Sudah pukul delapan, ketika Kiran tiba di kantor. Perasaannya belum membaik. Dia terguncang mendengarkan Sid yang menceritakan masa lalunya.
"Pak Sid benar, jika dibandingkan dengan patah hatiku waktu itu dengan patah hatinya, itu belum ada apa-apanya."
Dirinya masih terlalu naif memandang cinta. Sungguh lancang dia mengatai Sid pengecut dan tak berani memperjuangkan cintanya. Makian yang dilontarkannya, ketika dirinya putus dengan Rian. Itu membuatnya merasa sangat bersalah.
"Kusut sekali kau hari ini." Niki menyapa ketika Kiran baru masuk ke lobi resepsionis.
"Kurang tidur." Kiran melempar senyuman letih. "Pak Sid kenapa belum datang ya?"
"Aku kurang tahu, biasanya jam dia sudah datang."
"Ya sudah, aku akan ke ruanganku dulu." Kiran beranjak menuju ruangannya. Sebelum jauh, ia terkejut melihat seseorang yang di tunggu kehadirannya.
Kiran cepat-cepat menghampiri Sid.
"Pak, kenapa anda ke kantor?"
"Tidak boleh?" Seperti biasa, begitu sampai di ruangannya Sid menghidupkan laptopnya.
"Tentu saja boleh, pak. Memangnya anda sudah baikkan? Saya pikir, anda ingin istirahat saja di rumah."
"Biasa saja."
"Tapi saya sudah membatalkan seluruh jadwal hari ini."
"Tidak apa-apa. Biarkan hari ini sedikit santai."
"Baik, pak. Ada lagi yang bisa saya urus?"
Sid bersandar di kursinya. "Kirana."
"Ya, pak."
"Kenapa sikapmu tidak berubah?"
"Maksudnya? Apa ada yang salah? Maaf, pak saya akan memperbaikinnya." Kiran menunduk.
"Maafmu belum habis?"
"Baru membelinya satu paket, pak." Kiran tersenyum kikuk.
"Maksudku, kenapa sikapmu masih ramah? Kenapa masih seperti anak kucing saja?"
"Maksud anda?"
"Aku tadi sudah menceritakan aib terbesarku. Tapi kenapa kau seperti biasa saja?"
Kiran memasang wajah serius
"Pak, anda sedang mabuk pada saat bercerita."
"Kau pikir ceritaku mengada-ngada?"
"Bukan, pak. Saya pikir bapak tidak sadar pada saat bercerita."
"Aku masih bisa mengontrol diriku, aku tidak pernah mabuk terlalu parah. Kesadaranku penuh pada saat menceritakan itu." Jelas Sid.
"Jadi, bapak sadar? Pak, anda sadar pada saat bercerita pada sekretaris anda yang bodoh ini?"
"Sepenuhnya sadar."
"Pak, anda percaya pada saya?"
"Kau satu-satunya yang paling tahu persis dan mengerti isi hatiku." Ujar Sid sambil menatap Kiran dalam-dalam.
"Terima kasih, pak. Saya berjanji akan menjaga kepercayaan anda."
Sid mengangguk. "Aku simpan janjimu."
"Jika boleh jujur, saya senang pak Sid bisa mengeluarkan segala beban yang ada di hati anda, paling tidak anda merasa lega."
Sid mengangguk lagi.
"Kiran."
"Ya pak." Kiran menatap Sid.
"Bagaimana bisa, kau mencium luka hatiku?"
"Saya tidak tahu, pak. Tapi pada saat saya menatap mata anda, saya merasa kegalakan anda memiliki alasan dibaliknya. Dan hanya untuk menutupi... Kerapuhan hati dan diri anda saja."
Sid tertegun, bagaimana bisa Kiran memiliki sifat yang sama seperti ibunya, Aisha?
"Kau cenayang?"
"Wah, tidak pak." Kiran terkekeh.
"Aku punya sesuatu untukmu." Sid menyerahkan sebuah kotak kecil. Kiran mengambilnya, dan membukanya.
"Kunci mobil?"
"Mobilmu sudah harus diganti."
"Tapi saya tidak berhak, pak." Kiran menyerahkan kembali kotak itu pada Sid.
"Terima, atau kau dipecat!"
"Pak, jika boleh saya ingin meminta hal lain dari anda."
"Apa? Rumah?" Tebak Sid.
"Bukan, pak. Saya ingin menjadi sahabat anda, begitu saja." Kiran menunduk, jantungnya berdebar kencang.
"Sebenarnya hadiah itu aku berikan karena kau selalu bekerja lembur. Tapi aku baru sempat hari ini."
"Oooo... Begitu, pak. Tapi saya merasa tidak pantas menerimanya, saya masih baru di kantor ini." Kiran semakin menunduk.
Dasar cerewet, banyak bicara.
Sid terkekeh dalam hatinya, karena Kiran cerewet tapi baginya menggemaskan.
"Kau rewel sekali, ya? Membuatku pusing saja. Jika kau masih ingin bekerja di kantor ini terima saja. Jangan membantah, Kiran! Aku gerah melihatmu membawa keong ke kantor."
Kiran menghela napas. "Baiklah, aku menerimanya. Tapi pak,...."
"Apalagi Kiran?" Ucap sid penuh penekanan.
"Jangan menghina mobilku lagi." Wajah Kiran memelas.
"Ya sudah, mobilmu dimana?"
"Di parkiran, pak. Tadi saya kesini naik angkot."
"Hah? Naik angkot? Apa itu angkot?" Tanya Sid sambil mengerutkan dahinya.
"Kendaraan angkutan umum, pak."
"Oooh... Mobilmu itu hadiahkan saja pada adikmu."
"Adikku mana mau menerimanya, pak. Dia selalu menghinanya seperti..."
"Sepertiku maksudmu?" Sid melotot.
Kiran meringis. "Adikku lebih memilih naik angkot daripada membawa mobilku. Dia bilang terlalu sering mogok."
"Jika aku di posisi adikmu, aku juga akan melakukan hal yang sama. Mobilmu sudah uzur, pantas masuk museum."
"Dia masih kuat, pak." Rengek Kiran.
"Kuat membuat bangkrut, iya."
"Mobilku memang sering mogok, tapi kenangan bersamanya banyak sekali. Maka dari itu aku masih senang memakainya."
"Justru karena itu, pantas masuk museum. Museum itu kan tempat menyimpan barang-barang yang sudah T-U-A." Ucap Sid penuh penekanan.
"Pak Sid tidak akan mengerti." Kiran cemberut.
"Nanti aku akan menyuruh supirku untuk mengantarkan mobilnya."
"Baik, pak terima kasih banyak hadiahnya."
"Ya sudah, kau boleh keluar."
Kiran mengangguk. "Sekali lagi terima kasih, pak." Kiran berbalik dan melangkah.
"Aku yang harusnya berterima kasih padamu, Kiran."
Kiran menghentikkan langkahnya. lalu memutar tubuhnya kembali. ia dikejutkan oleh sesuatu yang belum pernah dilihatnya dari Sid.
Di atas kursi, Sid sedang menatapnya sambil... Tersenyum manis.
Sebuah senyum yang belum pernah dilihatnya. Kiran membalas senyuman itu lebar-lebar. Hatinya menghangat, lalu ia kembali melangkah menuju keluar.
"Tunggu, Kiran."
"Ya, pak." Kiran kembali mendekati Sid.
"Beri nama mobilmu."
"Hah?"
"Boleh aku memberinya nama?" Kiran mengangguk.
"Siran, boleh kan?" Sekali lagi Sid bertanya.
"Siran?" Ulang Kiran.
"Sid dan Kiran." Ucap Sid sambil tersenyum.
Deg...
"Baik pak, terima kasih."
"Tentu saja, kau adalah sahabat pertamaku. Jaga baik-baik mobil itu. Dan... Semoga kau mendapatkan cinta sejatimu, pengganti lelaki buaya itu."
"Terima kasih, pak. Semoga anda juga mendapatkan apa yang anda harapkan selama ini, semoga anda juga mendapatkan cinta sejati yang bisa menjaga kesucian cinta dan dirinya, seperti anda menjaganya untuknya kelak." Sid mengangguk.
"Terima Kasih, kau boleh pergi." Kiran melangkah keluar. Sementara Sid masih duduk disana, sambil menatap punggung Kiran hingga menghilang dibalik pintu.
"Aku berharap wanita sepertimu, yang akan menjadi pendampingku suatu saat nanti." Gumam Sid, ia lalu memfokuskan matanya pada laptopnya.
...----------------...
Sekeluarnya Kiran dari ruangan Sid, ia tak berhenti tersenyum. Hal itu membuat teman-temannya melihatnya dengan wajah bingung. Termasuk Ikhsan.
"Hai, Kiran. Kau sepertinya bahagia sekali? Ada apa?" Tanya Ikhsan.
"Hai, tentu saja. Setiap hari aku bahagia." Jawab Kiran dengan wajah malas.
"Kiran, boleh tidak aku berkunjung ke rumahmu?"
"Tidak boleh!" Sahut Sid tiba-tiba dari arah belakang.
Kiran menoleh, dan terkejut.
"Pak Sid?!"
"Kembali bekerja, Ikhsan! Jika tidak, aku akan memecatmu! Kiran, ikut denganku ke ruanganku!" Ucap Sid, dengan wajah tidak suka melihat Ikhsan yang seperti mendekati Kiran.
Bersambung...
Hai semuanya, selalu ikuti kisah Kiran dan Sid ya! Sekarang kisah lika-liku cinta mereka akan segera dimulai... jangan lupa votenya, author butuh vote dan like kalian! Buat author yang berkunjung di novel aku, maaf ya belum sempat ngefeedback, lagi sibuk ngerevisi bab sebelumnya nih aku 😁😁😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 172 Episodes
Comments
Ellsyfa
lanjuuuut....
2022-10-02
0
Nurul Zakiah
benih"cinta mulai muncul nih
2021-07-08
0
Tum Morang
lucu nya pak sid ini... yg di tanya siapa yg jawab siapa.... 😂😂😂😂😂😂😂😂
2021-07-03
0