Mau anaknya sudah makan atau belum, kek. Mau anaknya berangkat kuliah atau tidur seharian di kamar, kek. Mau anaknya ditiduri lelaki, kek. Mama mana peduli.
Aku mengembuskan napas dengan kasar, bahkan aku pernah berpikir, kalau seumpamanya aku mati, palingan Mama juga akan tidak peduli dan lebih memikirkan gajinya akan berkurang jika nanti Mama libur untuk mengunjungi pemakamanku.
Delapan setengah tahun yang lalu, tepatnya ketika aku kelas satu SMP. Saat itu Papa meninggal dunia karena kecelakaan mobil. Mama yang dulunya hanya menjadi seorang Ibu Rumah Tangga langsung banting setir bekerja di luar. Bekerja apa saja, asal aku dan Mama bisa makan. Padahal belum genap tiga hari sejak Papa meninggal. Saat itulah awal mula aku mulai marah dengan Mama. Walaupun aku tidak mengungkapkannya secara langsung di depan Mama.
Seharusnya Mama bisa, kan, menunggu seminggu dulu setelah kematian Papa sebelum memutuskan untuk bekerja? Kenapa langsung mencari kerja setelah tiga hari kematian Papa? Bahkan kupingku terasa sangat panas ketika menangkap omongan miring tetangga yang mengatai Mama wanita gila, janda palingan mencari lelaki pengganti suaminya yang meninggal. Dan masih banyak lagi.
Entah aku harus menyumpahi mulut sampah orang lain ataupun menyumpahi Mamaku karena mereka merusak mental anak SMP yang masih lucu-lucunya.
Sejak itulah kehidupanku mulai tidak terurus sama sekali. Aku merasa Mama semakin menjauh. Mama tidak pernah lagi memiliki waktu untukku.
Sudah sering aku menggigit jariku saat acara pengambilan rapor karena Mama tidak pernah datang ke sekolahanku untuk mengambil raporku sama sekali. Alhasil biasanya orang tua temanku yang iba terhadapkulah yang mengamambilkan raporku sekalian, berdrama seolah aku ini anaknya yang lain—anak pungutnya mungkin. Atau terkadang Bik Dar yang mengambilkannya dan berpura-pura menjadi waliku.
Bik Dar terkadang menatapku kasihan. Kadang jika aku terkena demam, Bik Darlah yang berperan ganda menjadi ART dan perawatku.
Seharusnya Mama izin keluar sebentar bisa, kan? Memangnya pergi satu jam dari kantornya akan membuatnya dipecat? Atau akan membuatnya dipotong gaji, begitu? Begitu pun di hari Minggu Mama juga tetap berangkat bekerja. Karena jika Mama berangkat, Mama akan mendapatkan uang lebih yang terhitung lembur per jamnya.
Ah, aku lupa. Kalender di kehidupan Mama itu, kan, warnanya hitam semua. Tidak ada yang berwarna merah. Pun sama jika hari libur lebaran tiba. Mama biasanya memulangkanku terlebih dahulu ke rumah Eyang di Solo. Lalu Mama akan pulang tepat selesai salat 'ied.
Kapan Mama akan peduli kepadaku?
Aku memejamkan mata. Aku lebih baik mengubur dalam-dalam angan-angan kosongku itu.
Aku meminum air setelah menyelesaikan makananku. Bik Dar masih saja berdiri di dekat meja sambil tangannya *** ujung gagang sapu.
"Ada apa, Bik?" tanyaku ketika melihat kegusarannya.
"Anu, Neng. Sebenernya... Sebenernya... Anu..."
Aku mengerutkan kening mendengar perkataan Bik Dar yang membingungkan itu. Anu-anu apa?
"Serius, atuh, Bik!" kataku dengan sebal, penasaran dengan apa yang hendak Bik Dar ucapkan.
"Anu, Neng. Sebenarnya Minggu depan atau depannya lagi, atau depannya lagi... Bibi mau izin sama Ibuk. Mau berhenti kerja. Soalnya cucunya Bibi yang kecil mau masuk SD. Nggak ada yang nganterin dia masuk SD, Neng, karena Mamanya sif pagi," kata Bik Dar dengan wajah sedih. Sama dengan ekspresiku saat ini. Bagaimanapun Bik Dar sudah kuanggap keluargaku sendiri. Mengingat delapan tahun lebih Bik Dar bekerja di rumah ini.
"Terus aku gimana? Bibi tega gitu ninggalin aku? Terus yang beres-beres rumah siapa? Yang nemenin aku siapa?" kataku merajuk seperti anak kecil. Bik Dar hanya terdiam sambil menggaruk kepalanya.
"Bibi janji, deh, Neng. Kapan-kapan Bibi kirimi Neng Anha susu sama roti bakar gosong pakai bluebend," kata Bik Dar dengan wajah yang masih sedih tetapi berhasil membuatku tertawa lepas. Bagaimanapun aku tidak dapat mencegah kepergian Bik Dar. Tapi aku pasti akan lebih kesepian lagi jika Bik Dar pergi.
Ketika aku hendak menaruh piring kotor di ember tempat cucian. Seorang anak kecil dengan semangat berlari ke arahku dan berteriak nyaring sekali.
"KAAAKKK ANHAAAA...!"
"Diego!" balasku berteriak senang, anak kecil itu berlari menghampiriku dan memelukku dengan kuat—lebih tepatnya memeluk kakiku karena dia masih kelas TK dan tingginya hanya sepinggangku. Aku menggendong Diego dan menciumi pipi tembamnya habis-habisan.
"Ke sini sama siapa?" tanyaku.
"Cama Momy, ituh..." Aku tersenyum melihat kelucuannya. Aku memujinya, ternyata dia bisa bahasa Inggris juga. Gaya sekali memakai bahasa Momy segala. Diego menunjuk ke arah pintu yang sedang terbuka. Tante Ririn datang sambil kesusahan membawa tas besar yang diapit di lengannya. Aku hanya menggelengkan kepala. Tante Ririn memang selalu rempong jika datang ke rumahku.
"Akhirnya sampai juga," kata Tante sambil mengusap keningnya yang berkeringat. Mataku membulat ketika menangkap sosok Mama yang berada di belakang Tante Ririn sambil mendorong koper berwarna merah marun milik Tante Ririn.
Benarkan itu Mama? Tidak mungkin! Mengingat selama ini Mama tidak pernah libur sama sekali, aku pasti salah lihat. Tetapi kenyataannya benar, itu adalah Mama yang membantu membawakan koper Tante Ririn.
"Tante mau pindah ke sini?" tanyaku terheran-heran karena barang bawaan Tante Ririn sangat banyak.
"Ya, nggak, lah. Tante bawa koper buat wadah oleh-oleh. Mau shoping dan borong pokoknya. Mumpung lagi di sini."
Aku hanya memanyunkan bibirku mendengarnya. Tante Ririn itu adik dari Mamaku, usia Tante Ririn sendiri saat ini adalah tiga puluh delapan tahun. Dia menikah dengan orang kaya, tinggalnya di perumahan Bukit Cemara, di daerah Semarang.
Maka beberapa bulan sekali Tante Ririn menyempatkan diri untuk datang mengunjungi rumah kami. Biasanya Tante Ririn menginap di sini sekitar dua hari, dan tentunya tak lupa memborong ini itu sampai kopernya penuh.
"Kamu semester berapa? Udah nikah apa belum? Kapan nikah? Alah kamu mana laku," kata Tante Ririn mengejekku.
"Padahal udah cocok, loh, jadi Mama muda gitu bentukannya waktu gendong Diego," lanjutnya mengejekku lagi. Ingin rasanya kulemparkan anaknya ke bawah jika tidak ingat bahwa aku sangat menyayangi adik kecilku yang menggemaskan ini.
"Dia masih semester akhir, Rin. Nanti aja nikahnya habis kuliah," kata Mama menimpali. Mama dan Tante Ririn duduk di tempat makan dan mulai mengambil makanan.
"Kamu udah makan, An?" tanya Mama tanpa memalingkan pandangan pada piringnya dan sibuk menyendok nasi.
"Udah, Ma," jawabku pelan sambil mencium pipi Diego.
"Mama nggak kerja?" tanyaku.
"Mama libur."
Sudah, begitu saja percakapan akward antara kami berdua. Tidak ada percakapan lagi kecuali percakapan antara Mama dan Tante Ririn yang sibuk membicarakan kisah Tante Ririn dengan mertuanya yang jahat.
Jadi...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 258 Episodes
Comments
Ykhayza
baguuus
2022-10-13
0
Sarmini Ujianto
memang cerita yg bgs sy sj mengulang lg bc novel ini memang authornya berkwalitas
2021-07-31
0
Tita
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2021-06-28
0