Pagi ini, tidak seperti biasanya. Kiran bangun terlambat, saat jarum jam menunjukkan pukul delapan siang ia baru bangun.
"Ah, ya ampun. Bagaimana bisa aku terlambat seperti ini? Pak Sid pasti akan sangat marah padaku." Gumam Kiran sambil secepat mungkin bersiap untuk pergi ke kantor.
Ia mandi dengan waktu yang sangat cepat, karena pasti Sid akan sangat marah atas keterlambatannya hari ini.
...----------------...
Pesawat telepon di meja resepsionis berdering. Cekatan Niki mengangkatnya.
"Hallo. Selamat pa..."
"Kirana mana?!" Sid memotong.
"Oh, pak Sid. Kiran belum datang ke kantor, pak."
"Sudah jam berapa ini?!"
"Jam delapan lebih tiga puluh menit, pak."
"Aku tahu, aku punya jam di ruanganku!"
Niki cemberut.
Yang baru saja menanyakan jam berapa ini siapa?
"Dia bilang, bahwa tidak akan ke kantor?"
"Tidak, pak."
"Kau telpon dia sekarang!"
"Baik, pak."
"Tanyakan padanya, masih ingin bekerja atau tidak?!" Telepon ditutup dari seberang sana.
Niki menghembuskan napas kasar. Bahunya bergidik ngeri, membayangkan semprotan yang akan diterima Kiran, jika nanti dia datang. Niki menghubungi Kiran dengan ponselnya.
"Hallo, Kiran kau dimana?"
"Hallo, Niki! Aku sedang dalam perjalanan."
"Cepat datang, kakek lampir sudah kebakaran jenggot!" Seru Niki sambil bergidik ngeri.
"Baiklah, itu sudah biasa!" Kiran memutuskan sambungan teleponnya.
...----------------...
"Sejak kapan, aku jadi nenek moyangmu?" Tanya Sid, begitu Kiran menemuinya pada saat sudah sampai di kantor.
Jendela ruangan dibiarkan terbuka, hingga angin bebas keluar masuk.
"Maksud anda, pak?"
"Kau bisa seenaknya masuk kerja hanya jika kita berada di kantor nenek moyang. Sejak kapan aku jadi nenek moyangmu?" Sid melipat lengannya di dada. Matanya mengamati Kiran dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Nenek moyang bukan, kau kan laki-laki. Tapi kau juga bukan kakek moyang. Kau adalah kakek lampir! Kiran dongkol bukan main.
"Kau begadang lagi?"
"Tidak, pak." Kiran menggeleng.
"Jujur saja, jangan-jangan kau terlambat masuk karena begadang dengan kekasih barumu?" Wajah Sid sedikit kesal, pada saat mengucapkan kata 'kekasih barumu'.
"Tidak, pak. Aku tidak begadang, dan tidak punya kekasih baru. Aku tidak tahu kenapa bisa bangun terlambat."
"Kiran, kau harus profesional! Jangan terlambat lagi!" Bentak Sid.
Kiran merasa dadanya bergemuruh. Kemarahan meluap di sana. Tidak salah lagi, bosnya ini benar-benar sudah sinting. Sama sekali menyebalkan.
"Saya mengerti, pak."
"Jika kau masih ingin bekerja disini, jangan melanggar peraturan lagi!"
Kiran tak tahan lagi, ia langsung keluar dari ruangan Sid, dan menuju kamar mandi. Pada saat menutup pintu ruangan Sid, Kiran membantingnya dengan sangat keras.
Setelah puas berdiam diri di kamar mandi, ia keluar dan menghempaskan tubuhnya di kursi kerja.
Sialan! Aku pikir kemarin kau sudah berubah, tapi tetap saja kau adalah kakek lampir!
Masih dengan dada bergemuruh, ia mengambil selembar kertas dan sebuah pulpen. Kiran mulai mencoret-coret kertas itu.
Ia menuliskan kata 'Siddharth Kera Albino' sebanyak-banyaknya, setelah seluruh kertas dipenuhi tulisan itu, ia meninggalkan kertas itu di atas meja dan keluar menuju lantai satu.
...----------------...
Sid menunggu selama tiga puluh menit, tapi tidak terjadi apa-apa. Pintu ruangannya tetap tertutup sejak tadi dibanting oleh Kiran. Sid berpikir keras, menimbang-nimbang dan akhirnya menelepon Kiran. Tidak dijawab.
Dengan berat hati, pria itu berdiri dan melangkah memasuki ruangan Kiran. Kosong. Tidak ada siapa-siapa.
"Kemana gadis cerewet itu?" Gumam Sid.
Sid sudah akan kembali, ketika menangkap ada selembar kertas dipenuhi coretan diatas meja Kiran.
Sid mendekati dan meraih kertas tersebut. Didalamnya terpampang sebuah kalimat yang ditulis berulang-ulang. Nama pemberian orang tuanya, diganti oleh Kiran.
"Sekesal ini, ya dia padaku?" Bukannya marah, Sid malah terkekeh melihat tulisan itu.
"Siddharth Kera Albino." Sid mengeja tulisan itu. Beberapa detik kemudian, Sid menyimpan kertas itu di tempat semulanya, lalu berbalik masuk ke ruangannya.
Sid mengeluarkan ponselnya, lalu menelepon Kiran dengan nomor pribadinya.
"Ke ruanganku, sekarang! Jangan membantah!"
...----------------...
Kiran berjalan memasuki ruangan Sid dengan gagah berani. Ia sudah siap jika harus dimarahi lagi oleh Sid. Jendela ditutup, dan ruangan itu hening. Satu-satunya suara yang terdengar adalah derungan mesin pendingin ruangan.
"Pak, anda memanggil saya?" Akhirnya, Kiran memberanikan diri untuk bersuara.
Sid mengambil beberapa lembar brosur dari atas meja, dan menyerahkannya pada Kiran.
"Tolong periksa berkas-berkas itu."
Kiran diam, menunggu memastikan pendengarannya tidak salah. Tidak marah, tidak membentak.
Apa dia memang sudah berubah? Biasanya dia suka menghujaniku dengan kata-kata tajam, yang tajamnya melebihi pedang jika aku salah sedikit saja. Memang aneh, tapi semenjak kejadian iti dia sedikit berubah.
"Kenapa masih berdiri disana? Kau tidak mengerti harus mengerjakan apa?" Sid menelengkan kepala.
"Saya mengerti, pak." Kiran meraih kertas-kertas itu dan memeluknya di dada. "Hmm... Pak, tidak memecatku?"
"Kau ingin dipecat?"
"Ti... Tidak, tentu saja tidak, pak." Kiran meringis. "Maaf, pak. Tadi saya datang terlambat. Saya berani bersumpah, saya tidak tahu kenapa saya bisa terlambat. Saya juga minta maaf, tadi saya membanting pintu ruangan anda." Kiran menundukkan kepalanya wajahnya menghangat, malu. Setelah dipikir-pikir dia merasa lancang sekali.
"Paketan minta maafmu itu, kenapa tidak habis-habis?"
Kiran tersenyum dan salah tingkah.
"Sudahlah, sekarang bereskan pekerjaanmu!"
"Baik, pak. Sekali lagi terima kasih, karena anda tidak memecat saya."
"Mana mungkin aku memecatmu, sangat sulit untuk mencari sekretaris lagi, apalagi pekerjaan sangat banyak sekali."
Kiran tidak menjawab, tapi ia tersenyum. Karena ucapan terakhir Sid tidak serius.
"Saya pamit, pak." Kiran berjalan keluar dari ruangan Sid. Ketika Kiran sudah keluar, Sid menutup laptopnya, lalu menatap pintu ruangannya sambil tersenyum.
"Kiran, Kiran. Kau lucu sekali ya, jika diperhatikan." Gumam Sid sambil terkekeh sendiri.
...----------------...
Di ruangannya, Kiran duduk dengan gelisah. Kiran mendengus kesal, pikirannya tak henti-hentinya memikirkan Sid.
"Aku ini kenapa, seharusnya aku fokus. kenapa malah memikirkan pak Sid?" Tanya Kiran pada dirinya sendiri.
Sebuah ketukan pintu mengejutkannya.
"Masuklah!" Perintah Kiran.
Tenyata yang datang adalah office girl. Dia membawakan secangkir kopi untuk Kiran, sementara Kiran kebingungan.
"Maaf, aku tidak memesan kopi sepertinya?"
"Bu, anda memang tidak memesannya. Pak Sid yang memintaku mengirimkan kopi ini untuk anda." Jawab office girl yang diketahui bernama Ira tersebut.
"Pak Sid? Baiklah, terima kasih." Ira mengangguk, lalu melangkah keluar dari ruangan Kiran.
Di bawah cangkir kopi itu, terdapat selembar surat. Kiran mengambilnya, lalu membukanya.
Minum kopinya, atau aku memecatmu!
Kiran meringis membaca surat itu. Dalam surat saja, ancamannya masih bisa membuatnya ketakutan.
"Dasar bos gila! Galak! Tapi, kau sangat tampan, tidak apa-apa! Walaupu kau galak, tapi jujur saja semua kriteriamu adalah idamanku." Gumam Kiran.
Kiran mengangkat cangkir kopi itu dan meminum kopinya.
Bersambung...
Cieee... diam-diam nih ya Sid udah mulai suka sama Kiran. Kiran juga ternyata diam-diam mengidamkan Sid! Hayooohhh.... Jangan lupa vote dan like yaa...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 172 Episodes
Comments
Ellsyfa
gemes dah 😁
2022-10-02
0
Sunarti
haduuuh ada" aja mahluk 2 itu kelakuannya😅😅
2021-03-01
0
Ririn Yuliani
tidak ada visual nya Tah thor
2021-03-01
0