"Tadi sudah aku bilang, kau pasti lupa!" Sid berteriak sangat keras.
"Maaf, pak." Kiran menunduk lebih dalam.
"Maaf, maaf, apa kau membeli maaf satu paket? Sampai kau menghambur-hamburkan kata maaf seperti itu? Orang yang mudah minta maaf itu adalah orang yang mudah juga melakukan kesalahan yang sama!"
"Ma..." Cepat-cepat Kiran menggigit bibir bawahnya, agar kata maaf tidak terhambur lagi.
"Jam dua siang! J-a-m-d-u-a. Sudah kubilang catat, agar kau tidak lupa lagi!" Sid mendelik galak. Masih dengan jari bergetar Kiran mencatat di agendanya lagi.
"Ada lagi?"
"Tidak ada, pak. Terima kasih." Kiran menunduk, dan bersiap mengayunkan langkah meninggalkan monster bertopeng wajah tampan di depannya.
"Tunggu sebentar!" Panggil Sid. menghentikan langkah Kiran yang sudah berada di dekat pintu. Gadis itu memutar tubuhnya 180 derajat, hingga kembali menangkap sosok Sid yang kini tengah duduk bersandar dengan melipat kedua lengannya di dada.
"Ya, pak?"
"Perbaiki cara bekerjamu. Jika terus seperti ini, aku tidak mungkin mempertahankanmu. Ingat! Aku membayarmu untuk menjadi sekretarisku yang bertugas mengatur jadwal dan mengingatkanku jika ada janji, bukan sebaliknya!"
"Iya, pak. Maaf. Mungkin karena saya masih baru dan belum mengerti. Saya berjanji akan bekerja lebih baik lagi."
"Yang baru saja bukan karena kau masih baru, itu karena memori otakmu yang kurang memenuhi standar!" Sid mengangkat bahu. "Ya sudah, kau boleh keluar!"
Kiran melangkah keluar, dia merasa tubuhnya menggigil. Kemarahan berkecamuk dan telah menumpuk di ubun-ubunnya. Ingin rasanya dia membanting agenda di tangannya ke wajah Sid dan memaki-maki pria sialan itu. Seenaknya saja mem-bullyng orang-orang. Sekalipun mereka bawahannya, seharusnya dia tidak bisa melakukan hak itu seenak perutnya.
Terbesit niat Kiran untuk resign hari itu juga, tentunya setelah menghajar bosnya itu terlebih dahulu. Tapi, bayangan ibunya yang menyiapkan nasi goreng kesukaannya setiap pagi terlintas di benaknya, ia tidak ingin mengecewakan dan membuat ibunya sedih. Dia juga tidak siap menjadi pengangguran lapuk lagi.
Dikatupkan mata cokelatnya, lalu Kiran membuka kacamata tebalnya itu. Kiran menghitung satu sampai sepuluh di hatinya, setelah itu menarik napas panjang, dan membuangnya. Perlahan-lahan. Dilakukannya berulang kali, sampai perasaannya membaik.
Dasar sialan! Wajahmu yang tampan itu tidak seperti mulutmu yang suka menghina orang! Jika saja aku punya pekerjaan lain maka aku akan langsung resign dari sini! Sayangnya mencari pekerjaan sebagus ini sangatlah susah! Lihat saja pria sialan, aku akan menghajarmu suatu saat nanti!
Kiran memaki-maki dan menyumpahi Sid di dalam hatinya, hingga ia merasa puas dan segera melaksanakan pekerjaannya yang tadi di berikan Sid.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Siang itu, pada jam istirahat Kiran bersama teman-temannya makan di sebuah kafe yang berada di seberang kantor. Karin merasa jengah, karena Ikhsan yang duduk di hadapannya beberapa kali tertangkap sedang mencuri-curi pandang ke arahnya. Kiran berpura-pura menyibukkan diri, mencoba tenggelam dengan obrolan yang di buka Niki dan rekan kerja divisi lain.
Ayam goreng di piring Kiran terasa seperti karet, bukan karena dagingnya yang alot. Tapi disebabkan karena Ikhsan yang terus menatapnya.
Melihat sikap Ikhsan, bayangan Kiran kembali pada kepada kekasihnya Rian yang berada di kota Medan. Lelaki yang menjadi kekasihnya sejak 6 tahun terakhir.
Rian adalah senior Kiran di kampusnya dulu. Usia mereka terpaut 2 tahun. Selama kuliah mereka cukup dekat, tapi Rian mengungkapkan perasaannya pada Kiran pada hari wisudanya.
Dengan tercekat dan gugup, akhirnya Rian bisa mengungkapka perasaannya dengan tidak sia-sia karena ternyata Kiran juga menyukainya.
"Kiran, Halloooo! Kiran! Kiran...!" Ikhsan menepuk bahu Kiran.
"Eh, ya ada apa?" Lamunan Kiran seketika buyar.
"Ponselmu berbunyi sedari tadi!" Ikhsan menunjuk ponsel Kiran yang tergeletak di meja. Kiran meraihnya dan terkejut saat melihat nama yang tertera di layarnya.
"Ya, hallo. Pak!" Sapanya lirih.
"Kau ini bagaimana?! Sudah satu jam aku menunggu di sini, tapi Maya tidak datang juga. Kau mengkonfirmasi padanya, kan? bahwa hari ini aku akan bertemu dengannya?!" Tanpa basa basi, amarah Sid seketika menyeruak dan memenuhi tempat Kiran berdiri.
"Sudah pak, saya sudah meneleponnya kemarin."
"Kau menelepon siapa?"
Kiran meringis, tiba-tiba perutnya melilit. "Pada sekretarisnya, Pak. Saya bilang..."
"Kenapa kau tidak langsung menelepon Maya?" Potong Sid.
"Kemarin saya meneleponnya, tetapi tidak aktif, pak. Jadi saya menelepon ke kantornya."
"Lalu?"
"Ternyata, bu Maya juga tidak ada di kantor. Saya menitipkan pesan pada sekretarisnya."
"Kenapa kau tidak mencoba meneleponnya lagi satu jam kemudian? Atau tadi pagi untuk memastikan? Sebenarnya kau bisa bekerja atau tidak?!"
"Maaf, pak. Saya pikir..."
"Maaf lagi, aku benci kata itu!"
Sid memutuskan sambungan teleponnya. Kiran menggigit bibirnya. Terasa sakit, menyerupai rasa sakit di hatinya. Kiran berjalan kembali ke meja makan, meraih tas tangannya.
"Aku kembali ke kantor lebih dulu, ya?"
"Kenapa?" Tanya Niki bingung.
"Ada pekerjaan yang sangat penting. Aku harus menyelesaikannya sekarang juga."
"Tapi makananmu belum habis!" Ikhsan menimpali.
"Aku sudah kenyang. Aku duluan ya!" Kiran berjalan menuju pintu keluar. Di sampingnya Ikhsan merendengi langkahnya.
"Pak Sid yang menelepon ya? Ada masalah?"
"Sedikit." Kiran berusaha tersenyum.
"Kau bisa menceritakannya padaku!"
"Terima kasih, tapi lain kali saja."
"Kiran, ada yang bisa aku bantu?" Bola mata Ikhsan menangkap tatapan Kiran yang gelisah.
Ada, berhentilah mengikutiku! Aku muak melihat wajahmu yang sok perhatian itu! Kepalamu yang botak membuat mataku ingin menangis! Cibir Kiran dalam hatinya yang kesal pada Ikhsan.
"Ada."
"Katakan."
"Biarkan aku sendiri, dan jangan mengikutiku lagi!" Sahut Kiran tanpa menunggu reaksi dari Ikhsan, Kiran berlari menuju kantor SAR Entertainment Group di seberang jalan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Kiran berjalan cepat, naik ke lantai lima, melewati meja kerjanya. Dia terus berjalan menuju pojok ruangan, memasuki kamar mandi.
Disana, Kiran memerhatikan bayangannya di cermin kamar mandi yang besar. Wajahnya kusut dan tampak lelah. Lelah karena baru dua hari bekerja ia sudah mendapat semprotan dan kata-kata tajam dari bosnya.
"Dasar bos sialan, wajah saja tampan dan terlihat ramah! Tapi hati Dan mulutnya busuk! Menghina dan mem-bullyng orang lain sesuka hati! Kau tidak pantas dinamai Siddharth Adeva Rafandi, tapi kau pantas di beri nama Sid Raja beruang gajah!" Kiran menggerutu, tanpa sadar di balik pintu kamar mandi Sid sedang mendengarkan kata-kata Kiran yang sengaja di lontarkan untuk Sid.
Jemarinya yang lentik memutar keran. Air mengalir dengan deras, Kiran menangkupkan kedua telapak tangannya di bawah keran, mengumpulkan air yang langsung diusapkan ke seluruh permukaan wajahnya yang pucat. Belum cukup puas, Kiran merasakan ada sesuatu yang bergemuruh di dadanya. Penuh, sesak. Memaksanya untuk melakukan sesuatu hal yang paling alami dari sifat manusia.
Ada yang menyeruak, mendesak ingin keluar. Perlahan-lahan, sesuatu yang hangat memenuhi pelupuk matanya, membuat pandangannya kabur. Bahu ringkih gadis itu pun terguncang-guncang. Semakin lama semakin deras. Kiran menangis. Awalnya isakan kecil, lama-kelamaan bertransformasi menjadi raungan.
Dia menangis sepuasnyamencoba mengeluarkan segala beban yang berkecamuk di hatinya. Baru dua hari ia bekerja, tapi rasanya penderitaannya sudah mencapai puncak.
Sid yang masih berada di balik pintu hatinya sedikit merasa bersalah, namun ego mengalahkan sedikit rasa bersalah itu.
"Cengeng!" Gumamnya pelan, ia membuka pintunya. Berhasil, pintunya tidak dikunci.
Sementara Kiran terkesiap, ia membelalakkan matanya yang sudah sembab akibat menangis.
"Pa.. Pak Sid!"
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 172 Episodes
Comments
Zee Ka
kiran y croboh
2021-05-26
0
Nur hikmah
kyy disini Kiran yg terlalu lalai....BNR Sid harus mmpastikn lgi .....BKN sepenuhy slh Sid marahi....
2021-03-02
0
Mawar Hitam
like dari Cinta Tak Pernah Salah
2021-02-27
1