Tiga puluh menit aku mencoba untuk tidur, berguling ke kiri, berguling lagi ke kanan, mencoba mencari posisi tidur yang pas untukku. Aku harus bisa terlelap, besok aku harus berangkat ke kampus pagi untuk mengikuti pelatihan wisuda. Aku menghapalkan kata-kata itu tetapi tetap saja nihil, mata ini benar-benar tidak bisa diajak bekerja sama.
Aku melihat jam di dinding kamarku, pantas aku tidak bisa tidur, bahkan jam masih menunjukkan pukul sembilan malam.
Dan pada akhirnya, aku tetap meminum susu buatan Mama, seperti Anha kecil putri kesayangan Mama delapan tahun yang lalu.
***
Dengan gerakan tergesa aku setengah berlari menuju pintu depan. Aku kesiangan, finalnya tadi malam aku tidur pukul dua dini hari karena mata sialan ini tidak bisa terpejam. Dengan bodohnya semalam aku hanya terdiam menatap langit-langit kamarku seperti orang linglung.
Aku berdecak, bahkan supir taksi yang kupesan menggelengkan kepala ketika melihatku yang kelabakan saat memakai sepatu di teras rumah.
Gerakanku menali sepatuku terhenti, sepertinya aku mendengar suara seseorang yang memanggilku. Aku mengernyit, mirip seperti suara Mama. Aku menggelengkan kepala, mana mungkin Mama memanggilku, Mama selalu berangkat ketika fajar usai.
Apa mungkin terlambat bangun pagi juga dapat menyebabkan seseorang halusinasi?
Tapi ternyata telingaku tidak salah dengar. Mama datang dari arah belakang.
Mama memakai celemek bunga-bunga yang bisa kusimpulkan Mama baru saja selesai memasak. Mama tersenyum lembut sambil mengulurkan kantong keresek hitam kepadaku. Tanganku bergerak pelan mengambil kantong keresek itu.
"Hati-hati, ya," kata Mama. Aku hanya mengangguk dan berjalan pelan menuju taksi yang sudah menungguku dari tadi di luar pagar. Aku menyuruh supir tersebut untuk segera melajukan mobil ke kampusku, tak ada hasrat sama sekali bagiku untuk menengok ke arah belakang.
Tanganku bergerak, sibuk membuka ikatan pada kantong keresek yang tadi Mama berikan padaku. Aku sanghat penasaran apa isinya.
Dan ternyata isinya adalah kotak bekal berwarna ungu anggur. Aku membuka tutup bekal tersebut, omelette dengan nasi putih. Apa Mama yang membuatkannya untukku? Mengingat tadi Mama juga memakai celemek.
Aku tersenyum kecil, omelette-nya agak gosong di bagian pinggirnya. Melihat hal tersebut aku tahu seberapa keras Mama berusaha membuatkannya untukku.
Dengan gerakan perlahan aku menyendok suapan pertamaku. Omelette-nya terasa hambar. Hatiku bergemuruh, mataku mulai memanas. Aku mengusap air mataku, aku menangis dan mengunyah makanan dengan bersamaan.
"Mbak, mbak nggak kenapa-napa, kan?" tanya Pak supir melihatku menangis dari kaca mobil. Aku menggeleng dan menyeka air mataku, mengatakan tidak apa dan focus saja menyetir walaupun wajah Pak supir tersebut masih cemas. Aku melanjutkan menghabiskan makananku lagi.
Aku teringat kata-kata itu.
Kata yang kemarin sempat Tante Ririn ucapkan kepadaku.
...Nggak ada orang tua di dunia ini yang nggak sayang sama anaknya. Yang ada cuma orang tua dan anak yang saling salah paham...
Hari ini aku sadar akan sesuatu...
Aku salah.
Mama peduli denganku.
***
Kebaya berwarna merah marun melekat pada tubuh rampingkuku. Dengan rambut yang sudah kusanggul rapi, aku duduk di kursi barisan paling belakang sendiri dengan persaan yang bercampur aduk dalam hatiku. Antara senang, haru, dan cukup cemas juga. Karena hari ini adalah hari wisudaku.
Aku menatap Mai yang duduk di sebelah kananku. Mai mengenakan kebaya berwarna putih dengan hijab yang warnanya senada. Hari ini Mai terlihat anggun dengan polesan sederhana pada wajahnya.
Sebelumnya ketika aku baru memasuki ruangan dan melihat Mai mengenakan baju serba putih, aku sempat menahan tawaku ketika melihatnya. Dibandingkan akan menghadiri wisuda, Mai lebih mirip seperti akan melangsungkan acara ijab kabul.
"Maa syaa Allah. Kamu cantik banget, An. Kayak model iklan sampo di TV sumpah," puji Mai dengan wajah berbinar. Aku melotot mendengarnya, enak saja aku disamakan dengan model iklan sampo. Jelas saja aku lebih cantik daripada mereka!
Mai tertawa kecil, kemudia dia mulai menceritakan banyak hal sekaligus dan terus saja menerocos daritadi, tetapi tidak ada satu pun dari perkataannya yang kutanggapi.
Mataku mengamati sekitar, aku menengok ke arah belakang tempat dudukku mencari seseorang yang kuharapkan kehadirannya di acara wisudaku kali ini.
Yaitu, Mama.
Dengan pelan aku memeriksa barisan orang tua yang tempat duduknya berada di belakang kami. Berharap Mama ada di salah satu kerumunan orang tua tersebut. Namun nyatanya nihil. Aku mengembuskan napas berat ketika tidak menemukan Mama di sana, itu artinya Mama tidak menghadiri acara wisudaku.
Aku menundukkan kepalaku dan menyeka sudut mataku dengan tangan kananku. Kini aku mencoba untuk bersikap lebih dewasa lagi. Setidaknya jika Mama tidak hadir, pasti Papa melihat putrinya di wisuda walau dari surga sana, bukan?
Mungkin Mama sedang sibuk? Mungkin Mama sedang ada urusan mendesak? Mungkin pekerjaan Mama memang tidak dapat ia tinggalkan walaupun sejenak untuk menengok putrinya di wisuda? Sekarang aku mencoba mengumpulkan semua pikiran positif agar aku tidak terlalu sedih. Tetapi entah mengapa rasanya seperti tidak bisa. Aku menggigit bibir bawahku.
Atau mungkin Mama memang benar-benar tidak peduli?
Sekian lamanya rentetan acara wisuda berlangsung tetapi rasanya seperti biasa saja bagiku, tidak ada momen mengesankan sama sekali, berbeda dengan teman-temanku yang tertawa sangat bahagia dan merasa lega karena sudah menjadi sarjana. Dan rasanya hari ini seperti hari paling buruk dalam hidupku.
Ketika acara sudah selesai dan aku hendak keluar dari ruangan ini, mataku memeriksa lagi menyisir kerumunan orang tua siswa untuk kedua kalinya. Berharap apakah Mama ada di sana, tapi ternyata tetap saja tidak ada.
Aku menatap beberapa temanku berhambur ke keluarga mereka masing-masing, saling berpelukan satu sama lain. Aku dapat menangkap binar kebahagiaan yang terpancar dari kedua bola mata orang tua mereka.
Sebut saja Mai, yang saat ini tampak malu-malu diciumi oleh kedua orang tuanya. Sedangkan aku? Terlihat paling mengenaskan sendiri.
Bahkan orang tua Mai yang tinggal di desa saja mati-matian menyewa bus untuk membawa rombongannya dari desa demi melihat Mai di wisuda. Sedangkan orang tuaku yang rumahnya masih satu kota saja tidak datang.
Sudah sejak SMP Mama tidak pernah mengambil raporku, seharusnya aku sudah biasa bukan dengan situasi itu? namun entah mengapa aku hanya berharap kali ini Mama hadir. Tidak perlu muluk-muluk memberiku pelukan hangat seperti yang orang tua lain lakukan kepada anak mereka. Apalagi berlebihan berharap Mama mencium pipiku seperti yang orang tua Mai lakukan kepada putrid mereka. Aku hanya berharap Mama hadir di sini. Itu saja.
Aku menarik napas dalam-dalam kemudian menyandarkan punggungku di tembok, rasa dingin dari tembok ini seperti seolah-olah dapat menembus kain kebayaku. Aku seperti orang yang paling kesepian di tengah lautan orang-orang yang sedang berbahagia ini.
Aku mengusap sikuku pelan. Kini aku mulai berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Aku sudah lulus, aku sudah dewasa, dan tidak seharusnya aku berpikiran melankolis seperti itu.
Aku kuat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 258 Episodes
Comments
࿇ωΐຮε࿐🅟🅖 ✈️
aku terharuuu 😭😭😭😭
2022-04-13
0
ᴿᶠChenta🍹
🤧
2021-12-02
1
Umi Salamah
ak jg nggakpernah rapotku diambil ortu tp ak nya biasa aja......ngerti memang ortu sibuk cari duit bahkan dulu pernah bayar tukang becak suruh ambil raport
2021-07-14
0