Sering kali merantau bukanlah keinginan tapi keadaanlah yang memaksakan ~ Gendis Alamanda
Dua hari sudah berlalu sejak pertemuannya dengan Samuel. Kini Gendis sudah bersiap-siap akan pergi ke Jakarta dengan diantar oleh Bude Sri
Samuel datang sesaat sebelum Gendis dan Bude Sri berangkat
"Nda, kenapa nggak berangkat minggu depan aja bareng aku?" Ucap Samuel seperti tidak rela ditinggal Gendis
"Kamu jadi kuliah di Jakarta, El?" Gendis bertanya
Samuel mengangguk "Kamu bareng aku aja, ya!" Samuel merayu
"Aku kan disana mau kerja, El. Bukan mau main!" Jawab Gendis
Obrolan mereka terhenti saat Bude Sri datang
"Ayo, Nduk!" Ajak Bude Sri
Gendis lalu berpamitan kepada neneknya, yang sedari tadi menangis di dalam kamar. Ini adalah kali pertama ia dan cucunya akan berpisah, hatinya terasa sakit saat harus merelakan cucu satu-satunya itu merantau demi mencukupi kebutuhan hidup
"Gendis pergi dulu ya, Nek!" Pamit Gendis sambil memeluk neneknya
"Seandainya kita orang berada, kamu nggak perlu susah payah merantau seperti ini, Nduk!" Ucapan neneknya bagaikan duri yang menancap tepat di ulu hati Gendis
"Nenek jangan bicara seperti itu, Nek!" Ucap Gendis lembut "Bukahkan nenek dan kakek selalu ngajarin Gendis buat selalu bersyukur dalam keadaan apapun?"
Neneknya semakin terisak mendengar ucapan cucunya, dia yang dulu selalu menasehati cucunya, tapi sekarang dialah yang seolah menyalahkan takdir
'Seandainya ayahmu tau, Nduk! Mungkin kamu tidak akan pernah merasakan hidup kekurangan seperti ini' Batin Nenek Tini
Setelah berpamitan kepada Neneknya, Gendis dan Bude Sri berangkat menuju ke kota, untuk mencari bus yang bisa membawa mereka ke Jakarta
El mengantarkan Gendis sampai ke terminal, sedangkan Bude Sri diantarkan oleh putra sulungnya
"Kamu hati-hati disana ya, Nda!" Ucap Samuel sambil memeluk erat Gendis
Gendis hanya bisa mengangguk dengan lelehan air mata yang menganak sungai. Sejak meninggalkan rumah, Gendis terus saja menangis, begitu berat hatinya meninggalkan neneknya seorang diri, tapi bagaimana lagi jika keadaan yang memaksa ia harus pergi merantau
"Sudah jangan nangis!" Ucap Samuel setelah melepaskan pelukannya, ia lalu menghapus air mata di pipi mulus gendis dengan ibu jarinya
Air mata Gendis semakin deras menetes, ia pasti akan sangat merindukan neneknya dan Samuel nantinya
"Kamu nanti kalau sudah sampai langsung kabarin aku, ya!" Pinta Samuel, setelah bus yang akan Gendis tumpangi siap melaju
Gendis mengangguk "Kamu juga jaga diri baik-baik, El! Titip nenekku sebelum kamu pergi kuliah" Tulis Gendis dilayar ponselnya
"Pasti, Nda!" Jawab Samuel dengan senyum dipaksakan
Samuel sungguh berat saat melihat bus yang membawa Gendis semakin pergi menghilang
"Aku akan berusaha untuk melepaskan kita dari kerumitan ini, Nda! Aku tidak berjanji, tapi aku akan berusaha semampu ku!" Ucap Samuel sambil menatap kosong jalanan, berharap bus yang membawa Gendis kembali lagi
Samuel lalu melajukan motornya untuk pulang, disepanjang jalan pikirannya hanya terpusat pada Gendis, gadis yang sudah mengisi hari-harinya selama dua belas tahun ini
***
Disepanjang perjalanan, Gendis tak bisa menutup matanya. Pandangannya menatap kosong jalanan yang baru pertama kali ia lalui. Ia lalu mengambil kertas dan pensil serta alas untuk menggambar didalam tasnya
Jarinya mulai menarikan ujung pensilnya diatas kertas, membuat coretan-coretan yang lama kelamaan menjelma menjadi sketsa wajah dirinya dan seorang pemuda tampan, siapa lagi kalau bukan Samuel
Tak terasa bus yang ditumpangi gendis sudah tiba diterminal, entah sudah berapa lama ia dan Bude Sri di perjalanan. Gendis yang masih asik menyempurnakan hasil sketsanya, dikejutkan oleh kenek bis yang menyuruhnya turun
Gendis membangunkan Bude Sri yang sedari tadi tertidur pulas dikursinya, Gendis mengguncang tubuh Bude Sri pelan
"Ada apa, Nduk?" Tanya Bude Sri yang belum menyadari jika bis yang mereka tumpangi telah berhenti
Gendis menunjuk sekitar, sebagai tanda bahwa mereka sudah sampai
Bude Sri lalu mengajak gendis turun dan berjalan kedekat trotoar, Bude Sri merogoh tasnya untuk mengambil ponsel hendak menelpon keponakannya, memberi tahu bahwa mereka sudah tiba diterminal kampung rambutan. Jika saja ia tidak ketiduran pastilah ia sudah menelpon keponakannya sedari tadi agar mereka tidak perlu menunggu lama untuk dijemput
"Waduh malah hapenya mati, Nduk!" Ucap Bude Sri setelah memeriksa ponselnya "Kamu punya pulsa?" Lanjutnya bertanya
Gendis mengangguk
"Bude pinjem HP kamu buat nelpon lilis, ya? Biar dia sama bosnya jemput kita disini!"
Gendis lalu mencoba mengambil ponsel didalam saku celananya menggunakan tangan kirinya, karena tangan kanannya masih memegang pensil dan kertas sketsa serta alasnya menggambar, yang belum sempat ia masukkan kembali kedalam tas
Hembusan angin yang begitu kencang membuat sketsa ditangan kanan Gendis terbang kejalanan. ia tak dapat memegang sketsanya erat karena terlalu sibuk merogoh sakunya
'Aduuuuh terbang lagi!' Batin Gendis penuh sesal
"Apa tadi yang terbang, Nduk?" Tanya Bude Sri yang memang tidak memperhatikan apa yang dibawa oleh Gendis
"Cuma Sketsa, Bude!" Tulis Gendis dilayar ponselnya, ia lalu memberikan ponselnya kepada Bude Sri
Bude Sri lalu menelpon keponakannya agar menjemput mereka, mereka menunggu Lilis datang sambil makan diwarung pinggir jalan
Satu jam kemudian keponakannya beserta calon bos Gendis datang untuk menjemput mereka
"Bude?" Panggil Lilis sambil melambaikan tangannya
Bude Sri dan Gendis lalu nenghampiri Lilis, Lilis lalu mencium tangan Bude Sri kemudian bersalaman dengan Gendis
"Ndis, ini Ibu Lusi, bos kamu!" Lilis memperkenalkan
Lilis sudah menceritakan keadaan Gendis dan bagaimana kehidupan Gendis kepada Ibu Lusi. Dan ibu Lusi berserta suaminya tidak mempermasalahkan itu
Gendis berbeda tiga tahun lebih muda dari Lilis, Lilis adalah gadis yang baik, dahulu ketika sekolah dasar ia dan Gendis sering pulang dan berangkat sekolah bersama dan tentunya bersama dengan Samuel yang sejak pertama bertemu gendis ia selalu mengantar dan menjemput Gendis dengan sepedahnya
Gendis lalu mencium tangan Lusi. Saat pertama melihat Gendis, Lusi yakin kalau Gendis adalah gadis baik-baik
Sang sopir lalu melajukan mobilnya menuju rumah Lusi setelah Gendis dan yang lainnya duduk dikursi penumpang
Gendis begitu gugup, karena ini adalah kali pertama Gendis berada dikota, apalagi untuk bekerja
Lilis yang menyadari itu lalu menggenggam tangan dingin Gendis untuk menenangkan
"Jangan takut! Ibu Lusi dan keluarganya orang baik!" Bisik Lilis ditelinga Gendis
Gendis mengangguk lalu menarik napasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan untuk mengurangi rasa gugupnya
Kurang dari satu jam mobil yang membawa Gendis dan lainnya tiba disebuah rumah mewah milik keluarga Lusi, yang tak lain adalah rumah tempatnya bekerja nanti
Gendis turun dari mobil dan diajak masuk kedalam oleh Lusi. Sedangkan Bude Sri memilih untuk menginap ditempat Lilis bekerja
"Gendis, ini Mbok Minah!" Ucap Lusi memperkenalkan Gendis dengan seorang wanita tua yang Gendis perkirakan seusia neneknya
Gendis lalu mencium tangan Mbok Minah
"Mbok, Gendis ini nanti yang akan bantu-bantu Mbok!" Jelas Lusi "Mbok ajarin dia ya, karena dia baru pertama kerja!" Ucapnya lembut
Mbok Minah lalu mengajak Gendis kedalam kamar untuk beristirahat
***
Jangan Lupa tinggalkan jejak yea Readers, dengan cara tekan like, komen dan vote, serta jadikan favorite jika kalian menyukai cerita ini
Peluk cium via online dari Author🤗😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Rokiyah Yulianti
mudah2an majikannya nanti pada baik2 semua ya
2021-03-01
1
AturUlang
Dah mampir kak. Ceritanya menarik. Like juga sudah mendarat
2021-02-12
1
Yoo_Rachel
Hadir double like mendarat...
salam dari Raja Demian tokoh I NEED MY ENEMY TO LOVE...
2021-02-02
1