"Hah?!..."
"Jangan berteriak, bodoh!"
"Pak Sid?"
"Kau sedang apa? Dimana?" Sid mengulang pertanyaannya.
"Saya dirumah, pak. Sedang tidur." Kiran meringis. Matanya melirik jam dinding. Baru jam satu dinihari.
Di jam seperti ini sedang apa jika bukan tidur? Kecuali mereka yang sedang... Shit! Kiran menepuk jidatnya sendiri.
"Kau temui aku sekarang!" Perintah Sid.
"Sekarang? Tapi pak, ini sudah sangat malam!" Suara Kiran meninggi.
"Datang, atau aku memecatmu!" Hardik Sid. Kiran sudah akan membantah, ketika kemudian menyadari sesuatu. Nada suara Sid tidak setajam biasanya.
"Pak Sid, apa anda sakit?"
"Kau bodoh, mana bisa orang yang sudah mati sakit?"
"Maksud anda?" Tanya Kiran tida mengerti.
"Aku sudah mati sejak tiga tahun yang lalu. Siddharth yang sekarang ini bukan diriku, dia hanya menggunakan tubuhku yang tidak berdaya ini."
"Pak, anda kenapa?"
"Kau temui aku sekaraaaaaang!!!" Teriak Sid, masih dengan suara yang sangat lemah.
"Iya, pak. Aku akan ke rumah anda sekarang." Kiran melompat dari ranjangnya.
"Bodoh! Aku di Kantor, bukan di rumah!"
"Apa?! Kantor?! Di jam seperti ini, sedang apa anda di kantor, pak?!'' Cecar Kiran.
"Cepatlah datang, gadis cerewet!" Sid memutuskan sambungan teleponnya.
"Aaaarrrrrggggghhhhh...! Dia kenapa lagi?!" Teriak Kiran kesal. Tapi ada yang mengganjal di hatinya, rasa penasaran dan khawatir memenuhi hatinya.
Kiran sudah aka berpamitan pada ibu dan pamannya, namun mengurungkannya karena tidak tega membangunkan mereka.
Ia pun mengambil sehelai kertas, lalu menuliskan sesuatu di kertas itu.
Bu, aku pergi dulu, ada urusan yang sangat penting di kantor.
Kertas itu ia letakkan di meja makan, supaya ibunya bisa langsung melihatnya nanti.
Kiran bergegas menuju garasi dan segera melajukan mobilnya menuju kantor.
...----------------...
Ruangan itu hening. Hanya ada suara detik jarum jam yang memecah kesunyian. Kesenyapan yang berterika-teriak dengan riuhnya. Menghantarkan aroma kesepian dan kesendirian.
Sid duduk bersandar di kursi dengan kakinya diangkat ke atas meja.
Sesekali ia melihat ponselnya, lalu melirik ke pintu. Berharap gadis yang sedang ditunggunya datang.
Tapi, hingga lima belas menit berlalu, pintu itu tidak terbuka. Ruangan masih hening. Udara beraroma sepi dan sendu, Sid memejamkan kedua matanya yang terasa berat.
...----------------...
Kiran sedang berkonsentrasi mengemudi, ketika ponselnya berdering. Dia sudah tahu siapa yang meneleponnya.
"Saya sedang di jalan, pak. Sebentar lagi akan sampai." Jawabnya sebelum Sid sempat bersuara.
"Coba kau memiliki mobil yang sangat bagus, mungkin tidak perlu aku menunggumu sampai rambutku beruban!"
Kiran menghela napas kasar.
Dalam kondisi seperti ini pun, kau masih bisa menghina mobilku!
"Kau memakai baju apa?" Tanya Sid tiba-tiba.
"Saya..." Kira menunduk, memerhatikan penampilannya.
Sepotong gaun tidur tipis yang tadi dikenakannya, masih melekat di tubuhnya yang ramping.
"Hmmm... Saya memakai gaun tidur, pak."
"Gila! Kau ingin menggodaku ya?! Aku menyuruhmu datang ke kantor, Kenapa kau memakai gaun tidur?!" Semprot Sid.
"Maaf, pak. Panggilan anda mendadak sekali." Kiran membela diri. "Lagipula, ini masih malam pak. Tidak apa-apa kan."
"Tidak apa-apa bagaimana? Malam, Siang, ataupun pagi, aku tidak peduli! Kau itu akan ke kantor, sekarang kembalilah dan ganti bajumu!"
"Apa?!" Kiran berteriak kencang.
"Ganti baju!!!"
Kiran menghela napas panjang. Semakin kesal dengan bosnya yang aneh itu. "Saya harus memakai baju apa, pak?" Kiran menekan suaranya agar tidak meledak.
"Pertanyaan bodoh! Ke kantor ya memakai pakaian kerja! Cepat ganti bajumu dan temui aku! Jangan lama-lama!" Pembicaraanpun terputus.
"Ya Tuhan, tolonglah aku! Aku bisa gila jika seperti ini!" Kiran berteriak-teriak histeris di dalam mobil. Dengan kekesalan yang teramat besar, Kiran memutar kembali mobilnya menuju rumah untuk mengganti bajunya.
Satu jam kemudian, ia barulah sampai di kantor. Satpam kantor yang berjaga malam, membukakan pintu gerbang untuk Kiran.
Dia paling takut berada di tempat sepi, tidak terkecuali kantor bosnya ini. Walaupun tidak menyeramkan tapi, mengunjunginya pada jam dua pagi tetap membuatnya ngeri.
Kiran mengetuk pintu beberapa kali, tidak ada yang menyahut. Kiran pun membukanya dan melangkah masuk. Disana, Sid sedang duduk di kursi kerjanya sambil memejamkan mata. Dengan posisi kaki di atas meja.
Napas Sid teratur, dadanya bergerak naik turun berirama. Kiran berdiri, mengamati wajah Sid.
Bahkan, dalam tidurpun wajahmu tetap memesona. Tapi, apa yang sebenarnya terjadi padamu, pak Siddharth?
Hampir lima menit, Kiran menatap wajah Sid. Entah kenapa, Kiran menangkap aura yang berbeda terpancar di wajah Sid. Seperti ada luka yang besar dan beban yang sangat berat di hati Sid. Dan jika saja bisa, ingij sekali Kiran memeluk Sid dan mengulurkan tangannya untuk berbagi beban.
Lembut, Kiran menepuk bahu Sid. Membuat yang bersangkutan membuka matanya mendadak.
"Kirana! Kau membuatku terkejut!" Teriak Kiran, membuat Kiran mundur selangkah.
"Maaf, pak aku tidak sengaja." Kiran meminta maaf.
"Kali ini permintaan maafmu tepat pada tempatnya!" Sid mengangguk. Ia lalu mengamati penampilan Kiran, rok abu sepanjang lutut, dan kemeja putih polos. Dengan rambut yang dikuncir kuda seperti biasanya, tak lupa kacamata besar menempel di wajahnya.
Cukup manis, dan imut.
Sid kagum dengan penampilan Kiran yang sangat minimalis.
"Kau rapi sekali, ini baru jam dua lebih. Jam kantor itu jam delapan." Sid menunjuk jam dinding.
Sebenarnya apa maumu, bodoh?! Kau sendiri yang tadi menyuruhku memakai baju untuk bekerja!
"Pak, anda lembur? Kenapa masih berada disini?" Tanya Kiran.
"Ada yang perlu di kerjakan!" Sembur Sid tajam. Saat itulah, bau alkohol tercium dari mulut Sid.
Kiran mulai mengerti, bahwa Sid sedang mabuk.
"Pak Sid, anda pasti mabuk. Pak, aku akan mengantar anda pulang."
"Kenapa aku harus pulang? Disini saja."
"Pak, kondisi anda sedang tidak baik, ayolah! Pak, anda istirahat saja di rumah."
"Aku tidak tahu harus pulang kemana. Aku tidak punya tempat untuk kembali, aku tidak punya rumah." Tiba-tiba hati Kiran terenyuh, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Pak anda mabuk."
"Aku merasa tidak punya rumah, tidak ada tempat bagiku untuk pulang. Aku seperti orang asing di dunia ini. Bahkan, dua wanita yang aku sayangi sudah pergi meninggalkanku. Sendirian, kesepian. Shit! Brengs*k!" Sid menghela napas panjang. "Tuhan tidak adil, dosa siapa ini? yang harus aku tanggung?!"
"Pak, ayo kita pulang." Kiran meraih lengan Sid, membimbingnya untuk berdiri.
"Kirana, kau beruntung jika punya tempat untuk pulang. Pulang dalam arti yang sebenar-benarnya. Maka bersyukurlah."
Kiran mengangguk. Dia merasa bersimpati dan iba terhadap Sid. Air mata bahkan sudah lolos mengalir dari mata bulatnya itu. Seperti dugaannya, bahwa Sid menyimpan duka yang sangat dalam. Kiran memapah Sid, dan berjalan terseok-seok menuju lift.
"Kiran." Sid terdiam kembali. "Saat ini kau pasti berkata dalam hati 'Sid bodoh, kau sangat merepotkan!' Iya, kan?" Sid menatap Kiran melalui matanya yang sudah berkunang-kunang.
Kiran menggeleng. "Saya tidak pernah berpikiran seperti itu, pak. Tenang saja." Kiran menyunggingkan senyuman terbaik yang dimilikanya. Sid mendesah, untuk kesekian kalinya menghembuskan napasnya panjang-panjang.
Sid melepaskan tangan Kiran, lalu berusaha berdiri tegak dan memandang Kiran sekilas, pada detik berikutnya, ia sudah memeluk tubuh mungil Kiran.
"Kiran, tolong aku." Bisik Sid ke telinga Kiran.
"Pak..."
Bersambung...
Wah kasian ya Sid...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 172 Episodes
Comments
Sunarti
miris sekali keadaan pak sud y
2021-03-01
0
Ummi Salsabila
iya Pak nnti kiran tlong ya kwkkwwk
2021-02-02
3
Hesti Sulistianingrum
Sid... kau butuh bahu utk bersandar..
2021-01-31
1