Sebuah insiden kecil membuat Yara, sang guru TK kehilangan pekerjaan, karena laporan Barra, sang aktor ternama yang menyekolahkan putrinya di taman kanak-kanak tempat Yara mengajar.
Setelah membuat gadis sederhana itu kehilangan pekerjaan, Barra dibuat pusing dengan permintaan Arum, sang putri yang mengidamkan Yara menjadi ibunya.
Arum yang pandai mengusik ketenangan Barra, berhasil membuat Yara dan Barra saling jatuh cinta. Namun, sebuah kontrak kerja mengharuskan Barra menyembunyikan status pernikahannya dengan Yara kelak, hal ini menyulut emosi Nyonya Sekar, sang nenek yang baru-baru ini menemukan keberadan Yara dan Latif sang paman.
Bagaimana cara Barra dalam menyakinkan Nyonya Sekar? Jika memang Yara dan Barra menikah, akankah Yara lolos dari incaran para pemburu berita?
Ikuti asam dan manis kisah mereka dalam novel ini. Jangan lupa tunjukkan cinta kalian dengan memberikan like, komen juga saran yang membangun, ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Be___Mei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hello, Mr. Actor Part 2
...-Bibir tersenyum, mata menangis. ...
...Dunia terlalu lucu untuk Yara yang bosan bercanda-...
...***...
Mendapati motor butut Latif terparkir di depan rumah sederhana mereka, lagi-lagi Yara menarik napas kemudian menghelanya panjang. Jemari kecilnya mengepal, ia bersiap memberi pelajaran pada sang paman durjana.
Pelan sekali membuka pintu, kehadiran Yara tak disadari Latif. Pria itu sedang menonton televisi sembari ongkang-ongkang kaki membelakangi pintu.
Emosi dalam diri Yara seketika melonjak naik, Latif menikmati rokok dan minuman soda kaleng dengan santainya. Ia tertawa ketika adegan di dalam televisi mengocok perutnya.
Diam sejenak sembari menyilang kedua tangan di dada, bersandar di muara pintu sang keponakan memperhatikan prilaku Latif.
"Eh, Neng Yara. Sudah pulang?" semringah Latif. Ia baru saja menghabiskan minuman kalengnya dan benda itu masih berada di tangan saat menyapa Yara.
Tak menunggu waktu lama, langkah besar langsung mengantarkan Yara ke hadapan Latif, ia merebut kaleng kosong itu dan memukulkannya ke kepala sang paman.
Sangat tahu dirinya berbuat salah, Latif segera melarikan diri dari kediaman mereka. Tanpa alas kaki ia berlari hingga keluar gang.
"Sini! Enak sekali kamu ngerokok sambil minum-minum di depan televisi, sedangkan aku jadi jaminan pinjol!"
Latif tidak bodoh, ia tak sudi mendatangi Yara.
"Maaf, Neng. Nanti aku ganti. Kamu talangin dulu, ya," ujar Latif dari jarak 15 meter.
"Nggak! Aku nggak punya uang buat nalangin utangmu!"
"Pinjam siapa kek dulu. Nanti kamu yang susah, admin pinjol bakal nyariin kamu."
"Latif!" geraman Yara bergema di tepian jalan raya petang itu.
Yara yang marah membuat Latif semakin melarikan diri. "Aku pergi dulu, Neng. Ingat, ya. Harus segera dibayar utangnya."
"Yak!!!"
Latif seolah tuli, langkah cepatnya membuat jarak semakin banyak di antara dirinya dan Yara. Samar-samar Yara melihat sesuatu Latif lempar ke arahnya.
Berlari kecil gadis dengan tinggi 1,65 ini mengambil benda yang Latif lemparkan. Dan betapa emosi semakin meledak dalam dirinya, ternyata itu KTP nya, dan dia baru sadar telah kehilangan benda itu.
"Lelaki sakit jiwa itu lama-lama membuatku ikutan gila!" Sembari mengomel dengan langkah tertatih, Yara juga menahan sakit di kaki dan hati karena ulah Latif.
Emran, kasir minimarket tertawa melihat kejadian itu. Yah, pemandangan seperti ini bukan hal baru bagi warga sekitar, sebab perkelahian Yara dan Latif sudah sering terjadi sejak mereka remaja.
Paman dan keponakan ini cukup terkenal di kawasan tersebut. Awalnya Yara dan Latif tinggal bersama ibu Latif, Hastuti namanya, ia seorang pensiunan PNS. Beberapa tahun yang lalu Hastuti meninggal dunia, meninggalkan Yara dan Latif saja, sedangkan sang suami telah lama tiada, dan sanak saudara pun tak lagi ada. Bagaimana dengan orang tua Yara? Mereka meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas ketika ia kecil.
"Sabar, Ya Neng Yara. Sini minum dulu." Emran mengajak Yara duduk di kursi santai depan minimarket.
"Aku capek sama kelakuan dia."
"Iya, aku tau kamu capek. Makanya, ini minum dulu." Emran begitu tenang meredakan emosi Yara.
Demi meredam api amarah di dalam dada, gadis ini menerima sebotol minuman mineral dari Emran. "Terima kasih, Em. Berapa ini?"
"Enggak, itu gratis. Lagian sama temen juga." Senyum simpul Emran terlempar pada Yara.
"Andai ...." Yara menarik napas dan menghela pelan, "Latif sebaik kamu. Aku nggak akan sering teriak-teriak setiap hari di sekitar sini."
Emran tertawan, menampilkan barisan gigi putihnya di hadapan Yara. "Iya sih. Tapi sayangnya dia ... unik," ujar Emran, mengucap kata yang lebih halus mengomentari kelakuan Latif.
"Unik dari mana? Yang ada dia tu kayak orang gila. Setiap hari taunya ngopi, ngerokok, nongkrong, ngutang, main game online. Nggak ada pikiran mau cari kerja," keluh Yara. Selain Valery, dia juga dekat dengan Emran, kasir minimarket milik juragan kontrakan yang berada di samping rumahnya.
Jika Valery sering meminjamkan Yara uang, Emran sering menjadi tempat Latif menumpuk utang. Sempat Yara melarang Emran memberi utangan pada Latif, si paman gila itu menumpuk utang di tempat lain yang orangnya lebih galak ketimbang Emran si baik hati.
"Coba kamu bujuk dia buat nyari kerja, baik-baik kamu ngomongnya. Pelan-pelan kalian ngobrol dari hati ke hati."
"Cih!" sambar Yara berdecih. "Ngomongin kerjaan sama Latif tuk kayak lagi ngomong sama tembok."
Tawa renyah Emran menggema, pria ini menganggap hal itu lucu tapi menyedihkan bagi Yara.
Lelah berkeluh kesah, Yara pamit untuk kembali ke rumah. Kepergian Yara dari kursi bertepatan dengan kedatangan pengunjung di minimarket. Seorang pria bermasker menggandeng gadis kecil yang menggemaskan.
"Ayah, aku mau Mama seperti dia."
Pria bermasker yang dipanggil ayah itu menoleh pada Yara, sosok berkerudung besar yang ditunjuk si gadis kecil kepang dua.
"Ayah sibuk, nggak ada waktu mikirin Mama buat kamu."
"Ayah!" sentak gadis kecil, kepang duanya bergoyang karena si empu merajuk sembari menghentak kaki.
"Arum ... cepat beli es krimnya. Ayah harus kerja lagi."
Wajah gadis kecil itu menjadi keruh dan masam. Ia berjalan dengan gusar menuju tempat es krim. Berjinjit ia hendak mengambil es krim yang dimau, sedang sang ayah hanya memandanginya sembari berkacak pinggang.
Emran membantu gadis kecil itu mengambilkan es krim. Saat ia bertanya gadis itu mau es krim berapa banyak ... "Aku mau banyak es krim!"
"Arum ...."
Sepasang manik mata kecil itu melirik tajam pada sang ayah, seperti belati yang siap merobek mangsanya, "Hati Arum panas. Butuh banyak es krim biar jadi dingin."
Pandangan Emran dan ayah gadis itu bertemu. Terlihat samar menggelengkan kepala, pria bermasker itu menyetujui keingin putri kecilnya.
Usai berbelanja banyak es krim, gadis kecil itu menepis tangan ayahnya dan melenggang masuk ke dalam mobil Van.
"Kenapa? Kesal lagi sama Ayahnya?"
Menghenyakkan diri pada kursi mobil, gadis kecil itu berceloteh bak orang dewasa. "Paman, apa Ayah nggak suka perempuan?"
Hah! Pertanyaan itu membuat asisten ayahnya memelotot. Sang ayah yang baru masuk ke dalam mobil langsung menarik pelan pipi putrinya, "Heiii, Ayah laki-laki normal. Dari mana munculnya pikiran aneh itu? Kamu terlalu banyak main ponsel, ya!"
Gadis bernama Arum Gemala Taslim itu membuang wajah, bibirnya yang merah alami seperti moncong bebek.
"Bos, pasti Nona minta mama lagi."
"Yah, begitulah. Dia pikir ngasih dia mama kayak beli boneka Barbie di Mall," sahut pria yang dipanggil bos ini.
Masker itu telah dilepaskan, menampilkan wajah tampan yang kerap menghiasi layar televisi. Ayah dari gadis kecil bernama Arum ini adalah Barrata Taslim, aktor yang terkenal menyandang gelar pria anti romantis. Maksudnya, sejauh ini ia tak pernah beradegan mesra dalam semua drama yang ia bintangi, meski itu film atau drama bergenre romantis.
Kenapa begitu? Apakah ia punya pasangan yang melarangnya beradegan mesra dengan wanita lain? Tidak. Barra bukan tipe pria yang mudah bertekuk lutut di depan wanita. Lagipula ia masih sendiri sampai detik ini. Bukan sok suci, Barra hanya tak suka berdekatan dengan orang asing apalagi beradegan mesra.
"Aku mau mama! Sebentar lagi aku ulang tahun dan aku mau hadiah mama!"
Ash! Otak kecil Barra rasanya mau pecah. Setiap hari ia dirundung permintaan tak masuk akal Arum.
"Sudahlah, Bos. Carikan saja mama buat Nona. Atau ... Bos terima saja Nona Enzi."
"No!!" Arum terkejut dan langsung menolak saran Gavin, asisten sekaligus supir ayahnya.
"Jangan tante Enzi. Arum nggak mau."
"Ayah juga nggak mau, kok. Kamu tenang aja. Tapi, kalau kamu selalu mendesak, Ayah bisa terpaksa menjadikan tante Enzi hadiah di hari ulang tahunmu." Sejatinya Barra hanya bercanda, namun, Arum menganggap ucapan ayahnya serius.
"Ayah jahat! Om Gavin juga jahaaatt!!" teriakan Arum disertai tangisnya yang pecah, membuat kepala dua pria dewasa itu rasanya ikut pecah.
...To be continued ......
...Terima kasih sudah berkunjung, jangan lupa like, komen dan saran yang membangun, ya. Oh iya, jangan lupa votenya. ...
Kamu seorang laki-laki ... maka bertempurlah sehancur-hancurnya!
Yakin tuh ga panas Barra 😄
Gitu dong, lindungin Yara..
Masa iya Yara bener mamanya Arum