Sang rembulan telah meninggalkan peraduannya, digantikan oleh mentari yang memancarkan sinar hangatnya, merdu kicauan burung yang saling bersahutan, dan wangi aroma embun pagi membuat seorang gadis betah berlama-lama duduk dibangku taman
Tangannya mulai meliak-liukan pensil diatas kertas putih menciptakan hasil coretan yang menakjubkan. Seekor burung kecil dalam sangkar yang indah terlihat memandang sendu indah bunga mawar di dekat sangkarnya
Sungguh gambar yang begitu indah, yang menggambarkan dirinya ibarat seekor burung dalam sangkar emas. Hidup tercukupi tapi tak punya kebebasan untuk terbang menjangkau keindahan didepan matanya
Gadis tersebut adalah Gendis. Ya, Gendis sekarang sudah diberi sedikit kelonggaran, dia bisa leluasa untuk duduk ditaman atau mengelilingi sekitar rumah dalam artian masih didalam pagar rumah milik Gerhana. Dia bisa melakukan semua itu setelah tugas mengurus bayi besar selesai
Gendis tersenyum sambil memandangi hasil karyanya. Dia terlihat begitu cantik walau hanya memakai celana kolor sebatas lutut dan kaos oblong, serta rambut yang dicepol. Tak ketinggalan sendal jepit untuk menunjang penampilannya
Tanpa Gendis sadari, ada sepasang mata yang memperhatikannya sedari tadi. Dia adalah Gerhana, si pria dingin dan arogan yang sedari tadi menatap Gendis dengan seulas senyum
"Style macam apa itu, tapi kenapa terlihat menarik!" Guman Gerhana
Ia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menyadarkan otaknya yang mulai kacau
Gerhana lalu masuk kembali kedalam kamar, ia pandangi Gendis dari balkon depan kamarnya. Gerhana memanggil pelayan untuk meminta Gendis masuk ke kamarnya
"Panggilkan dia kemari!" Ucapnya dingin
"Baik, Tuan!" Ucap Nana sopan kemudian pergi berlalu
Nana sudah tau siapa yang dimaksud oleh Gerhana, ia mencari Gendis di taman dan benar saja Gendis masih belum beranjak dari bangku taman tersebut
"Nona, Tuan Muda memanggil anda!" Ucap Nana sopan
Suara Nana sontak mengejutkan Gendis yang sedang fokus menggambar. Gendis lalu mendongak untuk menatap lawan bicaranya
Tanpa banyak bertanya Gendis lalu masuk kedalam rumah, ia menaiki satu persatu anak tangga untuk dapat sampai dikamar Tuan Muda Gerhana
Ia lalu mengetuk pintu sebelum masuk
Tok Tok Tok
"Masuk!" Suara berat Gerhana mempersilahkan
Ceklek
Gendis membuka pintu dan masuk ke dalam kamar yang begitu luas itu, bahkan lebih luas dari seluruh pekarangan beserta rumah Gendis dikampung
"Buatkan aku kopi!" Ucap Gerhana tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya
Walaupun hari libur tapi Gerhana tetap disibukkan dengan urusan pekerjaan yang serasa tiada habisnya
Gendis lalu keluar kamar dan menuruni tangga menuju kedapur untuk membuat kopi. Setelah kopi siap, Gendis kembali menaiki tangga menuju kamar Gerhana
Gendis lalu mengetuk pintu
Tok Tok Tok
"Masuk!" Gerhana berteriak
Gendis lalu masuk dan menyerahkan kopinya
"Gue rasa, gue udah nggak pengen minum kopi!" Ucapnya menyeringai
"Bikinin gue teh, sekarang!" Ucapnya lalu mengalihkan pandanganya kembali kelayar laptopnya
Gendis kembali menuruni tangga lalu menuju ke dapur untuk membuat teh
"Apakah kopinya tidak sesuai takaran biasanya, Nona?" Tanya Bibi Keke
Gendis sudah diajarkan cara membuat kopi untuk Gerhana, dengan 10 gram kopi dan 2 gram gula. Semua harus ditimbang terlebih dahulu, karena Gerhana tidak akan suka jika kopinya terlalu manis atau tidak terasa gula sama sekali
Gendis menggeleng "Bahkan ia tidak mencicipi kopinya sama sekali!" Tulis Gendis
Bibi Keke menepuk pundak Gendis sebagai penyemangat "Sabar!" Ucapnya
Gendis menghela napas dalam dan mengeluarkannya perlahan, kemudia ia membuat teh yang sesuai dengan takaran yang Bibi Keke ajarkan
"Kenapa lama sekali?" Gerhana bertanya setelah Gendis masuk dengan membawa segelas teh
"Aku sudah kehilangan moodku untuk minum teh!" Ucapnya masih sibuk dengan layar laptopnya
Gendis hanya bisa menghela napas pasrah, mau protes? Bisa-bisa ia kehilangan nyawa saat itu juga
"Buat kopi yang baru! Jangan yang tadi!" Ucapnya dengan seringai liciknya
Gendis kemudian kembali kedapur untuk membuat teh sekaligus kopi, agar ia tidak salah lagi pikirnya
Bibi Keke beserta para juru masak dan pelayan hanya menatap iba Gendis, mereka sebenarnya tak tega, tapi mereka bisa apa
Gendis kembali masuk kedalam kamar Gerhana dengan dua cangkir diatas nampan yang ia bawa
Gerhana menatap Gendis tajam, tatapan yang mampu melumpuhkan sendi-sendinya. Ia berjalan menghampiri Gendis
"Lo pikir gue serakus itu?" Ucap Gerhana tepat didepan wajah Gendis
Gendis benar-benar tak habis pikir dengan lelaki dihadapannya ini, mengapa bisa pria setampan ini memiliki tabiat yang mengerikan seperti ini
"Dasar nggak guna!" Ucapnya berteriak seraya menumpahkan kopi yang baru saja diseduh ketangan kiri Gendis dengan sengaja
Gendis diam tak bergeming, ia sedang bersusah payah agar tak menangis didepan laki-laki berwajah malaikat namun berhati iblis ini
"Pergi!" Ucapnya kasar
Gendis keluar dari kamar Gerhana dengan luka disekujur jiwanya, bukan perih dan panas dibagian tangan kirinya yang membuatnya merasa sakit, tapi perlakuan dan perkataan Gerhana bagai pedang tajam yang menghunus tepat dijantung Gendis
Gendis mencoba menahan air matanya, ia berjalan gontai menuju taman, hanya taman yang menjadi tempat ternyaman selain kamar bagi Gendis
Ia duduk di kursi taman favoritnya, ia menatap kosong kedepan, sesekali tangannya mengusap air mata yang tidak tau diri ini dari pipinya
"Sampai kapan semua ini akan berakhir, Ya Allah?" Lirih Gendis dengan buliran bening yang terus menetes
"Apakah aku tak pantas bahagia?" Lirihnya terisak
Saat Gendis terus menghapus air matanya yang seolah enggan untuk berhenti, tiba-tiba ada seseorang yang menyodorkan sapu tangan berwarna biru dongker disampingnya
Gendis mengalihkan pandangannya kesamping untuk melihat siapa yang menyodorinya sapu tangan
"Jangan nangis!" Ucap Banyu
Matanya menangkap luka ditangan kiri Gendis 'Lo bener-bener keterlaluan, Ge!' Batinnya
Ia kemudian bangkit dan masuk kedalam rumah, Gendis hanya menatap kepergian Banyu dengan tatapan bingung
'Kenapa dia baik padaku?' Gendis membatin
Sesaat kemudian Banyu kembali menghampiri Gendis dengan membawa kotak obat ditangannya
Banyu mendudukan bokongnya disebelah Gendis
"Berikan tangan kirimu!" Ucapnya datar
Bukannya memberikan tangannya, Gendis malah menyembunyikannya dibalik punggung
"Mana tangan kirimu, biar ku obati!" Banyu mencoba merayu tapi tetap dengan muka datarnya
Gendis dengan ragu dan takut akhirnya menjulurkan tangan kirinya untuk diobati Banyu. Dengan hati-hati Banyu membersihkan luka ditangan Gendis, kemudian ia mengoleskan antiseptic dan membungkusnya dengan perban
Hati Banyu terasa dicubit melihat kondisi Gendis yang semakin hari semakin memprihatinkan, tak ada lagi senyuman diwajah cantiknya, sangat berbeda dengan Gendis yang Banyu lihat saat bersama dengan Abi kala itu
Kini hanya raut kesedihan dan penderitaan yang ditampilkan wajah ayunya, entah sampai kapan Gendis akan tetap menjadi tawanan seperti ini pikir Banyu
'Maafkan aku, karena tidak bisa membebaskanmu atau menolongmu dari kejamnya sahabatku!' Batin Regan
Setelah mengobati luka Gendis, Banyu masuk kembali kedalam rumah dan menuju ruang kerja sahabatnya untuk membicarakan hal serius
***
Halo readers, gimana kabar hari ini? Baik kan? Tentu baik dong?!
Jangan lupa untuk tinggalkan jejak ya gaes.... salam sayang dari author
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Sri Yati
teganya dirimu ger Hana...😃🤔🤔🤔
2021-02-01
4