam namun penuh gairah, seperti seorang pemburu yang tak ingin buruannya lepas.

“Tidak, baby… daddy belum selesai denganmu,” bisiknya di telinga Nayara, suaranya berat dan mendesak.

Nayara mencoba mendorong dada Kaelith, tapi genggaman pria itu terlalu kuat. Desiran ombak dan teriknya matahari siang menjadi saksi bagaimana Kaelith terus memaksakan iramanya, membuat napas Nayara tersengal.

Setiap kali bibirnya terlepas dari leher Nayara, Kaelith akan kembali mengecupinya, meninggalkan jejak merah di kulit sang gadis.

“Lihat aku, Nayara…” Kaelith menahan dagu gadis itu agar menatapnya. “Aku ingin kau mengingat ini seumur hidupmu.”

Nayara menggigit bibir, matanya berkaca-kaca, tubuhnya melemah di pelukan pria itu.

Keganasan Kaelith tadi siang membuat Nayara tak sanggup berjalan. Seluruh tubuhnya terasa lemas, dan area sensitifnya perih setiap kali ia bergerak. Gadis itu memilih berbaring di atas ranjang, memejamkan mata sambil mencoba mengatur napas.

Sementara itu, Kaelith duduk santai di balkon, menatap gelapnya lautan yang hanya diterangi cahaya bulan. Jemarinya memegang segelas wine, sesekali menyesapnya dengan tenang, seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya. Udara malam yang sejuk berhembus pelan, membawakan aroma asin laut.

Esok pagi, mereka akan kembali ke villa sebelumnya dan Kaelith tampak benar-benar menikmati sisa malam ini sebelum perjalanan itu dimulai.

Ponsel di meja balkon bergetar, memecah kesunyian malam. Kaelith melirik layar, dan mendesah pelan ketika nama Elizabeth terpampang jelas.

Ia mengangkat ponsel dengan gerakan santai, menyesap wine sebelum berbicara.

“Halo, Eliz. Ada apa?” suaranya terdengar datar namun tetap berwibawa, mata masih menatap laut gelap di kejauhan.

“Hai, Kaelith… mengapa kau baru mengangkat panggilanku? Padahal aku sudah mencoba menghubungimu tiga puluh kali,” suara Elizabeth terdengar setengah kesal, setengah cemas, membuat Kaelith hanya memutar gelas wine di tangannya sebelum menjawab.

Kaelith menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap pekatnya langit malam di luar balkon.

“Aku sedang sibuk, Eliz. Ada apa sampai kau menelepon berkali-kali?” tanyanya datar.

“Papamu marah besar, Kaelith. Kau tidak datang ke pernikahan Kevin. Itu memalukan untuk keluarga,” suara Elizabeth terdengar tegang, seperti berusaha menahan emosi.

Kaelith menghela napas panjang. “Itu urusanku dengan keluarga, bukan urusanmu.”

“Kau pikir semua ini cuma urusanmu? Reputasi keluarga ikut tercoreng!” sergah Elizabeth, suaranya meninggi.

Kaelith terkekeh pelan, nada suaranya penuh sindiran.

“Eliz, ini reputasi keluargaku, bukan keluargamu. Kau hanya kebetulan masuk lingkaran keluarga Vemund karena kakakmu menikah dengan sepupuku,” ujarnya dingin.

“Tapi Kaelith...” suara Elizabeth terdengar ingin membantah.

“Ssst… jangan merasa kau punya hak mencampuri hidup pribadiku hanya karena pernah kuundang ke perayaan klub dan pertandinganku,” potong Kaelith, suaranya tegas namun tenang.

Tanpa menunggu jawaban, ia memutus sambungan telepon, rahangnya mengeras menahan kesal. Telepon dari Elizabeth benar-benar mengusik ketenangannya malam itu.

Kaelith meletakkan ponsel di meja kecil di samping kursi balkon, lalu kembali menyesap wine-nya.

Pandangan matanya menerawang ke arah laut yang gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang memantul di permukaan ombak.

Di dalam villa, Nayara masih terbaring lemas. Kaelith melirik ke arah pintu kamar yang terbuka sedikit, senyum tipis terukir di bibirnya.

Baginya, kehadiran Nayara adalah pelarian yang sempurna dari segala drama keluarga dan orang-orang yang mencoba masuk ke hidupnya.

Ia menghembuskan napas panjang.

“Besok kita akan berpetualang lagi, Nayara… karena permainan kita tidak akan pernah selesai,” gumamnya lirih, seolah berkata pada diri sendiri.

Nayara membuka pintu villa perlahan, aroma wangi bunga langsung menyambutnya.

Matanya membesar saat melihat sebuah buket bunga raksasa berdiri anggun di tengah ruang tamu, dibungkus kain satin putih dan pita emas yang terikat rapi.

Ia menoleh ke belakang, menatap Kaelith yang baru saja masuk sambil membawa koper.

Pria itu hanya tersenyum tipis, berjalan mendekat, lalu menyentuh ujung dagu Nayara.

“Itu untukmu,” ucapnya santai, seakan buket sebesar itu hanyalah hal kecil baginya.

Nayara tersenyum tipis, jemarinya menyentuh kelopak bunga yang masih segar, sementara hatinya berdesir meski ia tahu, setiap pemberian Kaelith selalu menyimpan arti yang lebih dari sekadar hadiah.

“Terima kasih, Dad,” ucap Nayara pelan, suaranya nyaris berbisik.

Kaelith melangkah mendekat, jemarinya menyapu pelan punggung Nayara sebelum bibirnya mendarat di sana dengan kecupan singkat namun penuh kepemilikan.

“Untuk merayakan delapan tahun kau menjadi milikku,” ucapnya, nada suaranya tenang namun sarat makna, seolah mengingatkan bahwa ikatan mereka bukan sekadar waktu, melainkan kepemilikan yang tak akan ia lepaskan.

Dan sekali lagi, Nayara hanya bisa meratapi nasibnya. Sulit baginya untuk melepaskan diri dari pria yang menganggapnya sebagai milik pribadi, namun tak pernah benar-benar menjadikannya kekasih. Perasaan yang terjebak di antara kepemilikan dan cinta yang tak pernah diucapkan membuat hatinya terasa semakin sesak.

“Good baby, aku senang kau memanggilku daddy. Gunakan itu selama kita di Lisboa, ya,” ucap Kaelith dengan senyum penuh arti.

Nayara menelan ludah, jantungnya berdetak lebih cepat mendengar kata-kata Kaelith. Ia mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan rasa gelisahnya.

Kaelith meraih tangan Nayara, menggenggamnya erat. “Ini akan jadi waktumu bersamaku, di mana aku akan selalu mengaturmu.”

Nayara memandang ke laut biru yang membentang di depan villa, angin laut menyapu wajahnya. Meski hatinya campur aduk, ada sedikit harapan yang tumbuh mungkin, di sini, ia bisa menemukan ruang untuk dirinya sendiri, walau hanya sebentar.

1
Intan Marliah
Luar biasa
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!