Laras menoleh, tersenyum yang di paksakan. Mengepalkan tangannya seolah siap menonjok.
Beberapa saat kemudian Ibra berjalan dari kamar mandi. Matanya mencari keberadaan bayangan Laras namun nihil entah kemana dia.
Setelah mengenakan pakaian tidurnya. Malik Ibrahim bergegas turun, dengan niat makan malam. Sampai detik ini ketiga istri Ibra belum juga kelihatan batang hidungnya.
"Eh ... sayang, aku pulang nih," suara Yulia langsung tangannya bergelayut mesra di bahu Ibra.
"Ehem ... gimana kuliah mu, hari ini lancar? kenapa baru pulang jam segini, kemana dulu."
"Lancar, ah ... sayang kenapa sih pertanyaannya curiga begitu,? jadi sedih nih," rajuk Yulia dengan nada manja.
"Ya sudah mandi sana, setelah itu kita makan sama-sama," suruh Ibra menatap tajam kearah Yulia, namun ia mendapat pemandangan aneh dari bagian tubuh Yulia, tepatnya leher Yulia yang sekilas terlihat oleh Ibra. Sebuah tanda merah yang membekas di sana sementara ia sendiri tak merasa membuatnya.
"Tapi sayang masih kangen," menyenderkan kepala di bahu suaminya.
Ibra pura-pura mengusap leher Yulia menyibakkan rambut yang menghiasi disekitar itu untuk meyakinkan dirinya. Benar saja sebuah tanda merah yang masih baru, sementara dia yakin tidak membuatnya. Apa lagi dalam waktu terakhir ini.
Ia berpikir keras, apa arti semua itu? Ibra tersenyum menatap Yulia dan mengecup keningnya. "Sudah mandi dulu sana. Aku tunggu di ruang makan."
"Em ... baik lah," sambil mendengus bau badannya sendiri dengan santainya, dia tidak merasa dicurigai oleh suaminya.
Setelah Yulia meninggalkannya. Ibra lanjutkan langkahnya ke ruang makan +dapur. "Kemana Laras? di suruh melayani suami malah menghilang," gerutu Ibra.
Laras tengah menyiapkan buat makan malam bersama beberapa asisten. Ibra mengulas senyumnya melihat Laras berada di sana.
Merasa ada yang memerhatikan. Laras menoleh di lihatnya Ibra tengah berdiri berpangku tangan dan memandangi kearah dirinya. "Tuan mau makan?"
"Iy," sahutnya sambil mendekati meja makan yang cukup luas itu.
Laras menyiapkan khusus buat Ibra, setelah memberikan piring pada Ibra. Barulah Laras duduk dengan jarak yang agak jauh dari sang suami.
Malik Ibrahim melirik dan menatap Laras dengan heran, Kenapa duduk di sana? bukan kah kursi ini kosong."
"Sa-saya ..." Laras menggantungkan ucapannya. Dari arah lain datang lah Dian yang sudah mengenakan pakaian santai, dibelakangnya Yulia berjalan dengan satu arah menuju meja makan.
"Malam sayang?" sapa Dian pada Ibra tangannya mengusap punggung sang suami, duduk di sebelah kanan. Dan Yulia duduk di sebelah kiri Ibra.
Ibra tak memberi respon apa pun dia fokus dengan makannya. Dalam pikirannya masih terbayang tanda merah di leher Yulia.
"Sayang! malam ini tidur bersamaku ya? secara aku akan pergi beberapa hari ini," ujar Dian sambil memasukan makanan ke mulutnya.
Karena tidak ada jawaban dari Ibra, Dian menoleh nampak Ibra makan sambil melamun. "Sayang?" dengan suara sedikit menghentak.
Seketika Malik Ibrahim menoleh. "Haa ... iya ada apa?"
Dian kesal. "Jadi kamu tidak mendengar yang aku bicarakan?"
"Hah ... emang ngomong apa tadi," sahut Ibra yang memang benar tidak memperhatikan Dian.
Dian menggeleng. "Aku bilang, kamu tidur sama aku ya malam ini. Besok, kan aku pergi," tangannya mengusap rahang Ibra.
"Oh! tidak, malam ini aku akan tidur dengan Laras," sambil melirik Laras yang asik makan.
"Besok malam saja sayang sama Laras nya. Malam ini bersamaku dulu ya?" bujuk Dian.
"Tidak sayang ... kamu pergi bukan untuk selamanya kan?" sambung Ibra.
"Iya sih," sahut Dian mengangguk.
"Mery belum pulang kah?" tanya Ibra menanyakan istri ketiganya.
"Sepertinya belum," sahut Dian disela makannya.
"Hem ..." gumam Ibra kemudian meneguk minumnya.
"Yulia! tadi setelah kuliah kau ke mana?" netra mata Ibra memutar ke Yulia.
Sontak Yulia terkejut kok suaminya curiga sih. "Em ... ke-ketempat kawan sebentar, terus pulang." Yulia sedikit gugup tangan Yulia menarik rambut lurusnya agar menutupi leher.
"Yakin?" tatapan Ibra penuh curiga, sebab dia mencium sebuah kejanggalan.
"Ya-yakin! kenapa kau curiga seperti itu?" Yulia heran.
"Bukan curiga ... cuma bertanya." Ibra santai.
Yulia menjadi tegang setelah melihat sikap Ibra yang sepertinya mulai curiga.
"Aku merasa aneh! semenjak kau menikahi wanita miskin ini sikapmu mulai berubah," menatap tajam ke arak Ibra lalu ke Laras membuat Laras mendongak.
"Buat apa bawa-bawa namaku?" batin Laras.
"Jangan membawa nama orang, pikir saja sendiri mungkin kamu yang menyembunyikan sesuatu dariku, atau apa lah yang aku tidak tahu," ujar Ibra sembari memasukan buah ke mulutnya.
"A-aku tidak menyimpan apa pun." Yulia nampak gugup dan melengos pergi meninggalkan makannya yang belum habis.
Selesai makan. Laras segera pergi ke kamarnya, malas berada di sana. Sebelumnya pamit pada Ibra dan Dian.
Dian memandangi punggung Laras begitupun Ibra. Kemudian Dian menatap Ibra. "Kenapa harus curiga gitu sama Yulia? seakan kamu menuduhnya yang bukan-bukan," ungkap Dian yang tidak menyetujui sikap dari suaminya itu.
"Saya seorang suami. Wajar kalau saya lebih ingin tau apa saja yang istri saya lakukan di luar. Sementara mereka lebih banyak di luaran ketimbang bersama saya," tegas Ibra menatap tajam istri tuanya.
"Ta-tapi--" Dian tidak melanjutkan lagi, dia sendiri merasa tersindir oleh perkataan Ibra barusan.
"Begitupun dirimu, saya harus tahu kau di mana dan bersama siapa. Ngapain saja, saya harus tahu itu!"
"Sejak kapan kau seperti itu?" Dian menjadi tidak mengerti akan sikap suaminya yang dia anggap berubah.
"Sejak sekarang," sahut Ibra singkat.
"Oya! aku akan pergi pagi-pagi, doakan aku ya?" Dian menetap Ibra dengan senyuman khasnya.
"Oke, cuma beberapa hari kan?" tanya Ibra menatap lekat istri pertamanya.
"Iya sayang! aku tidak lama kok, aku akan merindukanmu?" suara manja Dian sambil mengalungkan tangan ke pundak Ibra.
"Ya sudah istirahat sana! agar besok pagi-pagi bangun dengan segar," mengecup kening sang istri.
"Em ... aku kangen," rajuk Dian lalu merangkul tubuh suaminya.
"Iya-iya." Malik Ibrahim melepas rangkulan tangan istrinya.
"Baik lah, aku bobo dulu ya sayang," cup cup cup, mencium pipi Ibra kanan dan kiri tidak lupa bibirnya lama ... menempel saling bertaut, membuat para asisten yang ada di sana merasa canggung sendiri, disuguhi pemandangan seperti itu.
Akhirnya mereka melepas pelukan. Dian pergi ke kamarnya, sementara Ibra masih duduk melamun di tempat.
"Sus ... apa puding yang dibuat oleh Laras masih ada?" menatap Susi yang tengah beres-beres.
Sebelum menjawab, Susi menoleh bu Rika kepala asisten yang berdiri tidak jauh dari situ dan mengangguk. "Ada Tuan, mau saya ambilkan?"
"Ya."
Susi melangkah menuju lemari pendingin dan mengambil puding yang masih tersisa setengah. "Ini Tuan." Susi suguhkan dengan piring kecil dan sendok nya.
"Makasih." Ibra mengambil sendok dan memotong puding, kemudian melahap puding yang dia bilang gak enak itu.
Dalam waktu singkat puding pun habis, dimakan Ibra, setelah yang tersisa piringnya. Ibra beranjak dari duduknya sambil mengusap mulut dengan tisu.
Langkahnya Ibra yang lebar menuju tangga ke lantai empat, terdengar suara yang memanggil dirinya.
"Sayang! mau kemana?" suara Mery yang bergegas menghampiri Ibra.
Langkah ibra pun terhenti dan berbalik badan. " Kenapa baru pulang! dari mana saja? lupa kalau kau punya suami."
"Iih ... sayang? aku sibuk pemotretan," Mery memegangi kedua bahu Ibra sambil menatap wajah tampan suaminya, kakinya berjengket agar dengan mudah meraih wajah Ibra.
,,,,
Hi ... reader ku semua, ketemu lagi ya sama aku di novel ini, yuk dukung aku agar novel ini lebih baik dari karya sebelumnya. Terus ikuti aku, dukung aku ya. Jangan lupa like, komen, rate nya dong, semoga Allah mengganti segala kebaikan kalian dengan yang lebih-lebih Aamiin. Ayok doong bantu aku agar lebih semangat lagi menulisnya.🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 259 Episodes
Comments
Diny Julianti
ko mau siy puny istri byk, dian juga knp santai aja suaminy byk istri
2024-01-10
1
Oyah Oyah
Lanjut
2022-06-02
1
Yunia Abdullah
najis SM laki ngtu celup sana celup sini cwe2 y jg mau az
2022-01-26
2