“Apa ini benar bisa diperbaiki? Berapa lama dan berapa biayanya? Saya membutuhkannya secepat mungkin. Apa bisa diperbaiki dalam waktu kurang dari seminggu?” Yebin menghujani pertanyaan pada petugas servis laptop yang sedang memeriksa kerusakan laptopnya. Wajah Yebin penuh harap sementara petugas servis laki-laki yang berkacamata itu terlihat sedang berkonsentrasi memeriksa laptop yang rusaknya cukup parah.
Kepala petugas servis memiring. Ia melihat ke arah laptop Yebin yang diletakkan di atas meja kaca toko servis elektroniknya. Memeriksanya menggunakan beberapa alat tes.
“Tolong perbaiki laptop temanku, Ajeossi (sebutan untuk memanggil laki-laki yang jarak usianya jauh lebih tua). Kami benar-benar membutuhkannya. Tanpa laptop itu, hidup kami akan berakhir. Kumohon, Ajeossi. Perbaikilah laptop temanku itu secepat mungkin dan sebaik mungkin.” Somin menambahi dengan nada suaranya yang penuh permohonan.
Pandangan petugas servis itu sedikit menaik. Tepat di hadapannya, dua wanita cantik menatapnya dengan wajah yang sangat memelas. Seolah tak dapat menahan kepedihannya melalui tatapan yang penuh pilu itu.
“Aku perlu memeriksanya lebih lanjut. Jika bisa diperbaiki, mungkin tidak akan memakan waktu lebih dari semingg.”
Jawaban melegakan yang dilontarkan oleh petugas servis itu seketika membuat kedua wanita di hadapannya mengembuskan napas panjang. Kaki Yebin yang terasa lemas seketika itu memiliki tenaga lagi untuk berlari.
Hari yang sangat melelahkan untuk Yebin. Ia nyaris menggundul rambutnya jika sampai Biniemoon tidak bisa diselamatkan karena laptopnya rusak. Dan sekarang, mendengar petugas servis itu berkata dapat memperbaiki laptopnya, Yebin merasa sangat lega. Seakan-akan sepuluh tahun usianya yang terpotong karena kekacauan tadi telah kembali.
“Terima kasih. Aku meninggalkan nomor teleponku di sini. Kalau sudah selesai, tolong hubungi aku.”
Yebin menyerahkan secarik kertas bertuliskan nomor teleponnya kepada petugas servis. Lalu keluar meninggalkan tempat servis ini dengan tatapan penuh haru yang masih tersirat.
“Untung saja. Kau hampir celaka, Yebin~a. Aku tidak percaya pelayan itu menuangkan minumanku ke atas laptop berhargamu,” cerocos Somin yang berjalan di sebelah Yebin. Lebih dari apa pun wanita itu mengerti situasi apa yang akan dialami Yebin jika sampai Biniemoon tidak bisa diselamatkan.
Somin memang membantu Yebin mengelola Biniemoon. Lebih tepatnya, membantu memasarkan produk-produk yang dijual di Biniemoon melalui akun media sosialnya sebagai beauty flogger. Somin juga kerap memberikan review produk di Biniemoon melalui blog yang ditulisnya di berbagai situs pencarian. Secara kasat mata Somin memang memiliki andil dalam pengelolaan Biniemoon. Tetapi, ia mencemaskan Biniemoon bukan karena keikutsertaannya, melainkan karena Yebin yang merupakan sahabat baiknya. Ia tahu kalau Yebin sangat menyayangi Biniemoon yang menjadi separuh hidupnya.
Kedua wanita itu telah bersahabat baik sejak SMP. Mereka saling mendukung satu sama lain. Yebin mendukung Somin yang ingin menjadi model majalah. Sementara Somin juga mendukung Yebin yang sejak kecil mimpinya menjadi CEO dan memiliki bisnis yang bergerak di bidang fashion.
“Aku tidak akan memaafkan siapa saja yang mencelakai Biniemoon-ku. Hah, wanita pelayan itu benar-benar membuatku jengkel. Tidak hanya merusak laptopku, dia juga merusak hariku.” Yebin merutuk-rutuk.
Ia sedang berjalan di trotoar menuju halte bus. Pandangan Yebin menyebar ke sekeliling. Mengamati suasana siang pada awal musim gugur.
Langit siang cukup cerah pada siang hari ini. Warna biru muda dengan semburat putih dari awan yang bergerak ke barat mengisi seluruh pandangan ketika Yebin mendongakkan kepala ke atas. Aroma dedaunan yang mulai gugur menyentuh indra penciuman. Yebin menghirup aroma bunga cherry yang tumbuh di sepanjang pinggiran trotoar.
Kedua wanita itu tiba di trotoar. Menunggu kedatangan bus selama beberapa waktu. Bus yang akan ditumpangi Somin datang lebih dulu. Wanita itu naik ke dalam bus sementara Yebin menunggu bus lain yang akan membawanya pulang ke rumah.
“Aku duluan. Sampai jumpa besok, Yebin~a!” seru Somin sambil beranjak naik ke dalam bus. Ia melambai-lambakan tangannya kepada Yebin yang masih terduduk manis di halte.
“Hati-hatilah.” Yebin membalas seruan temannya yang bertubuh tinggi langsing itu sambil melambaikan tangan.
Bus yang membawa Somin pun melaju pergi. Napas Yebin berembus panjang. Padahal hari belum berakhir. Waktu masih menunjukkan pukul setengah tiga. Tetapi tubuh Yebin benar-benar lelah. Ia lelah secara fisik maupun mental karena kekacauan yang terjadi di kafe beberapa waktu lalu. Ya. Kekacauan yang menguras emosi dan tenaganya.
Di halte itu Yebin menunggu selama beberapa saat. Ia teringat suatu hal dan segera merogoh saku celana.
Pandangan Yebin menurun. Melihat selembar kartu nama berwarna coklat muda di genggaman. Pada kartu nama itu tertuliskan nama Moon Yul yang merupakan CEO Moonlight Coffe. Di bawah nama yang tertulis juga terdapat nomor kontak, alamat email, dan alamat rumah.
Kedua alis Yebin menaik melihat alamat rumah yang tertulis di kartu nama Yul. Ia memastikan penglihatannya tidak salah. Mendekatkan kartu nama untuk dibacanya dengan lebih jelas.
“112, Degin-ro, Banpo-dong, Seocho-gu, Seoul. Ini kan alamat rumahku?”
***
Dua truk pengangkut barang berhenti di depan rumah dengan pintu gerbang berwarna coklat tua. Rumah berlantai dua dengan berbagai macam tanaman yang mengisi halaman itu dihuni oleh dua orang wanita. Truk pengangkut barang yang mengangkut barang-barang pindahan Yul berhenti di depan rumah dengan dua penghuni wanita di dalamnya.
Suaral bel berbunyi ketika seorang petugas dari jasa angkut barang memencet bel di depan pagar rumah. Di dalamnya, Yebin yang baru selesai mandi berjalan menuruni tangga dengan handuk putih yang melilit kepalanya. Ia menceletuk kepada ibunya yang sedang ada di dapur untuk memasak.
“Ibu, siapa yang datang?” tanya Yebin bingung melihat dua truk pengangkut barang berhenti di depan rumahnya. “Apa ada yang mau pindah ke rumah kita? Kenapa ada truk pengangkut barang?” lanjut Yebin bertanya sambil mendekat ke arah jendela kaca rumah untuk melihat ke depan gerbangnya.
“Siapa yang pindah kemari? Semua sepupumu kan sudah berkeluarga,” jawab Miyoon yang sedang mencuci piring.
“Lalu siapa mereka? Kenapa mereka berhenti di depan rumah kita?”
Sementara itu suara bel terus terdengar. Yebin yang masih belum melepas handuk di kepalanya, terdiam mengamati dua truk itu melalui jendela kaca. Miyoon yang baru menyelesaikan kegiatan mencuinya, berjalan untuk membukakan pintu gerbang pada petugas angkut barang.
“Apa benar-benar ada yang mau pindah kemari?” gumam pelan Miyoon sambil berjalan menuju pintu gerbang. Wanita paruh baya berwajah cantik dengan kerutan kecil di beberapa bagian wajah itu membukakan pintu gerbang untuk petugas angkut barang yang memencet bel rumahnya.
“Selamat sore, kami dari perusahaan jasa pindah rumah. 112, Degin-ro, Banpo-dong, Seocho-gu, Seoul. Alamat ini benar di sini kan?” tanya seorang petugas begitu Miyoon membukakan pinru gerbang.
Kepala Miyoon mengangguk. Keningnya mengerut kerena merasa ada yang aneh.
“Itu benar alamat ini. Tapi, sepertinya tidak ada yang mau pindah kemari. Apa alamat yang tertulis itu sudah benar?” Miyoon meyakinkan.
Petugas itu mengecek kembali alamat yang diterimanya. Memastikan kalau alamat yang tertulis di atas kertas itu memang sudah benar.
“Ini alamatnya sudah benar.”
Tidak lama kemudian ada satu mobil hitam yang tiba. Mobil yang dikendarakan Yul itu berhenti di depan gerbang rumah mewah berlantai tiga yang berdiri di seberang jalan. Yul turun dari mobilnya. Berjalan menghampiri petugas dari jasa pindah rumah.
“Sebelumnya mohon maaf. Sepertinya ada kesalahan teknis. Rumahnya bukan yang ini, tapi yang seberang itu, Ajeossi.” Yul menjelaskan begitu tiba di hadapan Miyoon dan seorang petugas angkut barang.
Petugas angkat barang itu cepat tanggap dan segera mengirim kedua truknya untuk pergi ke rumah di seberang jalan. Sementara petugas beranjak pergi, Yul membungkukkan tubuh sekenanya untuk menyapa Miyoon. Senyumnya yang ramah tersungging di bibir ketika ia memperkenalkan diri.
“Annyeonghaseyo (Halo). Saya tetangga baru yang akan tinggal di seberang. Senang bertemu Anda.”
Yul mengulurkan tangan. Miyoon memperlihatkan raut wajah semringah kepada tetangga barunya yang tampan. Kemudian menyambut uluran tangan Yul dengan hangat.
“Aduh, sudah lama sekali sejak ada laki-laki tampan tinggal di lingkungan ini. Rasanya menyegarkan. Semoga kita akrab,” kata Miyoon dengan seutas senyum riang di wajah. Ia melihat Yul menganggukkan kepala dengan sopan.
Miyoon menjabat tangan Yul dalam waktu lama. Ia pun lanjut menanyai, “Kalau boleh tahu siapa namamu?”
“Saya Yul, Moon Yul. Beberapa orang memanggil saya Yul, dan beberapa orang lainnya lebih akrab memanggil Moon Sajang (bos).” Yul berucap pelan.
Kepala Miyoon memiring mendengar laki-laki tampan itu yang tutur katanya lembut dan sopan. Wajah ibu rumah tangga yang semringah terlihat mengagumi Yul. Seolah-olah ingin menjadikan lelaki itu menantunya.
Sementara kedua manusia di depan gerbang itu masih bercakap-cakap ria, Yebin mengumpat-ngumpat di dalam hatinya. Wanita yang sedang mengintip melalui jendela lantai dua itu masih mengingat dengan baik wajah Yul yang tadi dilihatnya di kafe.
Yebin belum melupakan kejadian siang tadi. Mengingat Yul, membuat Yebin teringat kembali kekacauan itu. Membuatnya merasa marah. Dari lantai dua rumahnya ia mengamati ibunya yang terlihat gembira berkenalan dengan Yul.
“Sial! Aku sudah curiga sejak melihat kartu namanya. Ternyata dia adalah tetanggaku. Tidak bisa. Aku harus menaburi sekeliling rumahku dengan garam agar terhindar dari kesialan.”
Dari sekian banyak rumah mewah yang berdiri di Seoul, kenapa harus rumah yang berdiri di seberang rumah Yebin? Mengingat apa yang terjadi di Moonlight Coffe siang tadi saja membuat kemarahan Yebin kembali tumbuh. Bersusah payah wanita itu melalui harinya yang buruk. Setelah sore hari, Yebin mulai bisa bernapas karena tak terbayang-bayang lagi oleh krisis yang sedang dialami Biniemoon. Ia mulai bisa merasa tenang tanpa memikirkan hal yang membuatnya benar-benar stres. Tapi, melihat pria yang menjadi CEO Moonlight Coffe—yang seolah-olah bersedia bertanggung jawab atas kerugian Yebin yang tidak dapat dihitung menggunakan uang—ada di depan rumahnya, Yebin merasakan stres lagi di kepalanya. Ia kembali teringat Biniemoon setelah berusah payah mencoba menenangkan pikiran.
“Apa laptopku belum selesai? Aku membutuhkannya segera untuk memperbaiki fitur Biniemoon,” gumam pelan Yebin sambil berlalu meninggalkan jendela. Berjalan masuk ke kamar. Sepertinya wanita itu akan mengambil ponsel untuk memeriksa apakah petugas servis itu menelepon atau mengiriminya pemberitahuan.
***
“Jangan khawatir. Aku sudah pindah rumah dengan baik. Aku juga sudah menyiapkan kamar untukmu.”
Yul memegangi ponsel di telinga kirinya untuk bercakap-cakap dengan sang adik di seberang telepon. Pria itu baru selesai membongkar semua barang pindahan dan menatanya. Kini ia sedang menelepon Hun sambil mempersiapkan makan malam.
“Jangan khawatirkan aku. Para tetangga memperlakukanku dengan baik dan mereka semua juga ramah. Kau baik-baik saja di sana dan jalani pelatihanmu dengan maksimal. Aku akan membuka cabang kafe baru di Mapo. Sepertinya aku akan sangat sibuk beberapa hari ke belakang.”
Sembari meneruskan kegiatan meneleponnya, Yul membuka pintu lemari pendingin di dapur rumah yang masih sangat bersih. Di dapur itu belum ada satu peralatan memasak pun. Hanya ada kompor listrik dan beberapa peralatan makan. Yul hampir tidak pernah memasak ketika tinggal sendirian di apartemen sehingga tidak ada peralatan memasak yang bisa ia bawa saat pindah rumah. Ia lebih suka makan di luar atau pun memesan makanan cepat antar daripada harus memasak yang itu sangat merepotkan. Kalau terdesak, pria itu hanya akan memasak makanan cepat saji seperti mie instan dan makanan-makanan instan lain yang hanya tinggal memanaskan.
“Baik. Aku akan meleponmu lagi.”
Panggilan telepon Yul berakhir setelah itu. Ia meletakkan ponselnya ke atas meja marmer dapur. Melihat ke dalam lemari pendingin untuk mencari apa yang hendak dimakannya untuk makan malam. Di dalam lemari pendingin itu hanya terdapat bahan makanan instan, susu instan, air mineral, dan beberapa kotak daging sapi yang masih mentah.
“Ah, ternyata tidak ada telur. Bagaimana aku bisa memakan ramyeon kalau tidak ada telur?” Yul mendesah panjang karena tak menemukan telur ayam di dalam lemari pendingin. Baginya, telur adalah hal wajib yang harus ada saat ia memasak ramyeon. Tanpa telur, ramyeon yang dimasaknya terasa hambar dan tidak ada apa-apanya.
Kening Yul mengernyit melihat ada tiga kotak daging sapi mentah di dalam freezer. Ia mengambil salah satu kotak dan melihat bagian atas kemasannya.
“Tiga hari lagi sudah kadaluarsa. Apa ini masih bisa dimasak?”
Yul pun mengeluarkan semua kotak daging sapi dari dalam lemari pendingin. Menenteng ketiga kotak tersebut untuk dibawanya keluar dari rumahnya yang sunyi ini. Ya.Rumah besar berlantai tiga itu sungguh terlihat sunyi untuk ditinggali satu orang pria lajang.
Langit gelap mengisi pandangan Yul ketika ia tiba di depan gerbang rumah. Suasana dingin pada waktu yang menunjukkan pukul tujuh ini terasa menyegarkan kulit di awal berjalannya musim gugur. Pun jalan depan rumah pria itu menunjukkan kesunyian. Hanya ada beberapa lampu jalan yang menyala. Di antara rumah-rumah yang berdiri di lingkungan ini, rumah Miyoon adalah rumah yang jaraknya paling dengan tempat tinggal Yul. Yul hanya perlu beberapa langkah saja untuk sampai di rumah seorang ibu rumah tangga yang sore tadi menyambut kedatangan Yul dengan hangat.
Sampai di depan gerbang rumah Miyoon, Yul memencet bel rumah. Pandangannya menerobos ke dalam gerbang. Melihat lampu rumah yang masih menyala, menunjukkan aktivitas di dalam rumah tersebut yang masih berjalan.
Tidak lama setelah Yul memencet bel, seorang gadis berambut panjang keluar dengan tatapan dinginnya. Itu adalah gadis yang siang tadi ada di kafe. Gadis yang membuat Yul merasa bersalah sepanjang hari setelah kesalahan yang diperbuat karyawannya.
Gadis itu tinggal di rumah ini?
Yul mengernyit kaget mendapati Yebin. Pria itu melihat Yebin berjalan semakin mendekat ke arah gerbang. Kemudian membukakan pintu gerbang untuknya.
“Aku pria yang tinggal....”
“Kami tidak menerima sogokan dalam bentuk apa pun. Jadi pergi saja, Ajeossi.”
Jrreet!
Tanpa memberi kesempatan untuk Yul bicara, Yebin membanting gerbang rumah dan menutupnya. Ia berlalu pergi setelah memberi penegasan bahwa ia tidak akan menerima tiga kotak daging sapi yang tetangganya itu bawa.
Di depan gerbang rumah, Yul diam tercengang. Dalam sekejap tubuhnya mematung melihat sikap wanita yang ketus itu. Dengan raut wajah yang masih tertegun, Yul menghela napas ke dalam perut. Kepalanya memiring sambil mendesus, “Apa apa dengan wanita itu? Apa dia sedang pubertas?”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Adel
Mampir di karyaku yah..
salam
RINDUKU DI UJUNG SURGA
😄😄😄
2020-12-09
0
Ayunina Sharlyn
mampir lagi thor
2020-07-12
0
Sasa (fb. Sasa Sungkar)
seru thor 😁👍
aq mampir 3 bab dl ya, ntar sambung baca lagi.. udah aq like like 3 bab nya..
ditunggu feedback nya ke cerita ku ya thor 🤗
2020-06-18
0