Tapi walaupun Mama meninggalkanku sendiri di sini. Mama masih mentransfer uang ke rekeningku. Uang yang kugunakan untuk membeli dua steak ini juga berasal dari uang pemberian Mama. Aku hanya tersenyum getir, mungkin Mama masih mengirimiku uang agar aku tidak mati kelaparan di sini.
Hanya uang, kan, yang mampu Mama berikan kepadaku?
Aku menatap ke luar jendela restoran, melihat kendaraan yang berlalu-lalang di luar sana. Pikiranku melayang, entah mengapa aku mulai memikirkan tentang masa depan.
Apa yang harus aku lakukan setelah lulus nanti?
Mungkin aku akan bekerja di luar kota, merantau, menyewa rumah kontrakan sendiri, hidup sendiri di sana dan tentunya jauh dari Mama. Semakin jauh aku pergi maka akan semakin bagus pula. Untuk status anak yang mungkin tidak diharapkan—atau anak yang hanya menjadi beban keuangan bagi orang tuanya. Memang lebih baik aku pergi.
"Anha, Nanti kamu habis kuliah mau kerja atau mau apa?" kata Mai menyadarkanku dari lamunanku.
"Nikah!" kataku asal dengan wajah masam kepadanya. Sedangkan Mai masih bisa-bisanya tersenyum geli melihatku yang menjawab sewot.
"Ya Allah, jadi cewek itu jangan galak-galak atuh, An."
"Biarin, bawel banget, sih! Cerewet banget jadi orang, makan aja sana."
Mai berhenti mengajakku bicara. Menagabaikan diriku yang pemarah. Aku mengerutkan kening, kalau dipikir-pikir dia ini kebal sekali, sih. Padahal aku sudah bersikap dingin tetapi dia masih saja tersenyum dan ramah kepadaku. Sejujurnya aku tidak membenci Mai. Hanya saja aku itu gengsi jika dekat-dekat dengannya.
"Nanti abis lulus, rencana hidupmu apa, Mai?" tanyaku berusaha agar tidak terlalu jahat kepadanya. Aku tahu Mai tipe manusia positif, hanya saja aku penasaran dengan apa yang nantinya akan dia lakukan.
"Belum tahu, mungkin aku bakalan cari kos-kosan deket sini, terus aku bakalan kerja yang semangat. Nanti kalau aku udah punya banyak uang, aku pengin beli rumah di sini dan boyong Bapak sama Ibuku ke kota ini."
Aku mengangguk mendengarnya.
"An, boleh tanya nggak?"
"Apa?"
"Kamu kenapa, sih, kok, kayaknya nggak suka banget sama aku. Padahal aku, tuh, pengin temenan deket sama kamu, gitu."
Aku memutar bola mataku.
"Aku, tuh, nggak suka sama kamu! Kamu itu kolot banget, baju kamu aja kebesaran kayak gitu. Makeup aja kamu nggak pernah pakai. Kamu itu terlalu lugu, terlalu sok alim banget. Kalau kamu kayak gitu terus, kamu mana laku. Mana ada cowok yang suka sama kamu!"
Bukannya sakit hati karena kumaki, Mai hanya ber-istighfar mendengar perkataanku.
"Jodoh itu udah ada yang ngatur, An. Buat apa kita pusing-pusing mikir kalau nggak laku? Kan, Allah udah nyiptain kita berpasang-pasangan. Adam sama Hawa aja yang terpisah jauh tetap di persatukan sama Allah, kok. Daripada aku sibuk pakai makeup, mending aku nyibukin memperbaiki diri, bukan?" Aku melotot mendengar ceramah dari sustadzah dadakan di depanku ini.
Aku mengabaikan Mai dan lebih memilih menyantap potongan daging steak terakhirku. Kami selesai makan pukul setengah delapan malam. Mai mengucapkan terima kasih atas traktirannya dan melambai ke arahku sebelum dia menaiki angkutan umum.
"Semoga besok kita jadi sahabat baik, ya, An!" teriak Mai sebelum masuk ke angkutan. Aku hanya memutar bola mataku mendengarnya.
Kemudian selang beberapa menit ojek online pesananku datang, dengan gesit Mang Ojek membelah jalanan kota dari restoran ini ke rumahku. Aku agak tertatih ketika turun dari ojek, tubuhku rasanya remuk redam mengingat hari ini memang hari yang sangat panjang bagiku.
Langkahku terhenti ketika aku membuka pagar rumah dan melihat lampu rumahku yang menyala.
Mataku membulat. Panik.
Tidak mungkin Bik Dar yang menyalakan lampu rumahku, bukan? mengingat Bik Dar sudah tidak bekerja lagi di rumahku.
Atau jangan-jangan ada pencuri yang menyelinap masuk?
Keherananku bertambah ketika aku memutar gagang pintu.
Kenapa tidak terkunci? Seingatku sebelum aku pergi aku sudah mengunci pintu dan belum menyalakan lampu rumahku, kok.
Aku mendorong agak kuat pintu rumahku. Kemudian aku terdiam. Tubuhku meremang. Aku melihat Mama yang sedang duduk di sofa sambil menonton televisi, kemudian Mama menoleh ke arahku, tangan kanannya memegang remote televisi, kemudian Mama membenarkan kacamatanya.
"Ma-Mama."
Mama sudah pulang? tanyaku dalam hati.
Mama tersenyum ke arahku, kemudian Mama berjalan pelan menghampiriku. Entah kenapa aku menundukkan pandanganku, aku menggigit bibir bagian dalamku. Canggung.
"Kamu udah pulang?" tanya Mama dengan suara lembut. Langkah Mama semakin mendekat. Aku memegang kuat tali tasku. Akhirnya aku memilih berlalu begitu saja meninggalkan Mama dengan tangan terulur yang hendak menyentuhku.
Sesampainya di dalam kamar, aku hanya terdiam, duduk di pinggir ranjangku, mengusap wajahku pelan.
Mama sudah ada di rumah. Lalu apa yang nantinya harus aku lakukan? pasti kecanggungan ini akan berlangsung lama.
Aku berjalan kecil ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku, kemudian duduk lagi di pinggir ranjangku dan mengeringkan rambutku dengan handuk kecil.
Beberapa saat kemudian suara ketukan pintu terdengar, membuat gerakanku yang sibuk menggosok rambutku dengan handuk terhenti. Aku yakin Mama saat ini sedang berada di luar pintu kamarku.
"Anha, Mama boleh masuk sebentar?"
Aku hanya diam, tidak menjawab perkataan Mama. Dengan perlahan Mama mendorong pintu kamarku hingga terbuka. Aku memalingkan wajahku ke sembarang arah, ke tembok sekalipun demi menghindari agar tidak bertatap muka dengan Mama.
Sekilas aku melirik Mama yang meletakkan susu di nakas sebelah ranjangku. Aku tidak tahu apa isi dari pikiran Mama ketika Mama meletakkan susu tersebut dengan gerakan anggun di sana. Aku sangat ingin mengatakan kepada Mama bahwa segelas susu tidak akan bisa merubah apapun. Hubungan anak dan orang tua tidak bisa digantikan dengan secangkir susu putih. Bahkan dengan uang ratusan juta sekalipun.
"Nanti diminum, ya. Kamu juga jangan begadang. Nggak baik buat kesehatan kamu."
Sudut bibirku melengkung kecil, aku hanya mampu tersenyum getir, kemudian hening menengahi kami berdua.
"Mama sebenernya pengin buatin susu buat kamu kayak yang selalu Mama lakuin waktu kamu masih kecil dulu. Terus biasanya habis minum susu Mama selalu nemenin kamu tidur sambil meluk kamu. Ke Anha kecil Mama. Tapi Mama terlalu egois. Mama selalu pulang malem saat kamu udah tidur."
Aku tidak peduli. Egoku menolak keras itu semua. Tetapi mata sialan ini tidak bisa berkompromi untuk membendung air mata yang sebentar lagi sepertinya akan tumpah. Aku menggigit bibir dalamku. Jangan menangis. Aku kuat.
"Selamat malam, ya, An," kata Mama pelan. Aku masih diam saja dan masih menatap tembok kamarku yang berwarna putih. Hingga suara pintu tertutup itu pun mengakhiri suasana tidak nyaman ini.
Ketika Mama sudah pergi, barulah aku menatap pintu kamarku yang berwarna cokelat itu dan mulai mengusap air mataku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 258 Episodes
Comments
Iyana Computer
susahnya jadi single parents...
2022-06-02
0
Lestari 23
yaudah ma ngurusin anak aja.. makan angin biar kenyang 🤭
2021-09-23
0
Y.S Meliana
mewek kan jadinya aku tuh 😭
2021-06-22
0