Kubiarkan Annamaya melangkah didepan aku dan Arya, karena rasa gugup yang diikuti oleh tangan dan kaki yang berkeringat dingin mulai menyerangku lagi.
Kedua orangtua Intipalla tengah duduk berselonjor masing-masing diatas kursi panjang berukir, dengan bantal-bantal empuk berwarna merah marun, dengan sulaman-sulaman emas bermotif bunga-bunga dan bintang-bintang kecil diatasnya. Aku dan Arya mengikuti langkah Annamaya, yang maju kemudian berhenti sekitar 5 meter dihadapan kedua orang itu. Gadis itu lalu membungkukkan badannya hormat, diikuti oleh aku dan adikku.
“ Silahkan kalian mengambil tempat duduk masing-masing, “ suara berwibawa milik ayah Intipalla terdengar, memakai bahasa Spanyol. Tapi tidak menakutkan, seperti yang kusangka sebelumnya. Suara orangtua itu berwibawa, tetapi terdengar menyenangkan, dan itu membuat rasa gugupku berkurang sedikit.
Aku lalu membungkuk dan mengucapkan terima kasih dalam bahasa Spanyol. Annamaya lalu menuntun aku dan Arya menuju kursi-kursi bertangan dengan ukiran seperti ekor burung merak dibagian sandarannya.
“ Bagaimana menurut kalian tentang perkampungan kami, Aning ? itu namamu kan ? “ suara lembut milik ibu Intipalla menyapaku. Bahasa Spanyol yang dia ucapkan terdengar sangat sempurna. Dia tahu namaku, mungkin anaknya sudah memberitahukan mereka. Tapi aku tak akan terkejut bila tanpa diberitahu oleh Intipalla dia sudah tahu namaku, mengingat kemampuan mereka untuk membaca pikiran orang lain.
“ Sangat bagus...luar biasa, Ratu.. “ jawabku hormat, tanpa memandang matanya. Aku takut, jujur saja.
“ Kamu tak perlu takut, Nak. Kami tak akan menyakitimu, kami hanya ingin tahu tentang kalian, karena
kami tak pernah melihat secara langsung orang-orang seperti kalian ditempat kami ini, “ tambah laki-laki setengah baya itu.
“ Kami hanya mendengar tentang orang-orang dari ras kalian dari petugas-petugas lapangan, “ lanjutnya lagi.
“ Mereka yang ditugaskan untuk turun ke kota setiap 6 bulan, “ bisik Annamaya menerangkan. Aku mengangguk-angguk mengerti.
“ Kalian bangsa Asia, ya ? “ suara ibu Intipalla terdengar ingin tahu. Aku senang, suasana didalam ruangan mulai terasa lebih rileks dan lebih hangat. Mereka rupanya sudah tahu bahwa adikku tak bisa berbahasa Spanyol, karena selain hanya menatapnya, mereka tak pernah mengajukan pertanyaan pada Arya.
“ Iya, tepatnya di Asia bagian tenggara, “ terangku. Kedua orangtua itu mengangguk-angguk.
“ Apa itu dari negara kalian ? “ tunjuk ibu Intipalla dileherku. Dia tertarik dengan syal bermotif batik yang aku kenakan. Aku lalu mengangguk mengiyakan.
“ Kain ini namanya batik, salah satu ciri khas Indonesia, negara kami, “ aku lalu membuka syal yang terlilit dileherku, dan memperlihatkannya agar lebih jelas pada wanita itu.
Ibu Intipalla adalah seorang wanita yang sangat cantik. Dia memiliki kulit yang tidak terlalu coklat seperti
Intipalla, yang sudah pasti mengambil warna kulit dari ayahnya. Warna kulitnya agak terang, dan kelihatan sangat halus.
Baju yang dia kenakan sangat berbau ‘kerajaan’. Dari semua wanita yang kulihat dan berpapasan dikampung mereka ini, tak ada satupun yang berpakaian seperti ibu Intipalla ini. Dia memakai kain bermotif abstrak,
kelihatannya seperti kain yang tidak terlalu berat, dengan sulaman emas bermotif burung-burung dan bunga-bunga. Bajunya itu dilapis dengan sebuah jubah, yang kelihatan sangat berat dan menurutku pasti akan sangat tak nyaman jika dipakai oleh orang yang tidak biasa mengenakannya.
Jubah itu sangat lebar, perkiraanku, mereka pasti memakai kain lebih dari 10 meter untuk membuatnya. Di bagian leher hingga pinggiran depan tempat kancing, berderetan permata-permata dengan berbagai warna, yang masing-masing bervariasi besarnya. Ada yang sebesar biji durian, ada juga yang hanya sebesar kacang hijau. Jumlahnya mungkin ada ribuan, karena jubah itu panjang, yang dijahit berhimpitan selebar kira-kira setengah jengkal lebarnya. Sedangkan di permukaan jubah itu sendiri, pada bagian depannya ada sulaman benang emas bermotif matahari yang disebelah kanan, dan bulan sabit disebelah kiri, keduanya berdiameter kira-kira 50 cm, yang masing-masing dilingkari oleh batu-batu berlian sebesar biji langsat dibagian dalamnya, dan permata berwarna-warni dengan berbagai ukuran di bagian luar.
Llautu dikepalanya dihiasi oleh sebuah mahkota bersusun 3, dengan batu-batu permata yang berwarna-warni. Ada warna hijau, mungkin itu batu jamrud, ada juga batu hitam mengkilat, terlihat seperti ada genangan air didalamnya, aku tahu itu safir. Ada juga berlian dan batu-batu berwarna merah muda yang tak pernah kulihat sebelumnya. Sedangkan bagian paling puncak mahkota itu, ada sebuah batu berwarna merah delima sebesar buah salak, tetapi berbentuk pipih. Pasti sangat berat dikepalanya, pikirku.
Ibu Intipalla kelihatannya sangat suka dengan syal batikku itu. Kuputuskan untuk memberanikan diri, memberikan syalku itu.
“ Ratu, jika anda suka dengan syal itu, saya mau kok memberikannya pada anda, “ ucapku sopan, berusaha agar tak terdengar meremehkan. Sedetik kemudian senyum lebar muncul dari bibirnya, dia kelihatan senang.
“ Benar kamu mau memberikannya untuk saya ? “ tanya wanita itu kegirangan.
Raut wajahnya mengingatkanku pada seorang anak kecil yang mendapatkan sekantung permen coklat. Aku lalu menganggukkan kepala. Tanpa canggung, dia langsung melilitkan syal itu dilehernya, seperti aku sebelumnya. Lalu wanita cantik itu berbicara dalam bahasa Inca, yang membuat Annamaya cekikikan pelan. Kulemparkan pandangan
tanda tanya pada gadis itu, dia berbisik pelan ditelingaku,
“ Dia sangat senang kamu memberikan barang itu padanya, “ Annamaya menjelaskan. Aku jadi ikut senang, padahal tadi aku takut dianggap tidak sopan memberikan barang yang sudah bekas dipakai pada seorang Ratu.
Selanjutnya, sang Raja mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan biasa, tentang orangtua kami, sambil sesekali ditimpali oleh suara istrinya. Kujawab semua yang mereka tanyakan tentang semua itu. Mereka sangat ramah dan baik sekali padaku dan Arya. Tadinya aku membayangkan sosok Raja dan Ratu yang angker, tapi kenyataannya sungguh berbeda dari yang aku bayangkan.
Sambil bercakap-cakap denganku, para pelayan kerajaan diperintahkan untuk membawakan aku camilan. Mulanya aku agak khawatir kalau-kalau aku harus memakan sesuatu seperti kecoak atau cacing, tapi mereka hanya memberikan kami berbagai jenis buah-buahan, yang setengahnya tak pernah kulihat atau kucicipi di Indonesia, atau negara lain.
Percakapan kami dengan kedua orangtua Inripalla itu mungkin akan berjalan panjang, jika saja tidak diinterupsi oleh seorang pengawal yang kata Annamaya disuruh para tetua untuk menyampaikan pesan pada Raja, tapi gadis itu tidak menjelaskan secara terperinci pesan itu tepatnya seperti apa. Setelah meminta maaf karena harus meninggalkan kami, Ibu dan Ayah Intipalla langsung menuju ke ruang tahta.
“ Bagaimana pendapatmu tentang kedua orangtuaku, Aning ? “ tanya Intipalla pendek.
“ Mereka sangat ramah, aku senang bertemu dengan mereka, “ jawabku jujur. Tapi masih ada yang
mengganjal dalam hatiku, aku lalu mengungkapkannya pada pemuda itu,
“ Inti, mana ibu-ibu kamu yang lain ? apa mereka bertempat tinggal disini juga ? “ sejenak dia kelihatan ragu, tapi Intipalla menjawab juga pertanyaanku,
“ Mereka tinggal di Acllahuasi, “ suara Intipalla terdengar seperti tak ingin membicarakan istri-istri ayahnya yang lain. Aku jadi ingin tahu mengapa, tapi aku takut untuk menanyakannya pada Intipalla, maka aku diam saja, sambil menunggu kesempatan untuk bertanya pada Annamaya tentang sikap dingin Intipalla itu.
“ Kita jalan-jalan lagi, yuk ! “ ajaka Intipalla, kali ini suaranya sudah terdengar riang. Mengikuti langkahnya, kami lalu keluar dari ruangan keluarga itu. Kali ini Intipalla dan Annamaya membawa kami keluar dari gunung emas itu, dengan melewati pintu tembus ke altar di kuil pertama.
Cuaca diluar kuil terasa sangat sejuk dan menyenangkan, setelah beberapa jam lebih kami terkurung dalam gunung. Bukannya didalam situ tidak menyenangkan, tetapi kembali menghirup udara bebas juga sangat diperlukan, apalagi bagiku yang menyukai alam bebas, dan sangat tertekan jika harus terkurung dalam sebuah ruangan, sebesar apapun ruangan itu.
“ Inti, bisakah kau menunjukkan padaku, dimana Acllahuasi itu ? “ sambil menghindari tatapan Intipalla, aku bertanya. Entah mengapa, aku merasa, pemuda itu sering mencuri-curi pandang padaku.
(BERSAMBUNG)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Sandi Tamansa
❤❤❤❤❤❤
2021-01-15
2