"Sendirian?"
Suara barito barusan menyadarkanku dari lamunanku. Aku otomatis menatap lelaki yang saat ini sedang berdiri di depanku dengan senyum mengembang di bibirnya. Lelaki itu adalah Adi. Dengan ramah aku membalas senyumnya. Setidaknya aku tidak terlalu menyedihkan karena sekarang aku memiliki teman ngobrol sebelum pulang ke rumah.
Adi meneliti penampilanku dari ujung kaki sampai atas tubuhku membuatku tersipu.
"Hari ini kamu cantik. An"
Aku tersenyum mendengar pujiannya. Dia mengulurkan sebuket bunga mawar merah kepadaku. Mawar yang begitu indah dan cantik.
Tanganku terulur menerima buket bunga tersebut. Kemudian aku menghirup aroma wangi dari mawar itu. Ini indah.
"Makasih."
Adi mengangguk dan tersenyum.
"Apa kabar?"
"Baik," balasku. Kemudian Adi terdiam sejenak. Begitulan percakapan akward antara kami berdua. Mungkin dia canggung dan tidak tahu hendak berkata apa lagi. Sejak kami berdua ketahuan Mama kala malam itu, aku tidak pernah lagi menghubungi Adi. Aku menjauhinya sebisa mungkin. Dan tentunya setelah malam itu, hubungan kami berdua selesai.
"An..." kata Adi pelan, kemudian dia menatapku lamat-lamat. Ada rasa sedih yang terselip di tatapan matanya.
"Ya?"
"Sayang banget, ya, An, kita udah putus. Padahal aku pengin ngenalin kamu ke orang tuaku, An."
Aku hanya mampu terdiam mendengar perkataan tersebut. Mataku melirik ke arah belakang tubuh Adi dan menangkap seorang wanita paruh baya beserta pasangannya yang berada tak jauh dari tempat kami berdiri, pasangan suami istri tersebut beberapa kali melirik ke arah kami, bisa kusimpulkan pasti mereka adalah kedua orang tua Adi.
"Nggak papa, Di. Kamu pasti nanti dapet pasangan yang lebih baik daripada aku, kok," kataku menghibur hatinya. Aku tidak tahu dia menaruh harapan setinggi itu kepadaku.
"Tap-"
"Kita masih bisa temenan sampai kapanpun, kok, Di."
Adi mengembuskan napas berat. Hening beberapa saat di antara kami.
"Boleh peluk?" tanyanya meminta persetujuanku. Aku tersenyum, kemudian mengangguk. Aku yang pertama kali memeluk Adi. Mungkin ini akan menjadi pelukan perpisahan antara kami berdua. Kami kenal baik-baik, maka kami pun harus putus dengan cara baik pula.
"Maafin aku atas waktu itu, An. Aku nyesel. Aku juga malu sama Mama kamu karena udah kayak gitu ke kamu," bisik Adi pelan tepat di telingaku.
"That's Ok."
Aku mengusap bahunya pelan. Setelah itu Adi berpamitan untuk pulang. Aku mengangguk. Satu per satu orang-orang pulang meninggalkan gedung ini, beberapa diantaranya memilih menetap sejenak untuk berfoto bersama keluarga mereka masing-masing. Aku berjalan pelan keluar dari gedung ini. Aku ingin pulang.
Tiba-tiba langkahku terhenti ketika baru saja menuruni anak tangga gedung ini, mataku membulat menangkap seseorang yang berlari menghampiriku dengan napas tersengal.
"Ya, ampun. Mama telat banget, ya? Acaranya udah selesai? Maaf, ya, Mama telat," kata Mama sambil memegangi dadanya dan mencoba menetralkan napasnya yang terengah-engah. Mama mengusap pelipisnya yang dibanjiri keringat sebesar biji jagung, kemudian Mama membetulkan kacamatanya.
"Ma-Mama," kataku terbata. Tubuhku masih kaku mematung tidak percaya jika orang yang saat ini sedang berdiri di depanku adalah Mamaku sendiri. Pasti aku sedang mimpi, kan?
Apa aku tidak salah lihat?
Mama tersenyum, kemudian menangkup wajahku dengan kedua tanganya. Bahkan rasanya aku dapat merasakan kehangatan mengalir dari telapak tangannya yang menyentuh pipiku saat ini.
"Anak Mama bener-bener cantik. Mirip kayak Mama," puji Mama dengan mata berbinar, tetapi aku masih saja terdiam-mungkin karena aku masih syok. Benarkah ini adalah Mama? tanyaku dalam batin untuk kedua kalinya. Mataku memanas, rasanya ingin aku menangis saat ini juga.
Mama peduli denganku.
"Mama."
Aku memeluk tubuh Mama erat, tangisku pecah di pelukan Mama. Rasanya sudah berapa lama sejak kecil aku tidak memeluk Mama. Aku tidak peduli dengan orang-orang yang masih di gedung dan mungkin sedang melihatku dari kejauhan.
"Loh, kok, nangis. Jangan nangis, Sayang. Nanti maskara kamu luntur," kata Mama mencoba untuk menghiburku.
Ini bukan mimpi. Mama peduli denganku, Mama menyayangiku. Dia mau meluangkan waktu untuk melihatku di wisuda--meskipun Mama datang terlambat.
***
"Kita nggak pulang ke rumah dulu, Ma?" tanyaku ketika melihat Mama yang menyuruh supir taksi untuk berjalan terus ke depan melewati jalan yang seharusnya menuju rumah kami. Aku agak mendongak untuk melihat Mama yang hanya tersenyum sebagai jawaban atas pertanyaanku.
Memang sejak pulang dari acara wisuda aku selalu bergelayut manja di lengan Mama. Mengabaikan Pak supir yang menahan senyuman ketika melihatku yang manja kepada Mama dari kaca spion tengah. Mungkin Pak supir tersebut beranggapan bahwa aku terlihat kekanakan sekali. Ah, Peduli amat tentang penilaian orang lain, apa salahnya jika orang dewasa mengungkapkan bahasa kasih sayang kepada orang tua mereka?
"Mama lagi pengin jalan-jalan sama kamu seharian. Kita, kan, nggak pernah keluar bareng selama ini."
Aku tersenyum mendengarnya. Ini benar-benar hadiah kelulusan yang terbaik dari Tuhan. Kami tiba di salah satu mal yang letaknya di pusat kota.
Mama menyuruhku memilih baju apa saja yang aku suka dan menyuruhku segera ganti baju karena aku masih mengenakan kebaya sejak pulang dari acara wisuda tadi.
"An, ini kayaknya bagus, deh. Kita beli aja, ya, yang ini. Kamu couple-an sama Mama, ya?"
Aku melihat Mama yang antusias memilih baju polos berwarna putih dengan gambar hati merah besar di tengahnya. Aku pasrah dan mengiyakannya saja keinginan Mama. Walaupun itu agak childish, sih. Hehe. Mama memutuskan membeli dua baju sama persis itu dan melakukan pembayaran.
Aku tertawa ketika melihat Mama keluar dari bilik kamar mandi dan sudah mengenakan baju yang sama persis seperti yang sedang kukenakan saat ini.
Bagaimana tidak aku tertawa. Baju couple biasanya di gunakan untuk pasangan kekasih yang sedang dimabuk cinta, tetapi kali ini yang memekai adalah pasangan anak dan ibu.
Setelah itu Mama mengajakku membeli sepatu. Dan tentu saja semuanya GRATIS! Karena Mama yang membayari ini semua. Aku membeli dua flat shoes berwarna krem dan satu sneakers untuk hang out.
"Mama serius mau ambil itu?" tanyaku terheran-heran ketika Mama mengambil high hels dengan hels setinggi sepuluh senti. Mama tidak menggubris perkataanku dan sibuk mengancingkan tali di belakang hels tersebut. Aku memijit keningku, ternyata Mama lebih gaul daripada diriku ini.
"Gimana? Cantik nggak?" tanya Mama setelah mengenakan high hels setinggi sepuluh senti itu. Aku meringis melihatnya. Bagaimana jika nanti Mama encok?
Dengan refleks aku menangkap tubuh Mama yang terhuyung ke depan ketika mencoba berjalan dengan menggunakan high hels tersebut. Kami berdua tertawa dan akhirnya Mama memutuskan untuk membeli flat shoes saja.
Hampir empat jam lamanya kami memutari mal ini, rasanya aku sudah puas berbelanja ini itu, membeli banyak baju dan tas, serta sepatu. Kami juga meluangkan waktu untuk menonton film di bioskop bersama. Dan tentunya Mama yang membiayai ini semua!
Senyum lebarku tidak pernah luntur dari tadi, hari ini benar-benar hari terbaik dalam hidupku. Terima kasih, Tuhan!
"Ini, kan, Anha Days." Begitulah kata Mama.
Kali ini sebelum pulang ke rumah Mama mengajakku untuk mengisi perut kami di salah satu restoran mal sini.
Aku yang memilih tempat duduk, sedangkan Mama yang memesankan makanan.
Dari kejauhan aku mengamati Mama, sosok anggun dan lembut yang selama ini jarang kuperhatikan karena renggangnya jarak antara kami berdua.
Aku mengamati rambut hitam Mama yang selalu diikat rapi dan tampak beberapa helai rambutnya yang berwarna putih terlihat namun ia timpa dengan cat rambut berwarna hitam sehingga hanya ujung kepalanya yang terlihat ubannya samar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 258 Episodes
Comments
Y.S Meliana
mamah'y Anha baik
2021-06-22
0
Heni Husna
terharu😭😭😭😭
2021-05-21
0
Isyeu Lismaya26
ada hikmahnya, mama jd memperbaiki hubungan dg anha
2021-04-29
0