Hubunganku dengan Mama mulai membaik, tetapi kondisi finansial kami mulai memburuk. Setelah sebulan lamanya, kurasa keuang Mama mulai menipis.
Aku tidak percaya jika ternyata Mama sudah resign dari pekerjaannya. Memang akhir-akhir ini kami sering menghabiskan waktu bersama, diantaranya liburan bersama, membeli bahan masakan bersama di supermarket dan memasak bersama. Atau bahkan melakukan hal-hal kecil bersama seperti menonton acara gossip di televisi.
Tapi aku tidak tahu jika Mama ternyata resign karena Mama hanya mengatakan kepadaku jika Mama sedang cuti panjang dari kantornya.
Aku mengintip Mama dari balik pintu kamarku. Mama terlihat sedang duduk di sofa dan tangannya sibuk melingkari lowongan pekerjaan di koran harian.
Kenapa Mama mau-maunya resign dari pekerjaanya? Aku benar-benar tidak habis pikir tentang hal itu.
Dengan langkah pelan aku mendekati Mama, tetapi langkahku terhenti ketika aku mendengar suara ketukan dari pintu rumah kami.
"Biar Mama aja yang bukain," kata Mama sambil beranjak dari tempat duduknya. Aku mengangguk. Aku melihat ternyata seorang lelaki dengan pakaian formal yang bertamu. Wajah lelaki tersebut tampak tidak bersabat sama sekali, dia langsung berkacak pinggang tepat setelah Mama membukakan pintu untuknya.
Perut laki-laki itu buncit, badanya gendut, matanya yang sipit dihiasi kacamata minus—sepertinya dia keturunan Tionghoa. Sedangkan Mama hanya memijit keningnya ketika melihat lelaki itu.
"Lu olang benel-benel gila! Lu olang resign tanpa kasih kabar. Lu olang tau? Si bos malah besar sama oe. Oe disuluh ke sini njemput lu olang biar balik lagi kerja di sana!" Lelaki tersebut marah-marah tidak jelas dengan aksen Cina yang sangat kental. Aku hanya diam sambil menyimak percakapan Mama dengan lelaki tersebut dari kejauhan.
"Aku nggak bisa Jonas. Aku udah resign! kamu tahu sendiri, kan, kalau aku nggak mau, ya, nggak tetep mau."
"Lu olang kerja di sana udah hampir delapan tahun! Lu olang, kan, mau naik jabatan dan naik gaji, tapi kenapa malahan resign, sih? Pusing pala oe ditanyain si bos! Lu itu aset pelusahaan kita. Lu olang kerja paling rajin, berangkat paling pagi. Terus tiba-tiba main resign aja!"
Kini aku semakin merasa tambah bersalah mendengar fakta dari mulut teman Mama. Apa Mama resign karena aku, ya? Karena dulu aku sering mengatakan Mama adalah orang tua yang tidak memiliki waktu untuk anaknya. Mama si gila uang. Aku menutup mulutku. Astaga! Dulu aku jahat sekali.
"Nggak bisa, ya, nggak bisa! Udah sana pergi! pusing aku!"
Dengan jengkel Mama melipat tangannya membuatku tersenyum geli, Mama persis sekali seperti diriku jika sedang marah.
"Oke, dengelin oe. Lu olang katanya bakalan dinaiki gajinya jadi dua kali lipat karena lu olang udah kerja lama di sana. Dua kali lipat!" kata Jonas ambil menaikan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk angka dua. Orang itu masih mencoba membujuk Mama agar mau kembali ke perusahaanya dulu.
"Aku nggak bisa Jonas," kata Mama sambil mengembuskan napas lelah.
"Terus oe siapa temennya di sana? Cuma lu olang yang deket ama oe. Balik, lah, lu olang ke sana. Lu olang digaji tinggi, apa lagi yang lu olang cali, sih, sebenelnya?"
Mama terdiam sejenak. Embusan napas berat keluar dari mulutnya.
"Aku... aku pengin punya banyak waktu bareng anakku, Nas. Ini bukan masalah gaji. Kamu tahu sendiri, kan, perusahaan kita selalu kerja rodi dan jarang cuti. Aku nggak pernah ada waktu buat keluargaku karena selalu sibuk kerja, Jonas. Aku pengin nyari tempat kerja dengan jam kerja yang normal kayak orang kantoran yang lainnya."
Tuh, kan, benar apa kataku tadi! Ini semua karena diriku! Sekarang aku merasa sangat bersalah lagi.
"Tap—" perkataan si Jonas terhenti.
"Dua kali lipat gaji yang bakal mereka kasih ke aku, itu senua nggak bakalan bisa beli kasih sayang dan waktuku buat anak aku. Dulu aku pernah buat kesalahan fatal yaitu cuma ngejar uang. Aku nggak mau ngulang itu lagi, Nas."
Sial, siapa yang mengiris bawang! Bahkan aku merasa mataku saat ini berkaca mendengar hal tersebut. Ingin rasanya aku memeluk Mama dan mengatakan aku sangat mencintainya.
"Ya, udahlah! pusing pala oe. Lu olang kalau mau balik, ya, buluan balik ke sana. Daripada nanti ada karyawan baru yang gantiin posisi lu olang. Dah lah, oe mau pulang," kata si Jonas tersebut sambil melambaikan tangannya berpura-pura merajuk kepada Mama kemudian Jonas berbalik badan dan berlalu meninggalkan Mama yang masih diam berdiri di depan teras.
Ketika Mama sudah selesai, aku langsung menghampiri Mama. Mengintrogasi Mama dengan berbagai pertanyaan.
"Mama resign? Kok, Mama nggak bilang sama Anha, sih, Ma? Mama seharusnya jangan resign, dong. Kan, Mama bakalan naik jabatan," kataku membombardir Mama.
"Aduh, kamu itu ternyata bawel, ya. Pusing kepala Mama dengernya."
Mama tidak memedulikanku yang heboh sendiri, malahan Mama saat ini sedang berakting memegangi keningnya seolah sedang migren dadakan. Aku menekuk wajahku. Menyebalkan! Aku, kan, sedang serius.
"Tapi, Ma—"
"Udah jangan tapi-tapian mulu, sana kamu buatin Mama es teh. Haus tenggorokan Mama habis debat sama si Jonas."
Kini Mama gantian memegang majalah dan mengabaikan korannya. Aku mendengus sebal dan berjalan ke arah dapur untuk membuatkan Mama es teh.
Menjelang sore hari aku hanya diam melamun saja di kamarku. Aku harus mendapatkan pekerjaan untuk membantu keuangan Mama. Sebenarnya aku sudah mengirim banyak lamaran ke perusahaan tetapi belum ada satupun yang menghubungiku untuk interview.
Aku membuka Watsapp-ku, mencoba mengirimi pesan ke teman-temanku, siapa tahu mereka memiliki lowongan.
Mai: Kemarin di tempatku buka lowongan, An. Tapi sekarang udah dimasuki orang
Aku mengembuskan napas membaca pesan dari Mai.
Kemudian aku membaca pesan dari Lidya—temanku waktu SMA dulu.
Lidya: Aku ada lowongan. Mau?
Aku tersenyum membaca pesan tersebut.
Lidya: Kamu temui aku aja di hotel Patra. Nggak enak ngobrol panjang di chat, An.
Senyumku mengembang, aku langsung bergerak cepat mengambil tas kecilku yang berada di atas meja dan bersiap menemui Lidya.
Tapi kenapa Lidya menyuruhku untuk menemui dirinya di hotel? Apa jangan-jangan dia miliki pekerjaan untukku yang berkaitan dengan perhotelan? Aku mulai menebak-nebak selama di perjalanan. Apakah nantinya aku akan menjadi resepsionis hotel? Ataupun menjadi administrasi di hotel?
Dan sampailah aku di hotel ini, sebelumnya Lidya menyuruhku untuk menunggunya di lobi hotel. Aku mengamati sekitar. Hotel ini memang terkenal sebagai hotel bintang lima. Hanya orang elite yang biasanya menginap di sini. Seperti orang-orang kaya ataupun para DPR yang singgah di hotel ini. Aku juga melihat beberapa lelaki yang mengenakan setelan jas lewat ataupun memesan room pada resepsionis.
Hebat sekali Lidya bisa bekerja di sini, batinku dalam hati. Bagaimana tidak? Lidya yang tamatan SMA saja bisa bekerja di tempat elite seperti ini. Irinya.
Anha: Lid, kamu di mana? Aku udah sampai.
Lidya: Udah sampai? Tunggu bentar, ya. Nanti aku turun ke bawah. Hehe.
Anha: Iya. Cepetan, ya.
Lidya: Oke.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 258 Episodes
Comments
Y.S Meliana
jd curiga sm Lidya 🙄
2021-06-22
0
Heni Husna
jujur lebih baik , walau pun akn sakit , awal nya tp kedepan nya akn lebih tenang,good thor hebat banget karya mu😍💪👍👍💋
2021-05-21
0
Laras Kasih
Ini mah jadi PSK kali kerja dihotel. Secara body anna kan menunjang bgt
2021-04-10
1