Ray banyak mengunggah fotonya dengan istrinya. Ray tertawa sangat lebar seolah menikmati pernikahan mereka berdua. Tidak ada gurat terpaksa sama sekali di wajahnya.
Aku membaca salah satu caption di bawah fotonya.
[ ]
Ray Pambudi
Like 245
Aku sangat bersyukur memiliki dirimu dalam hidupku. –M
Aku menangis membaca tulisan itu. Padahal terakhir kali dia mengatakan bahwa dia hanya mencintaiku seorang. Mai yang melihatku menangis dan mengetahui apa penyebabku menangis hanya mengusap pelan pundakku.
"Nggak pa-pa, An. Pasti Allah bakalan ganti dengan yang lebih baik lagi."
Aduh sialan, aku ini sedang sedih, aku membutuhkan kalimat motivasi bukan kalimat dakwah darinya. Aku memblokir akun Ray, kemudian aku menutup akun Instagramku. Kini aku berganti membuka akun Watsapp-ku.
Adi: An, kalau aku ngomong suka ke kamu. Menurut kamu gimana?
Adi: Anha? Apa Mai udah ke sana? Bales, dong, Please.
Adi: Maaf, ya, kamu harus repot buat presentasi. Abisnya mereka bakalan lapor ke dosen kalau kamu nggak ikutan buat presentasi.
Itu semua pesan dari Adi sejak kemarin sampai hari ini. Tidak ada satu pesan pun yang aku jawab karena aku memang tidak tertarik membalas pesannya.
Adi: An, bukain pintu dong, aku di luar, nih.
Aku mengerutkan keningku ketika membaca pesan tersebut. Mana mungkin dia tahu alamat rumahku?
"Kamu ngasih tahu Adi alamat rumahku?" tanyaku ke Mai yang masih sibuk melanjutkan mengetik presentasi karena hanya Mai-lah yang kuberitahu alamatku. Mai menggeleng dan mengatakan dirinya tidak memberitahu alamat rumahku ke siapapun.
Aku berjalan ke arah pintu, dan benar saja Adi sudah ada di depan membuatku terheran-heran.
"Kok, kamu tahu alamatku?" tanyaku dengan wajah keheranan sambil mempersilakan dia masuk ke dalam.
"Aku bahkan tahu semuanya tentang kamu, An."
Aku memutar bola mataku mendengarnya. Sudah ribuan kali aku mendengar kalimat gombal dari para lelaki jadi tidak ada satu pun yang mempan terhadapku.
"An, aku pengin ngomong sesuatu sama kamu," katanya terputus sambil melirik ke arah keberadaan Mai. "Tapi cuma berdua aja," lanjutnya. Aku dan Mai paham dengan maksud Adi.
"Yaudah ayo ngomong di kamar aku." Aku menggandeng tangan Adi.
"Eh, jangan. Kalian, kan, bukan mahram. Ngomong aja di sini, aku bakalan pura-pura nggak denger, kok. Kalau kalian ngomong berduaan itu yang ketiganya setan, lho. Apa lagi di dalem kamar, nanti takutnya terjadi apa-apa."
"Kamu setannya!" kataku ketus sambil menarik tangan Adi. Kami berdua masuk ke dalam kamar mengabaikan ustadzah Mai yang berteriak-teriak memanggil namaku sambil ber-istighfar. Aku memutar bola mata. Ya ampun orang itu!
Aku mengunci kamarku siapa tahu Mai akan melakukan hal gila seperti mendobrak pintu kamarku, mungkin?
"Mau ngomong apa?" tanyaku sambil menyilangkan tanganku di depan tubuhku. Menatap wajah Adi.
"Kok, kamu nggak bales WA-ku, sih?"
"Tadi aku sibuk ngetik tugas," jawabku.
Kini tangan Adi meraih jemariku. Kemudian ia genggam erat. Adi menatap dan mengunci pandangannya kepadaku.
"An, sebenernya aku udah suka sama kamu sejak semester satu. Tapi aku cuma diem karena dulu kamu masih pacaran sama Ray. Tapi sekarang aku ngeberaniin diri buat ngomong ini sama kamu," sejenak Adi menghentikan perkataannya kemudian menghirup udara dalam-dalam dan mengatakan, "Kamu mau nggak jadi pacarku?"
Aku masih terdiam. Berpikir sejenak, aku harus memberikan jawaban apa untuknya? Aku tidak memiliki rasa apupun dengan Adi. Terlebih dia tidak sekaya Ray. Setahuku orang tua Adi hanyalah pegawai honorer. Aku tidak pernah mempermasalahkan wajah dalam hal percintaan. Asal lelaki tersebut kaya raya dan memberiku apapun aku tidak masalah.
"Please, An. Aku janji bakalan bahagiain kamu."
"Aku nggak mau punya cowok yang biasa aja, Di. Kamu tahu sendiri, kan, gaya hidupku kayak apa? Aku maunya sama cowok yang kaya. Harga bedak itu sepuluh kali lebih mahal daripada harga sembako, Di. Harga perawatan aku mahal dan jutaan. Dulu cowokku yang bayarin semuanya waktu aku perawatan di salon..." Aku menarik napas sejenak, "Cewek cantik itu mahal!" tambahku mengakhiri perkataanku.
Adi terdiam mendengar perkataanku yang terkesan kasar dan blak-blakan tersebut. Terserah dia berpikir aku ini cewek matre atau apa. Memang makan cinta bisa kenyang?
Tapi kupikir Adi akan menyerah. Ternyata dugaanku meleset jauh.
"Nggak papa, kok, An. Aku bakalan usahain apapun demi kamu, An."
Wah, gila sekali. Dia benar-benar tangguh juga, lelaki memang akan tumpul otaknya ketika mereka sedang tergila-gila kepada wanita.
Aku menimbang-nimbang sejenak. Lagi pula tidak ada salahnya menerima Adi. Enak saja Ray bahagia dengan pernikahannya sedangkan aku masih belum bisa move on darinya!
"Iya, aku mau," kataku asal. Senyum Adi mengembang ketika mendengar jawabanku, kemudian Adi memelukku erat.
***
Seperti rutinitasku di pagi hari. Aku berjalan ke ruang makan untuk mengambil uang seratus ribu yang biasanya ditindih gelas kosong yang ditinggalkan Mama sebelum Mama berangkat kerja.
Namun dahiku mengeryit ketika aku membuka tudung saji tersebut ketika melihat terdapat banyak makanan di atas meja makan. Nasi di bakul, lauk ikan dan ayam goreng, sayuran, serta buah-buahan. Semuanya lengkap. Jari telunjukku menyentuh wadah sayur dan terasa panas, berarti masakan ini baru matang.
Luar biasa! Ini pemandangan yang tidak biasanya terjadi. Sungguh, setelah bertahun-tahun aku hidup, aku sama sekali tidak pernah menemukan makanan selengkap ini di meja makanku. Karena sejak aku SMP, Mama hanya memberiku uang jajan yang ia tinggalkan di bawah gelas kosong sebagai ganti uang makanku. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Membalik piring dan mengambil nasi serta lauk pauk dengan pikiran yang masih bertanya-tanya.
Ketika aku sedang asyik menyantap makananku, Bik Dar datang dari arah dapur sambil tersenyum semringah ke arahku.
"Gimana, Neng? Enak, kan, masakan Bibi?"
Aku mengangguk, kemudian tersenyum menyengir sambil masih mengunyah makananku.
"Tumben Bibi masak? Biasanya nggak pernah masak," kataku sambil memasukkan suapan berikutnya ke mulutku. Masakan Bik Dar memang lezat, bahkan aku seperti pengemis yang mengaku sudah tidak makan tiga hari ketika menikmati makanan ini.
"Iya, Neng. Disuruh Ibuk."
Mendengar hal tersebut gerakan mengunyahku memelan. Benarkah Mama yang menyuruh Bik Dar? Ada angin apa sampai Mama peduli denganku? Apa ini hari ulang tahunku? Aku rasa tidak. Ah, bodo amatlah, daripada memikirkan hal-hal tidak berguna, lebih baik aku menikmati makanan ini saja.
Sejak SMP aku memang sudah tidak pernah lagi merasakan bagaimana rasa asam manis masakan buatan Mama. Mama hanya sibuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Mama berangkat pukul enam atau setengah tujuh pagi sebelum aku bangun tidur. Kemudian Mama pulang pukul setengah sepuluh malam karena harus ambil lembur. Mama hanya sibuk memikirkan materi dan materi saja.
Di otak Mama mungkin hanya berisi tentang uang, uang, dan uang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 258 Episodes
Comments
Wulan Juna
cerita nya berbelit belit.. katanya udah nikah.. tp masih hubungan sma orang lain
2021-07-15
0
Faradilla
lah emak lu banting tulang buat menuhin segala kebutuhan love dodol... bukannya bersyukur masih punya emak yg mau kerja nafkahin elo.. lah kalo Lo dibuang dijalan atau di panti kan nyaho lu... gadis berpikiran sempit... gak ngerti definisi kata bersyukur 😩😩😩
2021-07-09
0
Y.S Meliana
harga bedak 10 kali lipat mahal'y dari harga sembako 😁😁😁
2021-06-22
0