"Iya. Kan dulu Diego nakal. Nggak mau mandi. Umm... padahal Mommy udah manggil-manggil..." perkataan Diego terputus, dia mencoba merangkai kata, "Manggil tapi Diego pula-pula nggak denger. Diego lari-lari terus... terus Diego di cubit sampe merah terus nangis Diegonya."
Aku tertawa mendengar ucapan Diego. Apalagi mimik wajahnya yang sangat polos dan lucu itu. Aku membelai rambut hitam legamnya sambil mengamati mata hitam bulatnya. Aku mencium pipi Diego sebelum memutuskan untuk melangkah ke kamar mandi.
Ketika aku selesai mandi pagi, aku sudah tidak melihat lagi keberadaan Diego di ranjangku. Mungkin anak kecil itu sudah pergi keluar.
Ketika aku memegang gagang pintu kamarku. Ada rasanya ragu dan aku takut bertemu dengan Mama karena insiden tadi Malam. Aku mundur kebelakang, lalu menghampiri pintu kamarku lagi, kemudian bergerak ke belakang lagi. Bimbang dengan apa yang harus aku lakukan.
Akhirnya aku membuka pintu kamarku sedikit untuk mengintip keadaan di luar. Ruang tamu masih tampak sepi, hanya terlihat Diego yang sibuk bermain dengan Tab-nya di sofa ruang tamu.
Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya aku melangkahkan kakiku ke luar dari kamarku. Mau bagaimana lagi, tidak mungkin aku berdiam diri di kamarku sampai malam, kan?
Mataku masih melirik ke kanan dan kiri serta melangkah dengan gerakan pelan.
"Mama sama Tante di mana?" tanyaku ke Diego. Diego hanya menggeleng dan mengatakan tidak tahu. Lalu aku melangkah ke arah dapur. Di dapur juga tidak ada orang.
Aku lebih memilih ke tempat ruang makan, ternyata terdapat makanan di meja makan. Mungkin Tante Ririn yang memasaknya.
Aku duduk, tanganku terulur mengambil makanan dan lauk, aku mulai menikmati hidangan tersebut. Masakan Tante enak juga, tidak terlalu buruk walaupun rasanya agak hambar. Ada makanan saja aku sudah sangat bersyukur.
Ketika aku sedang menikmati makananku, Tante Ririn datang dan langsung duduk di kursi depanku. Tante tidak mengatakan apa pun melainkan hanya tersenyum ke padaku. Entah mengapa rasanya sangat canggung.
"Enak?" tanya Tante Ririn kepadaku. Aku hanya mengangguk pelan tanpa berani menatap Tante.
Setelah itu keadaan sunyi, Tante Ririn tidak mengatakan apa pun lagi. Aku mulai mempercepat gerakan mengunyahku. Khawatir jika sebentar lagi Mama juga ikut bergabung makan. Lebih baik aku menghindari bertatap muka dengan Mama sampai beberapa hari ke depan.
"Tadi pagi Mama kamu pergi ke rumah Eyang naik kereta api. Katanya dia mau nenangin diri dulu di rumah Eyangmu."
"Nggak nanya," jawabku pura-pura tidak peduli.
"Iya. Tante tahu kamu nggak nanya. Tante cuma ngomong, doang, siapa tahu kamu penasaran."
Aku mengembuskan napas, lalu kembali menyendok makananku. Aku meberanikan diri untuk melirik Tante Ririn. Tante Ririn sedang sibuk menyendok makanan sehingga tatapan kami tidak bertemu.
Tapi...
Kenapa Tante Ririn tidak membahas hal kemarin malam dan hanya diam saja? Kupikir Tante Ririn akan marah besar atau jika tidak Tante akan mengintrogasiku. Ternyata tidak.
"An..." kata Tante Ririn dengan pelan sambil meletakkan tangannya di atas tangan kiriku. Aku mengangkat kepalaku melihat wajah Tante Ririn.
"Tante tahu, kamu marah sama Mama kamu. Tapi, kalau pikiran kamu udah tenang. Tante mohon kamu minta maaf sama Mamamu, ya, Sayang."
Aku hanya terdiam karena tidak tahu harus berkata apa.
"Tante tahu Mama kamu juga salah karena dia nggak pernah ada waktu buat kamu selama ini. Tapi jangan pernah kamu benci Mama kamu. Tante ini adiknya, Tante tahu dia sayang banget sama kamu."
Aku tidak menangis, aku tidak menangis. Aku menghapalkan mantra tersebut dan mencoba sekuat tenaga menahan emosiku agar tetap stabil, aku tidak ingin menangis di depan Tante. Gengsi!
Aku hanya diam menunduk supaya Tante tidak melihat mataku yang mungkin sudah berkaca.
"Nggak, Tante salah! Mama nggak pernah peduli sama aku!" kataku membantah argumen Tante Ririn. Bahkan rasanya nada suaraku sudah berbeda karena menahan tangis.
"Kamu tahu nggak? Mama kamu selalu berangkat pagi jam enam bahkan belum sarapan. Mama kamu makan seadanya di warung pinggir jalan yang dia temuin. Selalu pulang paling malem. Bahkan Mama kamu nggak pernah peduliin kondisinya, nggak pernah ngeluh sama kamu. Itu semua demi kamu, Anha. Demi kamu bisa makan, bisa sekolah. Mama kamu sayang banget sama kamu."
Aku memalingkan wajahku ke samping, gengsi jika Tante Ririn tahu aku menangis, aku berpura-pura bahwa aku kuat.
"Nggak ada orang tua di dunia ini yang nggak sayang sama anaknya. Yang ada cuma orang tua dan anak yang saling salah paham. Tante cuma mohon satu hal sama kamu. Nanti kalau kamu udah tenang. Minta maaf, ya, sama Mama kamu."
Aku menarik tanganku yang diusap pelan dengan ibu jari Tante Ririn. Aku berdiri. Meninggalkan Tante Ririn yang menangis dan menghapus air matanya dengan punggung tangannya.
Aku ingin segera pergi ke kamarku sebelum aku menangis terisak. Pasti itu semua hanya omong kosong Tante Ririn terhadapku, sampai kapanpun Mama tidak akan menyayangiku! Itu semua hanya kata-kata karangan Tante Ririn saja. Aku mencoba menolak semua yang Tante Ririn ucapkan, tetapi hatiku tidak dapat berbohong, rasanya sangat sakit.
Sebelum langkah kakiku melewati kusen pintu dapur, Tante Ririn mengatakan sesuatu yang membuatku sudah tidak bisa lagi membendung air mataku.
"Tante masih inget gimana dulu kamu nangisin Papa kamu waktu Papa kamu meninggal dunia. Jangan sampai kamu juga nangisin Mama kamu, An, kalau Mama kamu nanti udah nggak ada. Selama Mama kamu masih ada, kamu harus sayang sama dia. Karena cuma kamu yang Mama kamu punya."
***
Mataku melirik jam di tangan kiriku yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Aku dan Mai meluangkan waktu sebentar untuk mampir ke salah satu restoran dekat kampus kami.
Mai tersenyum semringah, wajahnya seperti akan terbelah dua melihat pelayan meletakkan pesanan kami di atas meja. Dengan malu-malu Mai menyantap steak dengan lahap walaupun Mai agak kesusahan ketika menggunakan garpu dan pisau secara bersamaan. Aku menahan senyumku, pasti ini pertama kalinya bagi Mai.
"Sering-sering, dong, An kalau traktir aku. Hehehe."
"Ogah!" jawabku ketus.
Hari ini aku mentraktirnya bukan berarti kami sudah menjadi teman dekat! Hanya saja aku malas makan di rumah sendirian. Mengingat Bik Dar sudah berhenti bekerja di rumahku, dan ini juga sudah hari ke empat Mama masih belum pulang dari rumah Eyang. Aku mengusap pelan tengkukku. Entah mengapa rasanya aku merindukan Mama.
Aku mengembuskan napas berat. Aku tahu, sebenarnya akulah yang bersalah waktu itu, tetapi aku justru melampiaskan semua rasa sakit hatiku kepada Mama.
Benar kata orang, ketika kita sedang marah, kita cenderung menyalahkan dan menyakiti hati orang lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 258 Episodes
Comments
Sarmini Ujianto
ini cerita bgs lo tp vote kok dedikit y aku bisanya klw hr senin doang 1 vote
2021-07-31
0
Y.S Meliana
nyesel tuh dtng'y belakangan y an 🙂
2021-06-22
0
Dilah Mutezz
yupz bner bngett gx ada orng tua yg gx sayang sma anaknya,
bahkan pengorbanan orang tua gx akan pernah d liatin d dpn anak yg terpenting anak bahagia dan tercukupi itu membuat orng tua seneng,,,,
2021-06-11
0