Siang ini matahari bersinar dengan gagahnya. Amanda merasa kulitnya perih sekali tersengat sinar matahari. Sepertinya syaraf-syaraf halus di kulitnya masih terkejut akan perubahan suhu yang baru saja dirasakannya. Dua buah AC di dalam kelas membuat suhu ruangan terasa adem. Berbeda jauh dengan suhu udara di luar kelas. Angin pun seolah segan berhembus siang ini.
Amanda berjalan cepat di antara antrian mobil-mobil mewah di depan gerbang sekolah.
"Heyyy...!!! Amanda!" Teriak seorang gadis di belakangnya. Amanda menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang, mencari-cari dari mana asal suara yang memanggilnya.
Amel melambaikan tangannya dengan gerakan cepat. Amanda akhirnya menemukan Amel di antara kerumunan siswa-siswa yang sedang berdiri dan bercengkerama. Amanda melempar senyum dan membalas lambaian Amel.
Amel berlari-lari kecil menghampiri Amanda. "Kita ke situ aja dehhh..." Ajak Amel sambil menarik tangan Amanda. Mereka berdiri di bawah sebuah pohon yang rindang tak jauh dari gerbang sekolah.
"Kamu juga nunggu jemputan, bukan? Hehehe..." Amel bertanya dengan polos. Amanda menggeleng. "Ga, Mel. Aku pulang naik angkot." Jawab Amanda jujur.
"Apa!? Naik angkot? Panas-panas begini?" Tanya Amel lagi. "Iya. Gapapa sihh... Aku kan udah biasa." Amanda menjawab apa adanya. Amel melongo sejenak. Dia mencoba mencerna jawaban Amanda.
"Hmmm... Kalau saja kita searah, bisa barengan yahhh..." Ujar Amel. Amanda membalas kata-kata Amel dengan senyuman.
"Kok belum dijemput, Mel?" Tanya Amanda. "Iya, Om Danu terjebak macet nih. Barusan nelpon aku." Amel menjelaskan mengapa supirnya terlambat menjemput siang ini. Dia terlihat agak kesal.
"Oh... Ya udah, aku temenin kamu deh nungguin jemputan." Ujar Amanda dengan wajah yang ceria.
"Wahhh... Beneran nih gapapa?" Amel merasa segan. "Ntar kamu ketinggalan angkot." Sambung Amel. "Hahaha... Angkotnya banyak lohhh Mel. Santai aja. Aku juga ga buru-buru kok..." Ujar Amanda santai. Dia tidak tega meninggalkan Amel sendirian menunggu di bawah pohon ini. Amel adalah teman pertamanya di sekolah. Dia tidak akan pernah melupakan hal itu.
Smartphone Amel berbunyi. Dia segera menerima panggilan dan menekan tombol loudspeaker di smartphone-nya. "Amel, om udah deket ya." Suara seorang laki-laki di seberang sana terdengar jelas di kuping Amanda. "OK, om! Amel berdiri di bawah pohon besar deket gerbang ya om." Amel menjelaskan posisinya pada om Danu. "OK." Jawab om Danu singkat. Amel kemudian memutuskan panggilan di smartphone-nya.
Sebuah mobil Pajero Sport berwarna hitam berhenti tepat di hadapan mereka. "Makasih ya Amanda, udah temenin aku," ucap Amel senang. "Yukkk aku anterin sampe ke halte." Amel menawarkan bantuannya.
"Gapapa Mel. Aku jalan aja. Udah deket tuhhh. Kasihan kamu harus muter lagi kalau nganterin aku." Ujar Amanda sambil tersenyum sumringah.
Amel mempertimbangkan kata-kata Amanda. "OK dehhh... Kamu hati-hati ya." Amel berkata dengan berat hati. "Iya, kamu juga." Ujar Amanda masih dengan senyumannya yang tulus.
Om Danu segera melanjutkan tugasnya, membawa Amel pulang ke rumahnya. Amanda menatap dengan terpana. Sepertinya semua siswa di sini punya supir pribadi, fikir Amanda.
Amanda berjalan kembali dengan penuh semangat. Dia berjalan cepat di antara beberapa mobil mewah yang sedang parkir. Amanda hampir saja menubruk seorang gadis yang tiba-tiba keluar dari salah satu pintu mobil.
"Ehh... Maaf kak." Ujar Amanda buru-buru sambil menunduk. Gadis itu hanya menatap Amanda dengan ekspresi kaget. Hampir saja dia membuat Amanda jatuh. Seorang cowok keluar dari pintu mobil bagian depan.
"DEG!!!" Jantung Amanda hampir saja terlontar keluar. Kak Edo keluar dari mobilnya dengan gaya cuek. Dia menatap sekilas ke arah Amanda sambil tetap berbicara di smartphone-nya. Sedangkan gadis tadi sudah masuk kembali ke mobil Edo. Terlihat beberapa siswa senior di dalam mobil.
Seorang gadis berlari kecil di belakang Amanda. "Edo, aku nebeng ya!" Ujar gadis itu cepat. Edo mengangguk. Gadis itu masuk ke mobil Edo dan duduk di depan. Canda tawa terdengar dari dalam mobil Edo.
Edo berjalan melewati Amanda, dia tidak tersenyum apalagi menyapa. Sambil memutuskan telponnya, dia masuk ke dalam mobil dan membawa mobilnya melaju cepat meninggalkan Amanda.
Amanda terpaku. "Apakah kak Edo tidak mengenalnya?" Amanda bertanya-tanya dalam hatinya. Bukankah mereka baru saja bertemu tadi pagi. Bagaimana bisa kak Edo tidak mengenalnya siang ini.
Amanda melangkah gontai. Dia merasa sedikit sedih. "Ya, aku kan bukan siapa-siapa. Mungkin juga dia lupa kejadian tadi pagi." Amanda mencoba menghibur dirinya sendiri. Mungkin memang lebih baik kak Edo melupakan dirinya dan kejadian tadi pagi. Itu pasti lebih baik. Setidaknya wajah kak Edo tadi tidak terlihat kesal.
Amanda tiba di halte. Beruntung bagi Amanda, halte terlihat sepi siang ini. Dia langsung duduk melepaskan penatnya. Amanda mengeluarkan tissue yang ada di dalam tasnya. Keringatnya sudah mulai bercucuran akibat udara yang terlalu panas. Dia menyeka butiran-butiran halus keringat di dahinya.
"Tumben sepi ni halte." Gumam Amanda sambil memutar pandangannya. Dia duduk bersandar di salah satu bangku. Memori kejadian yang baru saja terjadi melintas lagi di benaknya. Dia termangu. Dia merasa sedih lagi, namun tidak tahu apa yang perlu disedihkan.
Seorang siswa berjalan cepat dengan wajah kesal ke arah halte. Amanda tersentak mendengar bunyi langkah kaki yang mendekat ke arah halte. Dia menajamkan pandangannya dan melihat sosok cowok yang kurus dan tinggi berjalan cepat ke halte.
"Huffftttt... Anak itu lagi." Amanda menggerutu dalam hati. Sebenarnya dia lebih senang sendirian di halte daripada bersama cowok aneh itu.
Doni kelihatannya sedang sangat emosi jiwa. Wajahnya terlihat kesal sekali. "OK, pa. Iya iya, aku ke sana!!" Ucap Doni geram. Dia menutup telponnya dengan wajah kusut. Handsfree masih bertengger di kedua telinganya. Dia duduk tak jauh dari Amanda. Dia mencoba mendengarkan musik favoritnya untuk meredakan emosinya. Sulit sekali menenangkan diri di cuaca panas begini.
Dua siswa yang sedang berada dalam kondisi mood yang tidak baik itu sama-sama terdiam. Mereka sibuk dengan fikirannya masing-masing. Amanda menyadari kehadiran Doni, begitu juga sebaliknya. Namun tidak ada satupun di antara mereka yang ingin memulai percakapan.
Amanda berharap angkot yang dia butuhkan segera lewat. Dia mulai merasa canggung berdiam diri terus dan berdua dengan Doni di halte.
Seorang pengemis tua berpakaian compang-camping tiba-tiba menghampiri halte. Amanda terkejut setengah mati. Dia terlalu sibuk dengan lamunannya sendiri sehingga tidak menyadari kehadiran pengemis tua tersebut.
Pengemis tua itu menyodorkan topinya yang lusuh sambil menyeringai ke arah Amanda. Amanda menjadi gelagapan. Jujur saja dia tidak punya uang yang bisa dia berikan, uangnya pas-pasan hanya cukup untuk ongkos pulang.
Pengemis tua itu tak bergeming, dia menyeringai lebih lebar. Amanda mulai merasa ketakutan. Dia melirik Doni yang duduk bersandar santai tidak jauh darinya. Yang dilirik ternyata sedang memejamkan mata, menikmati lagu demi lagu dari smartphone-nya. Sepertinya Doni juga belum menyadari kehadiran pengemis tua itu.
Amanda menjadi sedikit panik. "Maaf ya pak..." Amanda berkata sambil mengangkat tangannya pelan. Dia memberi tanda bahwa dia tidak bisa memberikan uang. Dia berharap pengemis tua itu segera beranjak pergi menjauh. Jantungnya mulai berdebar.
Tiba-tiba Doni bangun dari duduknya dan berjalan ke arah Amanda dan pengemis tua. Dia merogoh saku celananya. "Sial... Cuma ada selembar uang lima ribuan." Gerutu Doni dalam hati. Itu adalah uangnya untuk membayar ongkosnya siang ini.
Pengemis tua itu mulai tertarik dengan Doni. Dia menyodorkan topinya ke arah Doni. Doni membuka ransel dan mengeluarkan dompet. Dia mencari-cari uang di sela-sela dompetnya. "Yaelahhh... Cuma ini doang!" Doni menggerutu lagi dalam hati. Pengemis tua itu terlihat sudah tidak sabar.
"Ini pak." Ucap Doni. Dia mengeluarkan selembar uang merah dan memasukkan ke dalam topi lusuh pengemis tua itu. Pengemis tua memandangi uang pemberian Doni dengan mata berbinar dan mulut yang menyeringai lebar. Dia kemudian meninggalkan Doni dan Amanda yang terpana di halte.
Amanda melongo, dia shock melihat Doni memberikan uang seratus ribu untuk pengemis tua tadi. Itu bisa buat jajan Amanda selama dua minggu.
Amanda tidak mampu menahan diri untuk tidak berkomentar. "Kenapa ga ngasih uang lima ribu itu aja?" Tanya Amanda. "Itu kan ongkos aku." Jawab Doni cuek. "Kan bisa bayar pake uang seratus ribu tadi." Cecar Amanda lagi. "Lah... Ntar sopir angkotnya kerepotan nyari uang kembalian." Doni menjawab cepat. Dia kembali duduk, kini sudah lebih dekat dengan Amanda.
Amanda melongo. "Iya juga sih..." Amanda bergumam sendiri. Jawaban Doni cukup masuk akal. Ah sudahlah... Setidaknya dia merasa aman, pengemis tua itu sudah pergi jauh setelah diberikan uang oleh Doni.
Sudah lebih dari setengah jam mereka menunggu di halte. Amanda merasakan perutnya mulai keroncongan. Sebentar-sebentar dia melirik jam tangannya.
Doni memandang warteg di seberang jalan. Kerongkongannya sudah terasa sangat kering. Tapi dia tidak punya uang cash lagi untuk membeli minuman.
"Eh... Aku boleh pinjem duit?" Doni bertanya to the point. Amanda gelagapan. "Errrr... Ini juga tinggal ongkos." Amanda menjawab dengan nada bersalah. Dia sedikit menyesali kenapa tadi pagi dia sampai lupa membawa dompetnya.
"Oh... Ya sudah." Jawab Doni. Dia kembali duduk dan bersandar sambil memejamkan mata. Mencoba menikmati lagu-lagu favoritnya. Amanda memilih diam dan melirik lagi jam di pergelangan tangannya dengan tidak sabar.
"Dasar aneh. Tadi ngasi uang buat pengemis ga pake mikir. Sekarang minta ngutang juga ga pake mikir." Amanda menggerutu dalam hati. Dia heran sendiri dengan sikap Doni.
Akhirnya angkot yang ditunggu-tunggu tiba. Amanda segera berdiri dengan bersemangat. Dia langsung naik, disusul oleh Doni di belakangnya.
Doni memilih duduk di samping Amanda. Padahal jelas sekali banyak tempat duduk kosong yang bisa dia pilih karena siang ini penumpang angkot tidak seramai biasanya.
Amanda ingin protes. Namun dia sadar angkot adalah transportasi umum, jadi dia tidak berhak protes. Toh Doni juga tidak mengganggu siapapun di dalam angkot. Maka Amanda memilih protes di dalam hati saja.
Amanda betul-betul merasa kelaparan. Bunyi perutnya yang sudah kosong tidak dapat dia sembunyikan. Doni melirik cepat ke arah Amanda. Amanda nyengir kuda.
"Apa dia mendengarnya? Bukankah dia menggunakan handsfree di kupingnya? Dasar aneh." Ujar Amanda dalam hati.
Doni memberi tanda pada supir angkot untuk berhenti. Dia bergegas turun dari angkot dan membayar ongkos. Angkot berjalan kembali.
Amanda terheran-heran lagi. "Kenapa dia turun lagi di sini?" Batin Amanda. "Apa dia memang tinggal di dekat sini? Beneran aneh tu anak!" Amanda menimbang-nimbang sendiri. Rasanya tidak mungkin ada perumahan warga di sekitar kawasan itu.
Sepengetahuan Amanda, kawasan itu adalah pusat perkotaan, ada balai kota, gedung-gedung perkantoran dan perusahaan yang menjulang tinggi, dan hotel-hotel mewah berbintang. "Masa iya dia tinggal di hotel?" Amanda mulai menerka-nerka. Tapi kok rasanya mustahil.
Semakin berfikir, Amanda semakin merasa lapar. Dia berharap segera sampai di rumah dan menikmati makan siangnya dengan lahap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 166 Episodes
Comments
Akbar
lha gw hari pertama masuk sekolah,,saat MOS katosnya langsung kenalan Ama gw,,disuruh ini disuruh itu tp GK pernah disuruh keanak cowok,,setelah MOS 3 hari🙄gw ditembak Ama katos Jd pacarnya akhirnya gw Nerima perasaannya,,hampir 4 THN pacaran akhirnya dia ngelamar gw dan akhirnya kita nikah,,dan Alhamdulilah skrg udah punya anak 1 baru berumur 4 bulan😌😌
2022-09-13
1
Dewayu
keren thour ceritanya, ringan untuk dibaca👍👍👍👍
2021-04-25
1