“Kenapa panas sekali? Apa benar ini musim dingin?”
Yul mengeluh kepanasan selagi mengendarai mobil menuju rumah sakit. Di tengah musim dingin yang berlangsung ini tubuh Yul terasa terbakar. Suhu tubuhnya memanas seperti seseorang ketika memakan ramyeon pedas.
Malam menunjukkan pukul sebelas ketika Yul mendapat telepon dadakan dari Haeri. Telepon itu seolah menyelamatkan Yul dari desakan Yebin yang ingin mendengar pengakuan Yul setelah mereka berciuman dengan mesra di tengah area ski yang sudah mulai tutup.
Telepon itu sangat mendesak karena salah satu anggota keluarga Haeri yang dilarikan ke rumah sakit. Yul, satu-satunya orang yang dapat ditelepon Haeri mau tidak mau harus bergegas ke rumah sakit untuk menemani Haeri yang ibunya jatuh pingsan di kamar mandi. Pria itu tidak memiliki pilihan selain datang sesegera mungkin. Karena ia memegang wasiat ayah Haeri untuk menjaga wanita itu sekaligus ibu dan adiknya.
Berat hati Yul meninggalkan Yebin di area ski. Ia menelepon Hun untuk menjemput Yebin secepat mungkin. Yul tahu tindakannya ini sangat tidak bertanggung jawab. Pergi begitu saja setelah mencium seorang wanita. Ini tindakan pengecut yang mau tidak mau harus Yul lakukan. Yebin memang penting. Tetapi, hubungan Yul dengan keluarga Haeri jauh lebih penting. Mengingat bagaimana ayah mereka berteman dulu.
Sembari berkendara mobil Yul menggosok-gosok lehernya kepanasan. Ciuman yang baru dilakukannya membawa efek jangka panjang yang membuatnya kerepotan seperti ini. Di tengah berjalannya musim dingin, Yul menyalakan AC mobil untuk mengurangi panas tubuhnya.
“Yang benar saja Nona Kang itu. Kenapa dia menciumku tanpa izin?”
Drrtt.
Suara telepon yang bergertar membuat Yul menghentikan rutukan. Ia mendapati telepon dari Hun. Tanpa menunggu lama lagi, Yul pun mengambil hansfree yang tersambung dengan ponselnya lalu menjawab telepon.
“Hun~a, kau sudah pulang bersama Yebin?”
[Sudah. Yebin baru masuk ke rumahnya. Kau di mana Hyeong?] Hun du seberang telepon menyahut.
“Aku sedang menuju rumah sakit. Bibi Lee jatuh pingsan. Kata Haeri ibunya akhir-akhir ini sering kambuh. Aku akan ke sana untuk menemaninya. Sepertinya malam ini aku tidak bisa pulang.”
[Begitukah? Kalau begitu, titipkan salamku untuk Kak Haeri. Katakan padanya aku akan menjenguk Bibi Lee besok.]
“Hm. Juga, pastikan Yebin segera tidur malam ini. Biasanya dia tidak tidur semalaman untuk mengurus Biniemoon,” lanjut Yul berucap. ia teringat Yebin yang malam-malam tidak pernah tidur untuk mengurusi Biniemoon.
[Ya. Aku sekarang akan ke rumahnya. Untuk memastikan Yebin tidur.]
Panggilan telepon kedua kakan beradik itu berakhir kemudian. Yul meneruskan kegiatan mengemudinya sampai tiba di rumah sakit tempat Bibi Lee—ibu Haeri—dirawat.
Setibanya di rumah sakit Yul bergegas turun dari mobil. Ia mengunci mobil. Lalu berjalan masuk ke dalam bangunan rumah sakit yang tidak terlalu ramai pada malam hari. Menuju IGD. Mencari keberadaan Haeri yang tengah duduk merenung di kursi ruang tunggu.
Mendapati keberadaan wanita itu, Yul mempercepat langkahnya. Ia tiba di hadapan Haeri dan segera menceletuk, “Bagaimana keadaan ibumu? Apa ibumu sudah sadar?”
Pandangan Haeri otomatis menaik. Ia berdiri mendapati keberadaan Yul. Sisa air mata di wajah Haeri bahkan belum kering. Ia menangis sepanjang menunggu kedatangan Yul.
“Yul~a.”
Yul meraih kedua bahu Haeri dan kembali mendudukkannya ke atas kursi ruang tunggu. Keadaan ruang tunggu amat sepi pada waktu yang menginjak tengah malam ini. hanya terlihat beberapa penunggu pasien yang ketiduran dan beberapa petugas perawat yang berjaga malam.
“Tidak akan terjadi apa-apa, Haeri~ya. Kau tidak perlu cemas,” kata Yul menenangkan.
Haeri yang tampak bersedih menyeka air mata yang kembali menetes. Wajah pilunya menatap Yul yang memberinya tatapan hangat.
“Aku tidak tahu kenapa semua ini bisa terjadi. Tumor otak ibuku sudah diangkat tiga tahun lalu. Tapi ibu menunjukkan gejala itu lagi. Aku takut tumor itu tumbuh lagi dan mengancam nyawa ibuku.”
Air mata kepedihan kembali berlinangan di wajah cantik Haeri. Yul mengulurkan sapu tangan dan menyerahkannya pada Haeri.
Yul tahu, beban seberat apa yang ditanggung Haeri. Wanita itu kehilangan ayahnya pada hari setelah ibunya menjalani operasi pengangkatan tumor otak. Ayahnya meninggal dengan menyisakan hutang yang cukup besar untuk biaya berobat sang istri yang sakit tumor. Dan Haeri sebagai anak pertama yang menanggung hutang itu. Ia bekerja mati-matian sebagai pengacara untuk melunasi hutang ayahnya sementara adiknya bekerja sebagai pegawai pemerintah yang gajinya tidak banyak. Saat ini hutang itu sudah mau lunas. Tetapi ibu Haeri kembali menunjukkan gejala serupa seperti yang ditunjukkannya beberapa tahun lalu. Haeri yang tak lagi memiliki kekuatan untuk bertahan, benar-benar merasa hancur. di saat-saat seperti ini hanya Yul seorang yang terlintas di benaknya.
Hati Yul yang lemah terhadap wanita, merasa sakit saat melihat Haeri menangis seperti itu. Ia turut merasakan kesedihan yang wanita itu rasakan. Bagi Yul, Haeri itu sudah seperti keluarganya. Jika ada istilah ‘keluarga tak sedarah’ mungkin itu cocok untuk menggambarkan hubungan mereka.
Naluri Yul tergerak untuk memeluk Haeri yang sedang menangisi ibunya. Pria itu merengkuhkan kedua tangannya untuk memeluk tubuh ramping Haeri. Menenangkannya sembari menunggu dokter selesai memeriksa keadaan Bibi Lee yang belum sadar di IGD.
***
Pagi-pagi buta Yul pulang dari rumah sakit. Pria itu bergegas pulang meninggalkan rumah sakit setelah Gojun—yang baru tiba di Seoul setelah dinas di luar kota—datang ke rumah sakit untuk menggantikan tugas Yul. Laki-laki yang tidak begitu menyukai Yul lantaran kedekatan Haeri dengan Yul yang mengganggunya itu, mau tidak mau mengalah dan membiarkan kekasihnya ditemani Yul di rumah sakit karena dirinya yang sedang ada di luar kota untuk urusan pekerjaan.
Pukul empat subuh Yul tiba di rumahnya. Ia memeriksa kamar tidur Hun dan mendapati adiknya yang masih tidur dengan lelap. Karena waktu yang masih subuh itu, Yul yang merasa lelah pun bergegas tidur sejenak untuk mengistirahatkan tubuh. Ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang tidur hingga tanpa disadari waktu telah menunjukkan pukul delapan pagi.
“Hyeong, bangunlah! Yebin mengajak kita sarapan di rumahnya.”
Suara Hun dari ambang pintu membangunan Yul dari tidur paginya yang cukup panjang. Pria itu mengeliat di atas kasur sebelum akhirnya terbangun dan mengerjap malas menahan kantuk.
“Baiklah. Aku akan cuci muka dulu.”
Yul mengiyakan ucapan Hun lalu menguap panjang. ia beranjak dari kasur dan berjalan menuju kamar mandi untuk membilas wajah. Sementara itu Hun lekas menuju rumah Yebin untuk melakukan sarapan.
Di dapur rumahnya, Yebin tengah menyiapkan sarapan pagi untuknya dan kedua laki-laki depan rumahnya. Sembari memanaskan lauk pauk untuk sarapan, ia melakukan panggilan telepon dengan ibunya yang sedang berada di Incheon.
“Sungguh? Ibu akan pulang besok pagi? Syukurlah. Aku benar-benar merasa kesepian sendirian di rumah. Ajeossi akhir-akhir ini sangat sibuk mengurusi kafe dan Hun Oppa juga sibuk sebagai hakim. Aku tidak memiliki satu pun teman kecuali Somin yang selalu datang ke rumah untuk membantuku mengepak pesanan.”
Ketika masih bercakap-cakap dengan ibunya melalui sambungan telepon, Yebin melihat Hun masuk ke dalam rumahnya.
“Oppa, kau sudah datang. Aku masih memanaskan lauk pauknya,” celetuk Yebin melihat laki-laki manis berkacamata itu melangkah medekat menuju dapur.
“Tidak apa-apa. Aku bisa membantumu bersiap-siap.”
“Kalau begitu, kukutup dulu, Ibu. Nanti kutelepon lagi.”
Panggilan telepon Yebin berakhir setelah itu. Ia melepas hansfree bluetooth yang terpasang di telinga kiri. Menyakui benda panjang berwarna hitam itu ke saku apronnya.
“Ada yang bisa kubantu?”
Hun tiba di dapur untuk membantu Yebin.
“Tolong keluarkan daging dan telur kukus dari microwave, Oppa. Aku akan memanaskan tumisan cumi-cumi kering ini.”
“Baiklah.”
Hun membuka pintu microwave. Mengambil piring di dalamnya menggunakan kaus tangan memasak. Memindahkan daging kukus dan telur kukus yang hangat itu ke atas piring lain. lalu membawanya menuju meja makan. Sembari itu Yebin memanaskan olahan cumi-cumi di atas teflon.
Kedua orang itu sibuk mempersiapkan sarapan. Mereka berkecimpung di dapur selama beberapa waktu sampai Yul datang setelah membersihkan tubuh di pagi yang dingin ini.
Kedatangan Yul membuat Yebin tiba-tiba merasa canggung. Ia beradu pandang sekilas dengan Yul yang berjalan menuju dapur. Tatapan canggung keduanya hanya berlangsung tidak lebih dari tiga detik. Tetapi Yebin merasa seperti ada ledakan di dadanya.
Peristiwa semalam masih terlintas jelas di ingatan Yebin. Tentang dirinya yang menyatakan cinta pada pria itu. Tentang mereka yang berciuman dengan mesra dan bergairah. Juga, tentang Yul yang meninggalkan Yebin pada waktu itu juga untuk menemui Haeri di rumah sakit.
Ingatan itu kini terukir dengan menyakitkan di hati Yebin. Ia kira pria itu tidak akan meninggalkannya demi Haeri setelah ciuman yang terjadi itu. Namun, melihat apa yang terjadi semalam, Yebin merasa dipermainkan. Pangakuan cintanya digantung dengan tidak menyenangkan. Dan ia ditinggalkan begitu saja seperti tidak dibutuhkan. Hati Yebin sangat sakit, seperti dicabik-cabik, menyadari Yul yang meninggalkannya demi wanita bernama Haeri itu.
Dalam sekejap mata raut wajah Yebin berubah sayu. Ia menyelesaikan kegiatan menumisnya. Lalu menyajikan tumisan cumi-cumi ke atas meja makan untuk mereka santap bersama.
Semua makanan untuk sarapan telah tertata di atas meja makan. Hun yang selesai membantu Yebin menyiapkan sarapan, duduk di bangku sebelah Yul. Dan setelah itu, Yebin yang baru melepas apron memasaknya, mendudukkan tubuh tepat berseberangan meja makan dengan Yul yang menampakkan raut wajah tidak dapat ditebak.
“Selamat makan.”
Hun tersenyum ria, seeperti biasanya. Ia mengambil perlatan makannya di hadapan. Lalu memulai kegiatan sarapan tanpa menunggu lama lagi.
“Selamat makan, Hun Oppa.”
Yebin mengucapkan hal itu tepat sebelum Hun menyuap nasinya. Pria itu tersenyum manis kepada Yebin sambil mengangguk-angguk. Kemudian menyuap nasi merahnya diikuti beberapa lauk pauk yang tersaji di atas meja.
Sementara itu Yebin juga memulai kegiatan sarapannya. Ia memulai melahap nasi merahnya menggunakan sumpit. Kemudian memasukkan beberapa lauk ke dalam mulut.
Di sisi lain, Yul mengamati wanita itu makan. Ada perasaan perih yang tersirat di wajah Yul saat memandang wanita itu.
Hanya sekali. Hanya sekali dan tidak lebih dari tiga detik Yul bertatapan dengan Yebin. Setelah itu Yebin seolah menghindari tatapan Yul. Wanita itu menghindari tatapan Yul atau tidak mau memedulikan keberadaan pria itu.
“Selamat makan, Yebin.”
Yul mengucapkan hal itu kepada Yebin yang sudah memulai kegiatan makan. Yebin, yang sebenarnya mendengar kalimat Yul, pura-pura tidak mendengar. Ia meneruskan kegiatan makannya tanpa menggubris Yul yang menatapnya dalam keheningan.
Ketiga manusia yang duduk mengelilingi meja makan itu melakukan kegiatan sarapan mereka selama beberapa saat. Setelah menghabiskan satu mangkuk nasi, Hun mengambil air putih dan meneguknya. Begitu menghabiskan satu gelas air putih itu Hun menyadari suatu hal. Kedua alisnya mengernyit melihat dua plaster luka di leher Yebin.
“Apa lehermu terluka? Kurasa kemarin malam saat kita bermain ski masih baik-baik saja.” Pria itu menceletuk. Yul yang mendengar celetukan adiknya, ikut menaikkan pandangan ke arah Yebin.
Dengan santainya wanita itu menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari makanan.
“Leherku digigit nyamuk.”
“Digigit nyamuk sampai terluka seperti itu?” lanjut Hun.
“Hm. Nyamuknya besar dan berhidung belang. Dia menghabiskan darahku sampai aku merasa mau pingsan.”
“Eh?”
Jawaban Yebin membuat Hun memiringkan kepala. Ia tidak yakin mendengar jawaban aneh Yebin.
Yul yang juga mendengarnya, merasa ada batu kerikil di tenggorokannya. Ia menghela napas panjang-panjang ke dalam perut dan mengembuskannya dengan sangat pelan. Tatapan anehnya masih tertuju pada Yebin yang sibuk memakan nasi.
“Harusnya kau menyalakan aroma terapi untuk mengusir nyamuk. Agar tidurmu tidak terganggu.” Hun berucap beberapa waktu kemudian.
Yebin mengembuskan napas.
“Ya. Lain kali aku akan menghabisi nyamuk kurang ajar itu dengan penyengat listrik.”
Tenggorokan Yul gatal sampai-sampai terbatuk. Ia nyaris tersedak karena ucpaan Yebin.
“Air.”
Yul yang terbatuk-batuk itu membutuhkan air. Hun di sebelahnya segera menyerahkan gelas berisi air kepada kakaknya yang tiba-tiba tersedak. Yul pun meminum air minum dan meredakan tenggorokannya yang tersandung kerikil. Lalu melahap suapan nasi terakhir dengan perasaan tidak menyenangkan di dalam benak.
“Semuanya sudah selesai? Aku akan mencuci piringnya.”
Yebin beranjak dari duduk setelah menyelesaikan kegiatan sarapan. Ia memberesi perlatan makan di atas meja makan dan beberapa lauk pauk yang tersisa sedikit. Membawa benda-benda itu menuju wastafel daput untuk kemudian dicuci.
“Kalau begitu aku yang mengepel lantai.”
Hun ikut beranjak dari duduk. Ia mencari perlatan mengepel dan lap meja untuk membersihkan lantai dan meja makan rumah Yebin.
Melihat kedua manusia yang mulai melakukan pekerjaan rumah itu Yul pun beranjak dari duduk. Ia berjalan menuju dapur untuk membantu Yebin mencuci piring.
Baru kali ini Yul jadi pendiam. Biasanya, ia lebih banyak bicara dibanding adiknya.
Yul yang tiba di dapur segera memakai celemek dapur. Berdiri di sebelah Yebin sambil memakai sarung tangan karet untuk bersiap-siap mencuci piring.
“Aku bisa mencucinya sendirian. Lagi pula ini tidak banyak,” cetus Yebin mendapati Yul yang berdiri di sebelah.
“Cucian tidak banyak bukan berarti aku tidak bisa membantu.”
Tidak memedulikan Yebin yang tidak menginginkan bantuannya, Yul memulai kegiatan mencuci piring. Ia mengambil spons cuci piring dan meremasnya menggunakan sabun cair khusus. Mulai mencuci perlatan-perlatan dapur yang kotor itu.
“Kapan ibumu pulang?” tanya Yul memecahkan kecanggungan yang membekukan perasaannya ini.
“Besok.”
Jawaban yang terdengar dingin itu terlontar dari mulut Yebin yang seolah-olah tidak ingin diganggu. Bukannya tidak ingin diganggu. Hanya saja wanita itu sedang tidak dalam keadaan hati yang baik untuk menanggapi Yul yang menyakiti perasaannya begitu dalam.
“Semalam, kau tidur nyenyak?”
“Tentu saja.”
Tanpa dirasakan, napas Yul berembus panjang mendengar jawaban dingin Yebin. Pria itu memutuskan untuk diam setelah mendapati Yebin yang benar-benar tidak mau berbicara dengannya.
Suasana sangat hening, seperti kuburan, ketika Yul memutuskan untuk tidak mengusik Yebin. Ia memfokuskan kedua tangannya untuk mencuci perlatan makan di wastafel. Kemudian membilas benda-benda itu menggunakan air bersih dan mengeringkannya menggunakan lap kering. Yul yang mengeringkan perlatan makan sementara Yebin sibuk membilas sabun.
Dari arah meja makan, Hun telah menyelesaikan kegiatan mengepelnya.
“Ada lagi yang perlu kubersihkan?” celetuk Hun setelah selesai mengelap meja makan.
Yebin yang telah selesai membilas, melepaskan sarung tangan karet dari kedua tangannya. Ia menoleh pada Hun dan menjawab, “Tidak ada. Terima kasih sudah membantu, Hun Oppa.”
“Sama-sama.”
Dengan senyum meriah Hun melangkah pergi meninggalkan rumah Yebin. Ia teringat, jubah hakimnya yang kotor perlu segera dibawa ke tempat loundry untuk besok dipakainya bekerja. Hun yang perutnya kenyang, hendak menuju tempat loundry yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah.
Di dapur, Yul selesai mengeringkan peralatan makan. Ia juga telah menata semua benda yang terbuat dari titanium dan keramik itu ke atas rak dengan rapi.
Melihat Yul menyelesaikan kegiatannya, Yebin mengerlingkan kepala.
“Terima kasih sudah membantu.”
“Kang Yebin,” panggil Yul yang mendapati Yebin hendak berbalik setelah mengucapkan terima kasih. Ia menarik pergelangan tangan Yebin dan membuat wanita itu menolehkan tubuh menghadapnya.
Akhirnya, Yul kembali bertatapan dengan Yebin setelah wanita itu menghindari matanya. Yul yang merasakan suatu perasaan sesak di dada melihat sikap Yebin seperti ini, bergeming dalam waktu lama.
“Lepaskan tanganku.”
“Ayo kita bicara.”
Yul kukuh menggenggam pergelangan tangan Yebin dan tidak mau melepaskannya. Membuat Yebin mengembuskan napas panjang-panjang, merasa tidak dapat menolak.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Nanik
emm.....
2019-09-05
0
👑🌠Felisa Amirul👑 🌌👰💋🐰🕊🌻❄🎆
lagi
2019-07-18
4