Laras yang masih tidur, mendengar yang ribut akhirnya perlahan membuka mata Melihat di sekitarnya ada tiga wanita cantik-cantik dan wangi.
Langsung kaget dan terbangun tidak lupa menjepit selimut di bawah ketiaknya. "Kaka-kakak ada apa di sini?" tanya Laras sambil memicingkan matanya. Menatap ketiganya yang sama-sama menyilang kan tangan dan roman wajah yang angkuh.
"Kau, lihat buka mata lebar-lebar. Lihat di luar sudah sangat siang, sebentar lagi juga tengah hari. Kamu masih enak-enakan tidur, bukannya melayani suami, menyiapkan sarapan juga pakaiannya. Molor saja," ketus Yulia sambil jalan mondar mandir.
Laras yang belum seutuhnya sadar hanya mengedip-ngedipkan matanya. Seolah mengumpulkan kesadarannya.
"Woi ... sadar, bangun woi ... sudah siang nih," sergah Yulia menatap tajam Laras yang sok polos.
Laras menggaruk kepalanya. "Iya Kak. Aku bangun dulu, silahkan kalian keluar. Karena aku akan beres-beres," mata Laras menyapu sekitar kamar yang berantakan.
"Beraninya kamu usir kami ya." Meri geram melihat Laras.
"Sudah, kita keluar saja. Biar dia bersih-bersih dan membereskan kamarnya yang seperti kapal pecah ini," Dian bergidik, dia duluan pergi meninggalkan kamar tersebut.
"Huuh ..." Laras membuang napas perlahan, sambil meringis kesakitan di daerah intinya. Tidak buang waktu lagi ia segera memasuki kamar mandi, sudah berasa lengket di badan.
Merilekskan badan dengan cara berendam air hangat di baht hub, wajah Laras nampak kusut. "Aduh gimana nih sakit? gak bisa banyak gerak, lagi-lagi meringis sambil mendongak ke langit-langit.
"Nyonya, apa sedang di dalam kamar mandi?" suara asistennya dari luar kamar mandi, membuat Laras kaget. Membuyarkan lamunan Laras.
"I-iya," pekik Laras dari kamar mandi.
"Saya sudah bawakan buat sarapan nyonya dan obat buat luka nyonya saya simpan di atas meja," lanjut seorang asisten itu.
"Obat, obat apa? luka apa," gumam Laras sambil naik dari bath hub, memakai handuknya.
Kepala Laras nongol dari pintu, melihat-lihat apa ada orang di luar, dan ternyata kosong. Laras segera keluar mendekati lemari pakaiannya.
Namun dia ingat kata asisten ada obat yang di bawakan nya di atas meja sama makanan. Laras hampiri mengambil dan meneliti obat yang berbentuk salep tersebut. "Aku coba aja kali ya." Laras mengoleskan pada tempat yang sakit.
Setelah rapi, ia beres-beres kamar yang berantakan. Mengumpulkan pakaian kotor ke tempatnya, niatnya mau dia cuci sendiri.
"Huuh ... selesai juga beres-beres," gorden pun sudah dia bukakan. "Lapar! makan dulu ah," menghampiri meja yang ada makanan untuknya.
"Permisi nyonya?" suara asisten nya lagi dari balik pintu.
Laras menoleh ke sumber suara dengan mulut penuh dengan makanan. "Iya, siapa..." tanya Laras.
"Saya nyonya, mau ngambil cucian, dan kata Ibu Dian nyonya disuruh turun menemuinya."
"Oya, masuk saja," pekik Laras lagi. Asisten pun masuk untuk mengambil pakaian kotor.
"Permisi nyonya," Susi mengangguk hormat pada Laras, yang menatapnya.
"Iya Sus."
"Nyonya di suruh Nyonya Dian turun, dan di tunggu sekarang juga," menunduk.
"Aih ... aku baru makan nih." Laras dengan cepat menghabiskan makanan di piringnya, membuat Susi melongo melihat Laras makan yang tergesa-gesa, sadar di perhatikan. Laras melirik sambil nyengir yang di tahan karena mulutnya sangat penuh.
Susi pun menahan tawanya. Lalu mengambil cucian yang jadi tujuannya.
Laras meneguk minumnya gelegek-gelegek, "Ha..h, haus nya Alhamdulillah," gumam Laras sambil bersendawa.
Kemudian Laras turun berbarengan dengan Susi. "Meraka di mana sih?" tanya Laras setelah berada dalam lift.
"Di lantai dua nyonya," sahut Susi memeluk tempat cucian.
"Bisa gak jangan kau panggil aku nyonya,? nama atau apa gitu," lanjut Laras lagi.
"Tidak bisa nyonya, kan anda istri dari Tuan kami, jadi sudah sepantasnya kami memanggil seperti itu nyonya," ujar Susi membuat Laras mengangguk.
Akhirnya mereka sampai di lantai dua. Susi menunjukan sebuah ruangan yang Susi bilang kamarnya Dian. Laras menekan bel, terdengar suara dari dalam mempersilahkan masuk, ceklek, kenop pintu Laras putar dan pintu pun terbuka. Sebuah ruangan yang sangat luas dan mewah.
Mata Laras menyapu ruangan tersebut ternyata dalam nya terbagi dari beberapa ruangan seperti kamar. Tempat makan, dapur bersih, bak apartemen saja. Laras tertegun melihatnya. Berdiri mematung sebelum dipersilahkan duduk oleh sang empunya.
Dari balik pintu nampak Dian menghampirinya. Membawa sebuah map. "Duduk kamu, ngapain berdiri di situ?" sambil mendudukkan tubuhnya di sebuah sofa panjang.
Lantas Laras pun duduk di depan Dian. Dian menatap tajam kearah Laras. "Bagus, ternyata dengan mudah kau memberikan kesucian pada seorang laki-laki yang baru kamu kenal," mengangguk dengan angkuhnya.
Laras menunduk, dia masih menduga kemana arah perkataan Dian itu. "Sepertinya suami anda orang yang tidak normal, orang yang kecanduan. Kecanduan, tidak bisa sebentar saja jauh dari wanita," gumam Laras.
"Saya sudah mengubah Surat kontrak menikah yang telah kamu tanda tangani," berpikir sejenak. "Tambahan nya adalah. Setelah anak itu lahir, kamu sama sekali tidak boleh mengakui anak itu adalah anak mu."
"Kenapa?" Laras mendongak heran.
"Sebab anak itu akan menjadi ... anak ku dan Ibra," jelas Dian.
"Terus aku sendiri gimana?" tanya Laras kembali.
"Setelah kau melahirkan, kamu saya kembalian ke asal. Tapi jangan khawatir, saya akan membayar yang setimpal kok," ujar Dian lagi menatap Laras.
"Jadi kontrak saya sebatas sampai melahirkan jika saya hamil?" Laras sedikit bingung.
"Iya, kan kau sudah membacanya, kan surat kontrak itu? ucap Dian dengan tatapan yang sulit diartikan.
Laras bengong, kurang mengerti dan kurang faham tentang kaitan hubungan Ibu dan anak, tapi setidak nya faham akan kaitan pernikahan. "Tapi ... anda jahat sekali nyonya, anda pikir saya mesin pencetak anak, setelah punya anak aku dibuang? oya istri tuan, kan ada tiga sebelum nya, kenapa gak satu pun punya anak?" tanya Laras dengan beraninya.
"Kami belum siap hamil dan melahirkan? Yulia masih kuliah, Meri sibuk menjadi model dan saya sibuk dengan karir saya gak ada waktu untuk mengurus anak," sambil mengibaskan tangan di depan mukanya.
"Terus kenapa kalian menikah? kalau tidak ingin punya anak, kan anda sendiri bilang, bila aku sudah melahirkan, anakku akan kau ambil! lalu siapa yang akan mengurus. Bekankah kalian sibuk dengan dunia kalian sendiri? pake baby siter juga, buat apa kalian ingin punya anak! bila kalian gak mau merawat ...."
Dian melotot dengan sempurna. "Itu lain cerita, dan kami sudah dapat ijin dari suami saya Ibra, jangan coba-coba mencampuri urusan kami, kalau tidak kamu akan tau akibatnya."
Laras menunduk terdiam sejenak, ada rasa takut yang menyelimuti hatinya. "Saya bukan ikut campur tapi heran saja, tuan beristri tiga orang, terus buat apa?"
"Sudah lah, saya malas debat dengan mu, tanda tangani saja segera," menunjuk surat itu.
Laras mendongak. "Apa harus saya menanda tangani lagi? bukan kah waktu itu sudah cukup.?" dengan tatapan kurang mengerti.
"Harus lah, ayok tanda tangan. Jangan buang waktu saya, saya akan berangkat kerja," jelas Dian.
Laras mengambil ballpoint dan menggeser kertas itu. Selesai tandatangan. Laras kembalikan kepada Dian yang menyeringai puas.
,,,,
Terimakasih author ucapkan kepada kalian yang telah sudi mampir di novel yang ini, terimakasih banyak ya, semoga gak bosan, dan suka.🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 259 Episodes
Comments
Ida Hidayati
Laras sarjana kan ?
kok bego sih 🤭😐🤗
2022-04-01
1
Johanah Tata
Lama-lama baca jijik kok sarjana katanya dapat beasiswa tapi begonya naudzubillah....
2022-03-31
1
Yunia Abdullah
pasti ke dpan y s laras yg JD istri satu2 apalgi hamil
2022-01-26
1