“ Aning....Aning...kamu ini lucu sekali. Mimpimu itu bagus, deh ! “ canda Papa sambil tertawa kecil.
“ Aku tahu ini kedengarannya agak gila, tapi kota itu benar-benar ada, Pa ! “ tuturku pelan. Aku lalu bercerita padanya tentang Annamaya, Intipalla, dan juga bau asap yang membuatku pingsan. Papa mendengarkan semua ceritaku dengan senyum yang tak hilang dari bibirnya. Dalam hati aku benar-benar dongkol dan merasa di anggap
seperti orang bingung.
“ Nanti kalau kita sudah balik ke Jakarta, kamu harus ngecek ke rumah sakit, ya Ning ?!! “
“ Kalau Papa tak percaya, tanya sama Arya sana, dia bersama-sama dengan aku di kampung itu, Pa ? “ pintaku memohon.
“ Arya sendiri baru bangun Aning, kelelahan setelah berjalan naik gunung kemarin seharian, tuh dia lagi makan snack, “ tunjuk Papa, benar juga, Arya sedang makan snack disamping Mama. Tak ada tanda-tanda diwajahnya,
bahwa dia baru saja melihat sesuatu yang sangat luar biasa, seperti emas dalam jumlah banyak.
“ Arya, bilang dong sama Papa, kita tadi ketemu sama Intipalla dan Annamaya, kan ?! “ aku berusaha untuk meyakinkan Papa, tapi anehnya, adikku hanya menatapku heran, lalu katanya,
“ Inti apa, kak ? apa sih yang Kak Aning bicarakan ? “
“ Intipalla...calon Sapa Inca dari Kota yang Hilang, trus...Annamaya...gadis cantik berkulit coklat yang kamu suka, kamu ingat kan, Ya ? “ desakku, berharap Arya akan ingat. Tapi adikku itu hanya menggelengkan kepalanya.
“ Aduh.... siapa sih orang-orang yang Kak Aning sebut itu ? Arya jadi capek deh... “ dia kemudian berlalu, meninggalkan aku yang langsung jadi sebal setengah mati padanya.
Sungguh, kali ini aku tak mengerti apa yang terjadi pada Arya. Mengapa dia tak ingat apa-apa ? mengapa hanya aku yang mengingat dengan jelas apa yang terjadi sebelumnya ? ataukah memang aku hanya bermimpi ?. Semuanya terasa begitu nyata, bahkan bagaimana aku bisa menjelaskan benjolan akibat pacul di kepalaku, atau kotoran di celanaku ?.
Kulirik jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 14.30 menit. Jam bangun pagi yang aneh. Selelah apapun, keluarga kami tak pernah bangun diatas jam 10 pagi.
“ Ma, Aning kan tak kelihatan dari pagi, kok nggak dicari, sih ? “ tanyaku, mencari penjelasan pada Mama. Rasanya tak masuk akal, semua orang tidak melihat adanya kejanggalan disini.
“ Aning, kita semua kelelahan, tak ada orang yang bangun dibawah jam 10 pagi, makanya, begitu melihat kamu dan Arya nggak ada, Mama pikir, kamu pasti sudah bangun duluan, dan berkeliling dengan kamera digital kamu, seperti biasanya, “ Mama terlihat mulai kesal, mungkin karena aku masih terus bertanya. Tapi aku tetap tak merasa puas.
“ Tuh kan, kata Papa, Arya tidur. Kok Arya yang menemukan aku, sih ? “ tak sesuai dengan logika semua ini.
“ Tadinya Arya juga tak ada, katanya sih dia pergi jalan-jalan sebentar, tapi kemudian dia balik ke tenda, dan tidur lagi, sebelum akhirnya dia menemukan kamu pingsan, udah ah pertanyaannya ! “ Mama menyudahi sesi tanya jawabku dengan langsung berdiri, dan pergi ke tempat penggalian, menyusul Papa. Aku makin tambah bingung dengan penjelasan Mama yang untukku sangat kurang jelas itu.
Papa mengusap rambutku sambil terus senyum dan berbalik menuju ke arah lokasi penggalian.
Meninggalkan aku yang terpaku dengan sejuta tanda tanya bermain dibenakku. Aku yakin sekali, kalau itu bukan mimpi.
“ Kenapa cemberut, Ning ?! “ Om Hans muncul dari belakang tenda. Dia membawa sesuatu yang kelihatannya
seperti pot tanaman atau sejenisnya. Aku hanya menggeleng tanpa mengucapkan apa-apa. Om Hans lalu meneruskan tugasnya, membawa pot berat itu ke tenda stock, tanpa memperdulikan aku, dan itu lebih baik karena sekarang aku tak ingin bicara dengan siapapun juga !.
Setelah agak pulih, aku lalu memutuskan untuk pergi lagi ke tepi jurang, tempat dimana berada jalan untuk masuk ke kampung Annamaya & Intipalla itu. Tanpa memberitahukan pada siapapun, aku langsung berangkat. Mungkin aku bisa membawa bantuan bagi Annamaya, hingga teman baruku itu tak akan dikorbankan sebagai syarat melengkapi ritual peneguhan pemimpin baru mereka.
Tanpa banyak kesulitan yang berarti aku sampai ke tepi jurang itu. Aku yakin bahwa aku tak pernah bermimpi, kalau tidak, bagaimana aku bisa tahu jalan untuk menuju ke situ ? dan juga pohon besar itu ?
Namun, saat aku melongok ke bawah, batu tempat kami berdiri kemarin sudah tak ada lagi, juga pintu yang ku lihat terbuat dari batu, ternyata adalah tanah yang berumput. Papa benar, aku hanya bermimpi, tapi itu benar-benar mimpi yang sangat aneh. Terasa begitu nyata, dan aku sendiri tak bisa menjelaskan benjolan di kepalaku, dan juga
tanah yang ada di pantat celanaku. Benar-benar membingungkan. Tiba-tiba bulu kudukku mulai berdiri, cepat-cepat aku mulai berjalan kembali ke tempat penggalian.
Langkah kakiku sudah mendekati jalan setapak menuju perkemahan kami, tiba-tiba aku mendengar suara-suara orang yang menuju padaku, dan sepertinya berasal dari arah perkemahan. Entah didorong oleh apa, aku langsung melompat ke balik semak-semak yang berada di bawah sebuah pohon besar, dan bersembunyi disana, menunggu
suara-suara itu mendekat. Pandangan mataku cukup jelas untuk melihat kearah jalan setapak, tetapi mereka yang datang dari arah perkemahan itu akan susah untuk melihatku, karena terhalang oleh sinar matahari sore yang menyilaukan mata.
Ketika akhirnya suara-suara itu berwujud, ternyata om Erold dengan grupnya, aku baru saja mau keluar dari balik semak-semak, ketika terdengar suara mereka yang menyebut-nyebut namaku, membuatku urung keluar.
“ Dave, kamu berhasil mengikuti Aning ? “ tanya om Erold pada temannya, seorang bule berbadan kekar dan berambut merah.
“ Tentu saja, tapi aku heran, anak itu hanya berdiri di tepi jurang sambil melongok-longok kedalam jurang tersebut. Kelihatannya jadi mirip-mirip orang mau bunuh diri ! “ ucapan bule bernama Dave itu diikuti derai tawa teman-teman mereka yang lain, termasuk om Erold. Seseorang yang aku tak tahu siapa namanya menyambung ucapan si Dave
itu,
“ Mungkin anak itu sudah mulai gila terkena Sick Alttitude, barangkali ?! “
Kurangajar ! aku jadi sebal sama mereka, masak aku dibilang sudah gila ? lagipula apa alasan si Dave untuk membuntuti aku ?tanyaku dalam hati.
Aku tersentak, ingatanku kembali berputar kembali pada saat aku tersadar dari pingsanku, Om Erold menatapku dengan pandangan penuh kecurigaan. Mungkinkah mereka curiga bahwa aku benar-benar pergi kesuatu tempat yang mereka cari selama ini ?
Tetapi kemudian aku tertawa dalam hati, karena aku kan hanya bermimpi, dan sudah kubuktikan bahwa itu memang hanyalah sebuah mimpi. Aku sudah kembali ke tepi jurang itu, dan tidak ada apa-apa disana, bahkan pohon yang akarnya mereka gunakan sebagai kunci untuk masuk kedalam lorong menuju kampung Inca itu juga tak ada bekasnya. Dalam hati aku memuji imajinasiku sendiri, sebab benar-benar itu terasa nyata.
Kulihat rombongan om Erold terus berjalan, dengan si bule Dave sebagai penujuk jalannya. Aku jadi penasaran, diam-diam ku buntuti mereka perlahan. Aku sudah tahu mereka akan kemana, tapi aku mau tahu apa yang akan mereka lakukan sesampainya disana.
Perjalanan sedikit terhambat, karena si Dave rupanya kurang begitu hapal dengan jalan menuju tepi jurang, karena beberapa kali dia berhenti untuk mengingat-ingat jalan mana yang harus diambil, jika mereka tiba di beberapa persimpangan jalan-jalan setapak. Setelah berjalan kurang lebih 15 menit, mereka tiba di tepi jurang itu. Aku
segera mengambil posisi tepat dibelakang mereka, bersembunyi di semak-semak belukar untuk mengamati semua yang akan terjadi.
Sedetik kemudian, aku baru menyadari, bahwa pohon yang tadinya saat aku kembali tidak ada, kini sudah berdiri tegak ditempatnya semula. Rupanya, si bule berambut merah itu juga menyadari akan hal itu.
“ Wah, bukannya pohon ini tadi tak ada disini ? “ dia mengungkapkan keheranannya
“ Apa maksudmu, Dave ? “ om Erold tak mengerti perkataan Dave
“ Tadi, ketika aku membuntuti anaknya si Donald, ketika dia berdiri ditepi jurang ini persis dimana pohon itu berada, aku tak melihat sebatang pohonpun bertumbuh disini, apalagi sebesar ini. “
“ Jadi, maksudmu, pohon sebesar ini hanya tumbuh dalam waktu semalam-dua malam, begitu ? kamu ini ada-ada saja.... “
“ Tapi.... “ si bule tak melanjutkan kata-katanya, mungkin karena yang dikatakan oleh Om Erold ada benarnya, lagipula, siapa yang akan percaya dengan sebuah pohon sebesar badan gajah bisa tumbuh hanya dalam waktu semalam ?
Aku jadi panik bercampur senang, ternyata itu bukan mimpi. Apa yang aku alami adalah sebuah kenyataan. Intipalla, Annamaya, mereka berdua nyata!
(BERSAMBUNG)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Sandi Tamansa
❤❤❤❤❤
2021-01-20
2