Misteri Kota Yang Hilang
“Hoiiiiii……tunggu dong !!“ lantang terdengar suara teriakan Mama.
Papa, aku dan Arya adikku sejenak menghentikan langkah-langkah kami. Nampak dari balik rerumputan setinggi bahu, Mama muncul dengan wajah capek sekali. Tetapi yang paling mengkhawatirkan adalah, wajah capek Mama disertai dengan kedua alis bertaut satu sama lain, yang artinya bahwa Mama lagi marah.
“Sumpah mati, ini terakhir kalinya aku ikut kalian, petualang-petualang sableng !“ terdengar Mama mulai lagi dengan pidato-nya.
Aku sendiri jujur saja sudah mulai capek, apalagi di ketinggian lebih dari 3000-an meter di atas laut seperti ini, udara dingin yang di campur dengan tekanan atmosfer memang benar-benar mengganggu. Kalau saja tak ingat dengan cita-citaku untuk menjadi seorang arkeolog terkenal, takkan pernah mau aku bersusah payah datang di Peru, salah satu negara tempat berkumpulnya para Arkeolog ternama, untuk menggali misteri bangsa Inca, yang hingga saat ini masih menjadi tanda tanya terbesar. Rasa penasaran terbesarku juga.
“ Tenang, Ma...udah mau sampe, kok ! nggak lama lagi, tuh puncaknya udah keliatan. “ ujar Papa mencoba untuk menenangkan Mama yang sudah mulai kumat lagi cerewetnya.
Aku hanya senyum pegel (gimana ya, model senyum pegel itu ? mungkin senyum campur pegel, barangkali?), sambil mulai melanjutkan langkahku, menaiki gunung.
“Tenang...tenang...tenang...enak saja Papa bicara, kaki Mama nih...sudah bengkak kayak kaki gajah !!.. “ rutuk Mama sebal.
Papa kelihatan mengkerut, kalau hidung Mama sudah kembang kempis kayak kerbau yang baru mau diadu, lebih baik tutup mulut, daripada dilempar pake sandal seperti biasanya.
“Dasar pelit !! katanya liburan...ini sih bukan liburan, kalau orang mau liburan, itu buat ngilangin stress, bukannya bikin tambah stress kayak gini. Dasar Papa pelit ! Nggak mau keluarin duit buat liburan, ke pegunungan Alpen kek, ke Paris kek, ke Amerika kek, DASAR PELIT !! “ rupanya Mama masih belum puas juga mengomeli Papa.
Kami semua hanya diam, sebab kalau ada yang buka suara, pasti omelan Mama bakalan tambah panjang 2 hari 2 malam lagi.
“ Papa yang mau kerja, kita yang ikut-ikutan repot. Pakai acara bilang mau liburan, lagi !!“ kali ini wajah Mama sudah lebih mirip dengan kepiting rebus, itu artinya bahaya sudah sampai pada level terakhir.
“ Ini kita juga kan ke Amerika, Ma..Amerika bagian Selatan, maksudnya..” Arya menyahuti omelan Mama yang lalu diikuti oleh suara mengaduh,
Aduh !! sakit nih Ma...Arya kan Cuma bercanda... “ benar kan ? sandal gunung Mama tiba-tiba sudah melayang ke kepala Arya dengan kecepatan yang lumayan.
Entah bagaimana Mama bisa melakukan hal itu, membuka sandal gunung yang banyak talinya dengan cepat, dan melemparnya keatas kepala Arya.
“ Kamu sama saja dengan Papa kamu !! HUH ! “ tergesa Mama memakai kembali sandal gunungnya, lalu melangkah maju menaiki gunung.
Mungkin karena rasa marah, tanpa sadar Mama sudah berjalan jauh melewati kami, hingga dua menit kemudian baru tersusul oleh kami bertiga. Mama tengah duduk diatas batu ditepi jalan setapak sambil menangis karena kehausan. Air minum bekal milik Mama sudah habis.
“Papa benar-benar nggak punya perasaan sayang sama Mama, katanya mau ngajak Mama liburan, tapi malah
bikin Mama susah kayak gini....“ ratap Mama, yang sekilas mirip-mirip ibu-ibu di filem-filem India, pake acara goyang-goyang kepala segala.
“Mama sih...pake acara jalan duluan, air minum Papa tinggal sedikit nih...“ keluh Papa tapi tak berani meninggikan suaranya, karena sudah keburu dipelototin Mama.
Enam jam kemudian, setelah berjalan hampir selama 10 jam, sampai juga kami akhirnya di tujuan. Sepertinya bekas salah satu perkampungan bangsa Inca. Benar-benar mengagumkan, apalagi saat melihat bekas rumah-rumah mereka yang di atur sedemikian rupa hingga terbentuk seperti sawah-sawah yang ada di Bali, berpetak-petak dan juga berbentuk seperti tangga besar yang setiap anak tangganya mempunyai sederetan rumah yang saling sambung-menyambung.
Bekas-bekas kampung tersebut banyak yang kini tinggal reruntuhan. Memang sangat menyedihkan bagi para arkeolog, karena sangat sulit bagi mereka untuk menyelesaikan sebuah penelitian bila yang tertinggal hanya
reruntuhan saja, karena segalanya harus disambung-sambung satu persatu, dan itu memakan tak hanya waktu yang banyak, tetapi juga dana penelitian yang tak sedikit.
Apalagi, orang-orang di bagian Amerika Selatan seperti di Peru ini, masih agak mirip-mirip seperti Indonesia,
banyak yang tidak pernah mengecap pendidikan di bangku sekolah, sehingga masih cukup banyak yang tidak tahu tentang pentingnya pelestarian peninggalan-peninggalan bersejarah semacam itu. Ditambah dengan kurangnnya informasi karena tempat tinggal mereka yang terisolasi, sehingga sering terjadi perusakan masal tempat-tempat bersejarah peninggalan jaman purba dengan alasan untuk mencari harta karun.
Di negara seperti Peru, ada banyak situs-situs peninggalan masa lampau seperti reruntuhan kuil, makam, ada banyak bekas-bekas kampung seperti yang kami sedang lewati dan tidak sedikit pula orang-orang yang menemukan harta peninggalan seperti emas didalam kuil-kuil dan makam-makam, membuat para penjarah tidak segan-segan merusak bangunan kuil atau makam, untuk mencari harta-harta yang mungkin masih tersembunyi didalamnya. Ada yang berhasil menemukan harta semacam itu, tetapi tidak sedikit jugayang sudah merusak kuil atau makam, tetapi tak berhasil mendapatkan apa-apa.
Saat tiba di Base Camp, Papa langsung menemui teman-teman arkeolognya yang sudah sampai duluan, sedangkan aku, Mama dan Arya mulai memasang tenda-tenda kami. Teman-teman arkeolog Papa berasal dari berbagai negara, yang kesemuanya dibiayai oleh sponsor-sponsor yang selalu membiayai ekspedisi Papa dan
teman-teman Arkeolognya.
Karena sudah biasa ikut dengan Papa dalam berbagai ekspedisi arkeologi-nya, bagi kami sekeluarga, berkemah seperti ini bukan hal yang asing lagi. Mama bahkan yang paling cepat diantara kami dalam hal memasang tenda. Jadi, kami sudah terbiasa untuk melakukan segalanya secara sistematis, tanpa perlu berharap pada Papa.
Sebagian besar dari teman-teman Papa sudah aku kenal. Yang paling aku suka adalah Om Hans dari Jerman, soalnya dia pintar main sulap dan selalu main sulap setiap kali aku memintanya. Ada juga Om Jacques dari Perancis yang bisa menggerakkan telinganya seperti kelinci, sayang sekali setiap dia bicara dalam bahasa Inggris, aku sedikit susah untuk mengerti apa yang dia ucapkan karena ‘French-English’ aksennya yang sangat kental.
Kali ini, ada beberapa orang yang belum aku kenal, termasuk seorang Indonesia yang bernama Om Erold. Mukanya mengingatkan aku pada burung hantu. Bermata besar, dengan wajah yang selalu cemberut. Aku langsung tak suka padanya, juga teman-temannya.
Mereka semua adalah kelompok baru yang kata Papa juga dibiayai oleh perusahaan yang menjadi sponsor
Papa dan kelompoknya, mereka bergabung dengan kelompok Papa karena ekspedisi kali ini adalah sebuah ekspedisi spesial, yang tak mau dirinci oleh Papa apa yang membuatnya spesial.
Bukannya aku tak pernah mencoba untuk bertanya pada apa tentang ekspedisi kali ini, tapi Papa hanya menggelengkan kepalanya, membuatku makin sebal. Padahal, aku sangat tertarik dengan apa yang Papa lakukan sebagai seorang arkeolog. Satu hal yang aku ketahui saat membongkar kantor kerja Papa dirumah, bahwa kali ini penggalian arkeologi mereka berhubungan dengan bangsa Inca yang sangat terkenal itu. Dunia arkeologi memang seperti itu kata Papa, ketika mereka menemukan sesuatu dari hasil peninggalan orang-orang di masa lampau, itu bisa menjadi langkah atau petunjuk pertama dari barang-barang peninggalan lain.
Semuanya seperti sebuah cerita bersambung yang tak akan pernah habis-habisnya, sebab saat mereka sudah menemukan sebuah keseluruhan cerita tentang kehidupan sebuah suku dimasa lampau lewat benda-benda yang mereka temukan dalam sebuah situs arkelogi, selalu saja ada barang yang menghubungkan suku atau bangsa itu dengan sebuah suku lain ditempat yang lain pula, yang seringkali suku itu belum dikenal oleh dunia, dan kembali memerlukan sebuah penelitian arkeologi yang baru.
Itulah sebabnya mengapa aku sangat tertarik dengan pekerjaan Papa, dan menjadikannya sebagai nomor 1
dalam daftar cita-citaku.
Suasana mulai menjadi semakin dingin dan lembab. Ku lihat Adikku Arya sudah mengenakan mantel tebalnya, yang di beli Papa hari pertama kami tiba di Lima*.
Liburan kali ini memang tak sama dengan liburan yang kemarin-kemarin. Mulanya Mama ingin ke Amerika, sebab ada tante Ira, adik Mama yang tinggal di New York. Katanya sih, dia mau melihat bekas bangunan WTC yang di bom itu, lalu dia menawarkan Paris, juga ke pegunungan Alpen, akhirnya karena Papa berkeras mau melakukan ekspedisi penting, Mama lalu bilang gimana kalau ke Mesir, sekalian Papa melakukan penelitian disana, dan juga agar Mama bisa melihat kuil Abu Simbel yang tak sempat dialihat sewaktu berbulan madu dengan Papa dulu.
Soalnya, mereka harus pulang mendadak gara-gara Mama terserang malaria. Tapi, kata Papa kami semua harus ke Peru, karena dia sudah mendapat sponsor yang akan membiayai pencarian grup arkeolog yang di pimpin Papa, untuk memulai kerja mereka di Peru, meneliti jejak suku Inca yang sangat terkenal itu.
Setelah rapat keluarga yang cukup seru karena disertai dengan bentakan-bentakan dan ancaman-ancaman Mama seperti akan merajuk dan tak mau ngomong sama aku dan Arya, dan saat pengambilan suara, Mama kalah. Makanya, liburan kali ini di alihkan ke Peru. Meskipun Mama sempat mengancam aku, kalau aku tak berpihak padanya, jatah jajanku akan dia potong, aku tetap memilih Peru. Soalnya, aku kan belum pernah pergi kesana. Lagipula, negara itu seperti yang kutahu lewat buku-buku dan juga internet, itu adalah salah satu tempat penelitian arkeologi yang masih menyimpan begitu banyak rahasia tentang peradaban masa lampau mereka yang sangat maju dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain pada masa itu. Mereka di Peru, seperti halnya bangsa Mesir, mampu membuat bangunan-bangunan spektakuler seperti Piramida dan sejenisnya.
*Keterangan **
Lima: Ibukota negara Peru
(BERSAMBUNG)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
XiaoGongzhu°
haii
2023-06-26
0
khumah
numpng komen
2021-03-26
1
Green Garden
Permisi author dan para pembaca setia noveltoon.
Baca juga karya novel aku yang judulnya counting of love.
Tinggalkan komentar,like dan votenya juga ya...
2021-03-21
1