NovelToon NovelToon
Jatuh Cinta Dengan Adik Suamiku

Jatuh Cinta Dengan Adik Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Selingkuh / Anak Kembar / Dijodohkan Orang Tua / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:6.5k
Nilai: 5
Nama Author: Mila julia

Keira hidup di balik kemewahan, tapi hatinya penuh luka.
Diperistri pria ambisius, dipaksa jadi pemuas investor, dan diseret ke desa untuk ‘liburan’ yang ternyata jebakan.

Di saat terburuk—saat ingin mengakhiri hidupnya—ia bertemu seorang gadis dengan wajah persis dirinya.

Keila, saudari kembar yang tak pernah ia tahu.

Satu lompat, satu menyelamatkan.
Keduanya tenggelam... dan dunia mereka tertukar.

Kini Keira menjalani hidup Keila di desa—dan bertemu pria dingin yang menyimpan luka masa lalu.
Sementara Keila menggantikan Keira, dan tanpa sadar jatuh cinta pada pria ‘liar’ yang ternyata sedang menghancurkan suami Keira dari dalam.

Dua saudara. Dua cinta.
Satu rahasia keluarga yang bisa menghancurkan semuanya.

📖 Update Setiap Hari Pukul 20.00 WIB
Cerita ini akan terus berlanjut setiap malam, membawa kalian masuk lebih dalam ke dalam dunia Keira dan Kayla rahasia-rahasia yang belum terungkap.

Jangan lewatkan setiap babnya.
Temani perjalanan Keira, dan Kayla yaa!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24.Kebencian Leo

Sepulang dari kantor, Leo menggandeng tangan Keira, menjaganya dengan hati-hati. Sentuhan telapak tangannya begitu lembut, seolah tak ingin melepaskan.

Di ruang tamu, udara yang semula tenang mendadak terasa padat. Aroma teh hangat bercampur dengan wangi kayu tua seakan tertahan di udara.

Tantri—yang tengah menyeruput teh—mendadak menghentikan gerakannya. Cangkir porselen di tangannya bergetar ringan sebelum ia letakkan di meja. Jemari kurusnya meremas pangkal rok, matanya memicing ke arah Leo dan Keira.

Tamara, yang duduk di sofa dengan kaki bersilang, spontan berdiri. Suara gesekan kain rok panjangnya terdengar nyaring di tengah keheningan. Matanya membelalak tak percaya, bibirnya terbuka namun tak ada kata yang keluar.

Sementara itu, Hadiwijaya hanya menoleh sekilas dari balik tabletnya. Tatapannya singkat, tapi cukup lama untuk menyadari ada sesuatu yang tidak biasa—ketegangan yang baru saja merayap masuk ke ruangan itu.

“Sejak kapan Kakak bersikap romantis sama dia?” bisik Tamara pelan, tapi cukup keras untuk memotong udara dan terdengar jelas oleh semua orang. Nada suaranya tajam, bercampur ketidakpercayaan.

Leo tetap menggandeng Keira menuju sofa. Ia meraih bantal, menepuknya dua kali, lalu meletakkannya di belakang punggung Keira dengan gerakan hati-hati. Kayla hanya duduk diam, menunduk, jemarinya saling meremas di pangkuan. Leo duduk di sampingnya, tubuhnya sedikit condong melindungi.

“Aku hanya memperlakukan istriku… layaknya seorang istri saat ini,” ucap Leo datar, suaranya dalam tanpa jeda, seperti sebuah fakta yang tak perlu diperdebatkan.

Kalimat itu meledak seperti petir di siang bolong.

Tamara tersedak, batuk kecil, memegangi dadanya. “Istri? Kakak… bilang… istri?” suaranya tercekat, seperti tak percaya telinganya sendiri.

Tantri langsung melangkah maju, tumit sepatunya menghentak lantai marmer. Ekspresi terkejutnya tak berusaha ia sembunyikan. Sorot matanya jatuh menusuk Keira. “Astaga, Leo… kau bergandengan dengan jaminan hutang ini? Apa kau sadar siapa yang kau anggap istri sekarang?” katanya dengan nada mencemooh, bibirnya mencabik sinis.

Kayla mendongak,matanya menatap lurus ke arah Tantri. Suaranya tegas meski lirih, “Dia yang ingin bergandengan dengan aku, Ma. Tanya saja sendiri pada anak Mama… kenapa bisa berubah seperti ini.”

Tantri mendengus kesal, bibirnya merapat,bola matanya membulat sempurna menatap ke arah Keira yang sudah berani-beraninya menjawab ucapannya.

“Mama, dengarkan aku dulu.” Suara Leo tenang,leo menatap mamanya dan Keira bergantian berusaha mengendalikan keadaan. Tapi pandangannya beralih ke seseorang yang baru saja menuruni tangga dengan langkah malas.

Revan.

Ekspresi Leo mengeras, garis rahangnya menonjol.Leo melihat ke arah Revan dengan tatapan menusuk “Dua hari yang lalu Keira hampir mati, Ma. Dikurung di ruang pendingin. Dan itu… karena dia.”ucap Leo menunjuk Revan.

Semua kepala sontak berputar ke arah Revan.

Leo menambahkan, suaranya tetap tenang tapi penuh tekanan. “Mulai sekarang aku hanya ingin melindungi istriku. Aku akan pastikan dia aman di dekatku .”

Bunyi klik tegas terdengar ketika Hadiwijaya menutup tabletnya. Ia berdiri, sorot matanya menusuk seperti belati.

“Jadi benar…” suaranya berat. “Kau mendekati Keira, menghasut… lalu mencoba membunuhnya?”

Revan terpaku.

“Aku selama ini membiarkanmu bebas, tidak mengekangmu meski kau semena-mena. Tapi sekarang…” Wajah Hadiwijaya mendekat, napasnya berat, “kau menyerang keluargamu sendiri?”

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipi Revan, membuat kepala pemuda itu terpelanting. Tamara memekik kecil, menutup mulutnya. Tantri menunduk, tersenyum puas dengan apa yang baru saja ia lihat.

“Apa insting pembunuhmu kembali karena tempat itu?” bentak Darma Hadiwijaya. “Apa kau ingin aku kirim ke sana lagi?!”dadanya naik turun menahan amarah.

Tubuh Revan lunglai. Ia jatuh berlutut, lalu bersujud memeluk kaki papanya.Butiran air mata membasahi lantai tanpa suara tapi bahunya bergetar hebat, suaranya yang parau memohon pengampunan kepada papanya.

Bayangan kelam itu kembali—kilatan peluru, darah hangat di tangannya, wajah-wajah yang tumbang satu per satu. Napasnya tercekat. Neraka itu belum hilang.

“Pah… jangan… jangan kirim aku ke sana lagi… aku mohon…” suaranya serak, parau, tercekik rasa takut yang menghantuinya selama ini.

Leo hanya menatapnya tanpa suara. Ujung bibirnya terangkat sedikit, seolah enggan membiarkan siapa pun membaca pikirannya. Senyum itu singkat, nyaris tak kasatmata, tapi cukup memberi kesan bahwa ia puas. Sesaat kemudian ia mengalihkan pandang, seperti menyimpan sesuatu hanya untuk dirinya sendiri

Namun, sepasang mata memperhatikan setiap gerakannya.

Keira.

Ia melihat semua—senyum kecil Leo, tatapan puasnya, keberhasilan menjatuhkan Revan dengan satu tuduhan yang sulit dibuktikan.

“Leo memanfaatkan gue untuk menjatuhkan Revan,” batinnya. Jemarinya mengepal erat di balik lipatan gaun tidur, kukunya menekan telapak tangan. Tapi ia tahu… untuk saat ini, ia harus tetap bermain sesuai aturan Leo.

_____

Kayla duduk di tepi ranjang, tubuhnya sedikit membungkuk, seolah ada beban tak kasat mata yang menekan bahunya. Jemarinya meremas ujung selimut kusut, gerakannya berulang-ulang seperti orang yang berusaha menahan kegelisahan. Pandangannya kosong ke lantai, tapi pikirannya berputar liar.

Bukan tentang pertengkaran di ruang tamu tadi.

Bukan tentang tatapan sinis Tantri, atau tuduhan Leo yang menusuk.

Tapi tentang Revan.

Tentang wajah lelaki itu yang seketika pucat ketika Papa Hadiwijaya menyebut “tempat itu”. Tentang jemari Revan yang bergetar hebat, napasnya yang memburu seperti hewan buruan terjebak jerat.

“Tempat itu… tempat macam apa? Kenapa dia bisa ketakutan begitu? Apa yang pernah terjadi di sana? Dan kenapa semua orang diam, seolah aku tak boleh tahu?”

Pintu kamar berderit pelan. Cahaya lorong menyusup masuk, membentuk garis tipis di lantai. Langkah kaki terdengar—ringan tapi teratur, seperti milik seseorang yang tahu persis ke mana ia akan pergi.

Leo muncul di ambang pintu. Tubuhnya tegap, bahunya condong sedikit ke depan, menyimpan ketegangan. Tatapannya mengiris, menelisik Kayla seolah ingin menembus lapisan pikirannya.

“Apa yang kau pikirkan?” suaranya tenang, tapi ada tekanan halus yang membuat udara kamar mendadak padat.

Kayla mengangkat wajah perlahan. Sorot matanya tajam, campuran kecurigaan dan sakit hati. Bayangan senyum kecil Leo saat Revan terpuruk tadi melintas—itu bukan senyum empati. Itu senyum kemenangan.

“Apa lo senang lihat Revan hancur?” suaranya rendah, tapi tiap kata meluncur seperti bilah tipis yang dingin.

Alis Leo sedikit terangkat. Ia masuk tanpa tergesa, melepas jasnya dengan gerakan santai. Jari-jarinya membuka kancing kemeja satu per satu, seolah sengaja mengulur waktu. “Aku tidak mengerti maksudmu.”

“Sikap baik lo itu… cuma pura-pura, kan?” Kayla berdiri, tubuhnya tegak, tatapannya terkunci. “Lo manfaatin gue buat menjatuhkan Revan. Semua ini cuma permainan buat lo.”

Leo menghentikan gerakan tangannya di kancing ketiga. Matanya menatap lurus, dingin, tapi di kedalamannya ada bara yang tertahan. “Aku membelamu di depan Mamaku. Aku berdiri di pihakmu saat semua orang menuduhmu. Dan kau masih berpikir aku berpura-pura?”

“Karena lo selalu punya tujuan di balik semuanya!” suara Kayla meninggi, nadanya pecah. “Lo selalu jadi pahlawan… tapi ujungnya tetap lo yang menang!”

“Dan apa Revan nggak punya tujuan?!” suara Leo ikut meninggi, tapi intonasinya tetap terukur. “Dia bahkan hampir membunuhmu, Keira!”

Kayla menyipitkan mata. “Lo yakin itu Revan?” suaranya merendah, tapi tekanannya menekan udara di antara mereka. “Apa lo yakin bukan orang lain? Seseorang dari kantor, dari luar… yang benci sama gue? Mereka bisa aja ngelakuin itu. Mereka bisa aja mengunci gue di ruang pendingin.”

Leo tertawa pendek—tawa getir tanpa hangat. “Kau sungguh tak tahu apa-apa tentang dia… karena kau kehilangan ingatan. Tapi aku tahu, Keira. Aku tahu siapa Revan sebenarnya.”

“Mungkin dia memang pernah jahat,” ujar Kayla lirih, tapi matanya tetap menyala. “Tapi setidaknya… dia nggak sembunyi di balik topeng kayak lo.”

Leo maju, jaraknya tinggal sejengkal. Rahangnya mengeras, tatapannya menusuk. Napasnya terasa di pipi Kayla. “Dengar baik-baik. Kau tidak tahu betapa berbahayanya dia. Dia bukan korban. Dia monster yang kau bela hanya karena kau tak ingat.”

“Aku ingin tahu semuanya, Leo,” Kayla menatapnya tanpa gentar. “Kenapa Revan berbahaya? Apa yang dia lakukan? Dan… ‘tempat’ apa yang dimaksud Papa?”

Leo menarik napas panjang, menahan sesuatu yang ingin sekali ia keluarkan. “Kau akan tahu… setelah ingatanmu kembali.”

Ia berbalik, suaranya berat sebelum melangkah keluar. “Jauhi dia… sebelum kau benar-benar mati di tangannya.”

Tanpa menoleh, Leo menutup pintu perlahan. Bunyi kait yang mengunci terdengar jelas, seolah menjadi penutup percakapan.

Di balik pintu, Kayla terdiam, terperangkap dalam badai pikirannya sendiri.

____

Sementara di lorong redup, Leo berdiri mematung. Kedua tangannya terkepal, napasnya panjang dan berat, mencoba meredam sesuatu yang bergejolak di dadanya.

Bayangan masa lalu merayap masuk—membawa suara dan warna yang selama ini ia kubur.

Gambaran dua anak laki-laki. Ia dan Revan. Leo tujuh tahun, Revan lima.

Saat itu Leo masih polos, percaya punya adik laki-laki berarti punya teman bermain. Namun kenyataan menamparnya sejak awal—dunia mereka dipisahkan batas tak kasat mata.

Tatapan Mama dan Papa selalu penuh tuntutan saat menghadapinya.

“Kamu calon pewaris. Kamu harus lebih giat, Leo.”

Tangan Papa menepuk bahunya—berat, dingin—bukan untuk menghibur, tapi untuk menegaskan beban.

Sementara di luar, tawa Revan terdengar riang. Berlari di halaman, menendang bola. Dibawakan mainan baru, dipeluk hangat oleh Papa—pelukan yang jarang sekali Leo rasakan.

Kamar Leo penuh buku tebal, grafik pasar, dan dokumen yang menatapnya seperti mata pengawas. Tak ada mobil-mobilan. Tak ada robot. Tak ada kue ulang tahun dengan lilin.

Yang paling menusuk: perhatian Papa.

Revan yang ceria dan bebas selalu jadi pusat senyum.

Sedangkan dirinya? Anak yang “terlalu paham” untuk usianya. Anak yang tidak boleh salah. Tidak boleh lelah.

Dan yang paling pahit—Revan bahkan bukan darah murni. Ia hanya anak haram, dititipkan ke keluarga ini oleh ibunya yang membuangnya demi hidup lebih baik.

Fakta itu bukannya membuat Leo iba. Justru jadi bara yang membakar dari dalam.

Hari demi hari, rasa iri itu menebal, berubah jadi kebencian. Kebencian yang bukan lagi sekadar soal mainan atau perhatian. Tapi tentang tempatnya yang terasa dirampas.

Kini, berdiri di lorong sunyi dengan lampu redup, Leo kembali merasakannya.Rasa itu masih sama. Panas. Menyakitkan.Membakar sejak bertahun-tahun lalu.

.

.

.

Bersambung.

1
Dewi Ink
ada something pasti
Pandandut
sinting banget ni mamah
Iqueena
WHAT??????
Iqueena
Ya emang lu pura-pura, singa barong
Alyanceyoumee
hmmzz memang kasih sayang orang tua sangat berpengaruh besar dalam tumbuh kembang anak. laaah kaya Bu bidan aja saya🫣
TokoFebri
ya Ampun Kay.. kenapa terjebak dengan permainan Leo?
Keira lebih baik jujur saja. tapi aku tau maksud dari diam mu.
Kutipan Halu: diam salah bicara apalagi serba salah emang kak😔
total 1 replies
Bulanbintang
Entah rencana apa lagi yg disusun Leonardo dihcaperio. 😑
Bulanbintang: Seorang Leo, jadi baik tuh kek aneh aja. Bikin curiga malah.
total 2 replies
Bulanbintang
Vina nih cocok bgt sama Leo. Sama-sama kek ibl1s.😠
Kutipan Halu: emng cocok banget sih kak, otaknya jahat terus
total 1 replies
Bulanbintang
😒
Yoona
pasti ada alasan yang bikin leo kyk gini, nggak mungkin tiba-tiba jadi jahat padahal awalnya baik
Kutipan Halu: iyaa sih tapi ngk harus sekeji itu kak, kasian keira😭
total 1 replies
Septi Utami
bagus lawan aja, kay🫵🏼
Dewi Ink
mirip Drakor the glory
Kutipan Halu: eh iya emngnya kak, aku blm nonton 😅
total 1 replies
Dewi Ink
berasa maen rumah rumahan hee
TokoFebri
ya , aku Keira. wanita yang akan menjadi jodohmu. mungkin begitu Thor? wkwwkkwk
Kutipan Halu: wkwkwkk jangan dong, jaga imeg dulu😅😅
total 2 replies
Pandandut
heh mati di tnagannya?
Pandandut
puk puk kei
Pandandut
wah cita citaku dari kecil nih
Kutipan Halu: iyaa aku jugaa kyk seru aja punya rumah pohon adem kayaknya tp blm kesampain smpi sekarang 😭
total 1 replies
Alyanceyoumee
Kasihan Kayla, hidupnya di deketin sama penjahat swmua
Kutipan Halu: ngk tenang selama dua iblis masih hidup ini mh kk😤
total 2 replies
Iqueena
Jangan sampai si Vina ngungkit masalah sahabat satunya yg bundir
Iqueena
Nah, kan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!