"Kok, kamu betah, sih, kerja kayak gini bertahun-tahun? Nggak ada enaknya sama sekali tau kerja kayak gini!" dari tadi aku marah-marah tidak jelas. Lidya yang mendengar celotehanku hanya menggelengkan kepala dan tertawa terbahak.
"Ya, makanya itu aku milih kerja cerdas di ranjang daripada kerja keras kayak gini. Kamu kerja kayak gini puluhan tahun juga tetep aja nggak bakalan bisa kaya," kata Lidya santai sambil menginput rekap keuangan di komputer.
Ada benarnya juga perkataan Lidya, tidur dengan Sugar Daddy semalam saja sama halnya sepuluh kali gajiku menjadi SPG. Aku menggelengkan kepalaku, mengusir bisikan setan laknat barusan yang terbesit di otakku. Aku masih waras, aku tidak akan melakukan hal hina seperti itu bagaimanapun kondisinya. Baiklah, memang dulu aku pernah tidur one night stand dengan Om-om senang demi sebuah handphone keluaran terbaru tetepi itu adalah masa lalu! Itu terjadi ketika aku masih menjadi bocah ingusan kelas tiga SMA. Aku tidak akan mengulangi hal konyol itu lagi. Bahkan aku merasa kenapa dulu aku sekonyol itu!
"An, aku kasih tahu, ya. Tapi ini rahasia kita berdua," kata Lidya dengan wajah yang sangat serius. Aku mengangguk dan menyimak apa yang hendak Lidya katakan.
"Bisa, sih, dapet duit tambahan secara cepet. Tapi..."
"Tapia apa? Ngepet, gitu?" Lidya tertawa melihatku sebegitu penasarannya. Terlebih jawaban asalku dengan nada sewot tadi.
"Kadang bisa jadi, An, ada pelanggan genit yang hobinya goda-godain SPG. Ini emang beneran terjadi, sih, walaupun kadang-kadang, loh, ya. Mau SPG mobil ataupun SPG baju sekalipun biasanya tetep nantinya pasti ada yang ngegodain kita. Ada yang cuma digombalin, ada yang dimintain nomor telepon, ada juga yang diajak tidur."
Aku memutar bola mataku medengar penjelasan yang terakhir.
"SPG itu gajinya dikit. Banyaknya, ya, dari kayak itu atau dari bonus kalau ada event. Tapi nggak semuanya kayak gitu, sih. Nggak bisa dipukul rata. Kalau kita-kitanya nolak, ya, pelanggan nggak mungkin maksa. Tapi, ya, gimana lagi. Semua orang butuh duit. Di lapangan itu ibaratnya cara halal atau haram demi makan, ya, semuanya jadi halal."
Aku hanya terdiam, aku memang pernah mendengar berita simpang siur tentang hal tersebut. Walaupun tidak pernah melihat kejadiannya secara langsung, sih.
"Kamu pernah?" tanyaku ke Lidya.
"Cuma sekali, kok," kata Lidya sambil menyengir dan menaikkan jari telunjuknya. Aku memelototinya.
"Dasar gila, ih. Kena HIV baru tau rasa."
Lidya tertawa lepas mendengar perkataanku. Sambil menunggu pelanggan datang aku menggosok-gosok kaca etalase ini. Baru sebulan bekerja rasanya aku sudah frustasi dan ingin mati saja. Kemarin ketika aku membuka amplop cokelat yang berisi gaji pertamaku, aku benar-benar syok karena nominalnya terjun jauh dari kata UMR.
Ini benar-benar bukan pekerjaan yang aku inginkan. Lidya memegang bagian kasir, sedangkan aku di bagian depan. Strategi marketing katanya, rasanya diriku ini seperti dijadikan tumbal penglaris toko seperti di sinetron yang biasa Mama tonton di malam hari. Azab SPG seksi.
Ditambah lagi terkadang ada ibu-ibu yang hobinya nyinyir mengatakan seperti ini kepadaku, "Ih, Mbaknya cantik-cantik, kok, mau, sih, jadi SPG.? Jadi model aja, atuh, Mbak. Badan Mbaknya, kan, bagus. Langsing singset gitu."
Aku hanya bisa tersenyum meringis ketika mendengarnya, dia ini sedang menghinaku atau memujiku, sih, sebenarnya?
Tapi tetap saja walaupun aku dianugrahi kecantikan sejak lahir. Rasanya kecantikanku ini benar-benar tidak berguna sama sekali. Kecuali jika aku bekerja menjadi sekretaris di kantor besar dengan rok sepan yang ketat hingga memerlihatkan bokong seksiku kemudian si CEO jatuh cinta kepadaku seperti cerita di novel roman picisan yang terlalu banyak halusinasi dari penulisnya. Itu baru namanya kecantikan yang berguna.
"Gimana bisa ngelebihin target bulanan kalau caranya kayak gini. Emang tiap hari orang bakalan beli kacamata?!" kataku masih mengerutu sambil menggosok dengan kuat kaca etalase ini supaya memancarkan cahaya ilahi. Lidya tertawa terbahak mendengarnya.
"Sabar, dong. Orang sabar disayang Tuhan."
Aku mengangguk walaupun masih cemberut. Aku menengok ke arah kiri dan ke kanan, mencuri-curi waktu untuk membuka ponselku—sebenarnya kami dilarang bermain handphone ketika bekerja. Bahkan kami juga dilarang makan ataupun memesan makanan dari luar juga. Dasar kompeni memang!
Senyumku terukir ketika membaca pesan masuk dari Mama. Entah mengapa sekarang Mama sangat perhatian kepadaku. Mama rutin mengirimiku pesan dan selalu mengkhawatirkanku setiap waktu, terlebih lagi ketika aku masuk sif malam. Contohnya seperti yang saat ini terjadi, Mama mengatakan agar aku tidak telat makan.
Anha
Ya, ampun, Ma.
Anha udah gede tahu, Ma.
Masak, sih, makan aja pakai diingetin segala. Mama jangan nungguin Anha, pulang, loh, ya. Takutnya nanti kalau Anha pulang telat.
Love you, Mama.
Ketika aku sedang asyik mengirimi pesan dan ketawa-ketiwi, tiba-tiba aku tersentak—hampir menjatuhkan ponselku saking kagetnya.
"Jadi gini kerjaan kamu? Kamu itu saya gaji bukan buat main-main. Ngerti?" kata lelaki di depanku sambil menatapku tajam. Nada bicaranya memang setabil, tetapi auranya sangat dingin dan menusuk.
Aku langsung memasukkan ponselku ke dalam saku rokku. Lidya menghampiriku dari belakang, menyikut lenganku pelan kemudian berbisik kepadaku,
"Dia owner, yang punya tempat ini. Namanya Pak Ikram. Gila kamu!"
Aku menelan ludah. Mana aku tahu kalau dia owner di tempat ini, karena selama sebulan bekerja aku hanya tahu tentang Pak Indra saja—ketua cabang yang menginterview dan yang meng-handle kami semua.
"Um... maaf, Pak. Tadi saya..." kataku hendak mengeles. Lelaki itu menyilangkan kedua tangannya. Entah akunya yang bodoh atau bagaimana sampai gerogi seperti ini.
"Kamu bosen kerja di sini? Mau dipecat aja atau gimana?"
Aku mengigit bibir bawahku tambah ketakutan.
"Udahlah, Bro. Dimaafin aja," kata teman di sebelahnya yang sedang menopang dagunya dengan lengan kanannya sambil mengamati diriku—dan tentunya mengamati bagian atas tubuhku karena potongan baju seragamku yang rendah. Aku menunduk pura-pura malu.
"Are you seriously pakai seragam kayak gini? Kayaknya saya nggak pernah, deh, nyuruh karyawan saya pakai seragam seketat itu. Bukannya waktu masuk ada aturan tentang ukuran baju, ya?"
Aku mati kutu mendengarnya. Aku memang mengecilkan seragamku. Mengecilkan bagian atasanku sampai press body dan membuat rok kerjaku yang awalnya selutut menjadi lima senti di atas lututku. Ya... karena menurutku baju kerja di sini sangat tidak ber-mode sama sekali jika tidak kukecilkan.
"Come on, nggak usah berlebihan kayak gitu. Si manis ini jadi ketakutan tau. Iyakan?" kata temannya yang sepertinya agak genit itu. Aku masih saja menunduk.
"Lagian saya suka, kok, kamu pakai baju kayak gini. Saya suka lihat yang bening-bening kayak kamu."
Aku dan Pak Ikram menatap orang tersebut bersamaan.
"Minta nomormu, dong," kata lelaki itu.
Lalu...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 258 Episodes
Comments
Y.S Meliana
temen'y ikram centil ih
2021-06-22
0
Dilah Mutezz
ouh jdii d snii awakl perkenalan ikram n anhna yg jdi suami nya anhna
2021-06-12
0
Heni Husna
lanjut tjor gk ush d masukin dlm hati, comen yg gx tau diri , masih untung ada author yg mau nlis novell gratis , orang tinggal baca gratis lgi😆
2021-05-21
0