Setidaknya, dengan bersikap baik kepada Yebin, rasa bersalahnya akan sedikti berkurang. Perlu diketahui bahwa Yul adalah laki-laki yang tidak bisa hidup dengan rasa bersalah cukup lama. Ia adalah pria bebas yang menginginkan hidup dengan tenang tanpa sedikit pun beban perasaan. Namun, setiap kali mengingat kerugian yang diterima Yebin di kafenya, Yul merasa bersalah dan merasa tidak enak. Apalagi ibu Yebin telah memperlakukan Yul dengan sangat baik. Tidak mungkin Yul tidak memperlakukan Yebin dengan sangat baik pula.
Setelah menimbang cukup lama Yebin melirik ke arah Yul yang menatapnya memelas. Kedua alis Yebin terangkat saat ia memberi jawaban, “Baiklah kalau Ajeossi memaksa. Aku akan naik.”
Senyuman indah seketika itu bermekaran di wajah Yul. Ia merasa sangat lega melihat Yebin yang akhirnya berkata ‘iya’ padanya.
“Naiklah,” sahut Yul yang telah menghentikan laju mobil. Ia menatap antusias ke arah Yebin yang perlahan naik ke dalam mobil lalu memakai sabuk pengaman.
“Aku akan mengantarmu sampai kampus. Beristirahatlah sebentar, kau terlihat lelah.” Yul berucap. Ia kembali melajukan mobilnya menuju Gwangjin.
Yebin berdeham pelan mendengar pria itu menyuruhnya istirahat. Perlahan Yebin menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dengan nyaman. Mobil mewah memang berbeda. Kursinya terasa lebih nyaman dibanding kebanyakan mobil yang pernah Yebin naiki. Yebin yang merasa nyaman duduk di kursi samping kemudi, menoleh kepada Yul yang mengendarakan mobil dengan konsentrasi.
Pria itu benar mengantarkan Yebin dengan tenang tanpa mengajaknya bicara. Seolah-olah ingin memberikan kenyamanan kepada Yebin dengan tidak mengajaknya berbicara. Yul tahu betul kalau saat ini Yebin masih memendam kemarahan karena peristiwa kemarin siang dan belum memaafkannya. Dari cara menatap Yebin, Yul tahu kalau wanita itu juga tak begitu menyukainya untuk saat ini. Ya. Untuk saat ini. Karena Yul tidak akan membiarkan orang di sekelilingnya membencinya dalam waktu lama. Menggunakan banyak cara Yul akan membuat dirinya disukai banyak orang, termasuk Yebin yang memiliki kesan tidak bagus saat ini terhadap Yul.
“Untuk apa Ajeossi pergi ke Gwangjin?”
Secara mengejutkan Yebin memulai pembicaraan. Kepalanya yang menyandar ke sandaran kursi menoleh. Menatap Yul dari samping. Seperti yang diduga, dari segala sisi pria itu terlihat tampan. Dari samping bahkan dari belakang Yul tetap terlihat tampan.
Sambil mengemudikan mobil Yul menjawab. Ia menoleh sekilas sebelum menatap kembali ke depan.
“Ada urusan di cabang kafe Gwangjin. Aku harus ke sana pagi ini juga.”
Yebin mengembalikan pandangannya ke depan.
“Ada berapa banyak cabang Moonlight Coffe?”
“Ada tujuh. Pembukaan cabang baru di Mapo sedang dalam proses. Kenapa?” Yul lanjut menanyai.
“Tidak. Hanya saja saat aku pergi ke mana-mana selalu menjumpai Moonlight Coffe,” jawab Yebin sambil bergumam.
Suasana hening setelah itu. Yul yang mencemaskan sesuatu, kembali melontari Yebin pertanyaan.
“Apa kau sungguh tidak memaafkanku? Untuk peristiwa kemarin itu aku sungguh minta maaf. Manajer kafe juga telah memberikan konsekuensi pada pelayan yang merugikanmu. Kupastikan hal semacam itu tidak terjadi lagi. Dan aku bersedia bertanggung jawab atas semua kerugian yang kau alami.”
Pantang menyerah Yul kembali melontarkan permohonan maaf. Sesekali ia menoleh kepada Yebin yang raut wajahnya tidak dapat ditebak.
“Kubilang sudahlah, Ajeossi. Bukan berarti kata maafku bisa mengembalikan semuanya,” desus pelan Yebin.
Napas kecewa berembus pelan dari mulut Yul yang sedang mengemudi. Kepalanya termanggut kecil sambil berkata, “Baiklah. Katakan apa yang kau inginkan. Aku bersedia melakukan apa pun agar kau memaafkanku. Jadi, katakan apa yang kau inginkan agar kau mau memberiku maaf.”
Kepala Yebin kembali menoleh mendengar desahan putus asa Yul. Kening Yebin mengerut. Ia merasa tidak dapat memahami kenapa Yul bersikeras meminta maaf atas peristiwa kemarin.
“Kenapa kau yang meminta maaf, Ajeossi? Kan itu kesalahan karyawanmu. Sepertinya kehilangan satu pelanggan juga tidak akan mengurangi popularitas Moonlight Coffe. Kenapa dari kemarin kau terus meminta maaf?” tanya bingung Yebin.
Sejenak Yul merenungkan jawaban atas pertanyaan panjang Yebin. Dengan pandangan yang fokus menatap jalan Yul menjelaskan, “Bukan masalah kehilangan satu pelanggan atau tidak. Tapi ini rasa kemanusiaan. Ayahku tidak pernah mengajarkanku untuk menyalahkan satu orang yang lemah. Karena aku adalah pemilik kafe, aku yang berhak menanggung kesalahan karyawanku. Kehilangan pelanggan itu urusan bisnis. Tetapi rasa bersalah dan tanggung jawab itu adalah rasa kemanusiaan. Dan kerugian yang kau alami di kafeku, adalah hal yang harus kupertanggungjawabkan sebagai pemilik kafe. Kuharap kau mengerti, Nona Kang.”
Yebin merenungkan jawaban panjang Yul sambil berangan-angan. Bukan berarti Yebin tidak mengerti sedikit tentang bisnis. Dan ia merasa ucapan Yul itu tidak salah. Urusan bisnis dan rasa kemanusiaan itu memang dua hal yang berbeda. Tetapi kedua hal yang berbeda itu harus berjalan bersama. Dengan begitu dapat tercipta bisnis yang bersih dan transparan. Yebin mempelajari hal itu selama berkuliah di jurusan bisnis dan berkecimpung dengan dunia bisnis.
“Jadi, bagaimana? Apa kau memaafkanku?” Yul kembali melontarkan pertanyaan pada Yebin yang terlihat dapat mencerna jawaban panjangnya dengan baik. Tatapan Yebin tak seketus beberapa waktu lalu. Yul merasa Yebin mulai memaafkannya.
“Aku akan lihat dulu bagaimana sikap Ajeossi. Lalu memutuskan memaafkanmu atau tidak,” gumam pelan Yebin yang nyaris tidak terdengar di telinga Yul.
Yul tersenyum manis di sudut bibirnya. “Dengan senang hati, Nona Kang.”
Ya. Yebin akan memikirkan kembali permintaan maaf Yul. Melihat pria itu yang begitu gigih meminta maaf, Yebin merasa hatinya sedikit tergerak. Sebagai orang yang sama-sama bergerak di bidang bisnis, Yebin merasa dapat memahami Yul yang bertanggung jawab atas bisnisnya. Jika membayangkan seorang pelanggan setia Biniemoon yang merasa dirugikan setelah belanja di Biniemoon, Yebin merasa akan melakukan hal yang sama seperti yang Yul lakukan; meminta maaf dan bertanggung jawab. Itu adalah hal yang patut dilakukan. Tetapi, sepertinya terlalu cepat jika Yebin memaafkan Yul sekarang juga. Wanita itu akan memberikan waktu kepada Yul untuk merasakan penyesalan sedikit lebih lama lagi.
Kedua mata Yebin tertutup ketika mobil yang dikendarakan Yul berhenti karena jalanan yang macet. Tiba-tiba saja suatu hal melintas di kepalanya. Yebin sontak terbelalak dan menceletuk kepada Yul yang sibuk melajukan mobil dengan sangat pelan dan mengeremnya karena macet.
“Ajeossi, kapan kau akan mengganti alamat di kartu namamu? Kau salah menuliskan rumah nomor 109 jadi 112. Dari kemarin orang-orang mencarimu di rumahku. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa kau membuat kartu nama baru saat belum benar-benar pindah. Apa kau tahu berapa kali aku membukan pintu untuk orang yang mencarimu?” Wanita itu mencerocos panjang lebar.
Sejak kepindahan Yul kemarin, orang-orang yang mencarinya salah alamat ke rumah Yebin. Membuat wanita itu merasa lelah membukakan pintu gerbang untuk tamu yang mencari Yul.
Merasa tidak dapat menyanggah, Yul hanya berdeham pelan. Wajah tak berdosanya menatap lurus ke deham sambil mendesus pelan.
“Aku... akan segera memperbaiki kartu namaku.”
***
Buku materi tebal tentang bisnis berada di pelukan Yebin ketika wanita itu keluar dari perpustakaan. Ia bersama Somin berjalan meninggalkan bangunan perpustakaan. Menuju pintu keluar kampus untuk pergi ke sebuah kafe dekat kampus dan mengerjakan tugas kelompok bersama.
“Jadi Ajeossi pemilik kafe itu yang pagi tadi mengantarmu? Pantas saja. Aku sempat bertanya-tanya siapa yang mengantarmu menggunakan mobil impor itu,” gumam Somin yang berjalan di sebelah Yebin. Wanita berambut keriting yang memakai rok mini itu menanggapi cerita Yebin tentang Yul yang menjadi tetangganya. “Dunia ini benar-benar sempit. Bagaimana Ajeossi itu menjadi tetanggamu di hari yang sama saat kau mendapat kesialan di Moonlight Coffe?”
Kepala Yebin pun menggeleng-geleng karena heran. “Itu maksudku. Aku sungguh tidak menyukai Ajeossi itu karena dia pemilik Moonlight Coffe yang mengacaukan bisnisku. Tapi, ibuku sangat menyukainya. Ibuku bahkan mengundangnya makan malam semalam. Juga berkata kepada Ajeossi untuk menjagaku. Memang aku ini anak kecil apa? Kenapa ibu menyuruhnya menjagaku seperti menjaga anjing peliharaan?”
“Astaga.” Somin mendesah panjang. “Sepertinya kau tidak diperbolehkan membenci Ajeossi itu. Jika ibumu sampai mengundangnya makan malam, seratus persen aku yakin ibumu akan menjadikan dia menantu.”
“Kau gila?” Yebin menceletuk. Kepalanya otomatis menoleh pada Somin yang mengatakan hal tidak masuk akal. “Dia kan Ajeossi, laki-laki yang usianya jauh lebih tua dariku. Kenapa ibuku menjadikannya menantu? Aku lebih cocok jadi keponakannya.”
Tidak tahu kenapa wanita berambut keriting itu suka sekali mengatakan hal-hal konyol kepada Yebin. Membuat Yebin yang merasa ucapan Somin itu benar-benar sinting, memekik keheranan. Yebin memiliki tiga paman yang berusia antara tiga puluh sampai tiga puluh lima tahun. Ia merasa Yul yang berusia tiga puluh tiga itu lebih cocok menjadi pamannya.
Selesai merutuk-rutuk, Yebin melihat satu orang pria tinggi berjalan ke arahnya. Keberadaan pria yang tidak lain adalah Minho itu seketika membuat jantung Yebin berdetak di luar kendali.
“Yebin~a, Kak Minho menghampirimu.” Somin mendesus sambil menyenggol-nyenggol lengan Yebin. Ia melihat dari kejauhan Minho yang tersenyum lebar kepada Yebin.
“Diamlah!” rutuk Yebin kepada Somin yang salah tingkah. Padahal Yebin yang merasa gugup karena kedatangan Minho, tetapi Somin yang justru salah tingkah.
“Kuliahmu sudah selesai?”
Minho tiba di hadapan Yebin dan langsung bertanya. Pria itu menebarkan tatapannya yang memikat kepada Yebin yang perlahan-lahan pipinya bersemu.
“Sudah. Kenapa, Kak?” jawab Yebin.
Laki-laki tersenyum kikuk sambil menggosok-gosok leher. Ia menatap ragu ke arah Yebin sambil bergumam pelan, “Kalau kau bisa, aku ingin mengajakmu ke sebuah tempat.”
“Tentu bisa!” Somin yang antusias menceletuk menanggapi ajakan Minho. Wanita itu menoleh pada Yebin yang mengernyitkan kening menatapnya. “Jam kuliah kami sudah selesai. Kak Minho bisa mengajak Yebin pergi sepuasmu,” lanjut Somin menceletuk sambil mendorong tubuh Yebin ke pelukan Minho.
“Apa maksudmu? Kita harus mengerjakan tugas kelompok.” Yebin mendesus kepada Somin yang mengiyakan ajakan Minho.
“Pergilah bersama Kak Minho. Lagi pula setelah ini aku mau berkencan. Kita tidak bisa mengerjakan tugas hari ini. Jadi besok saja kerjakan tugasnya,” cerocos Somin. Ia membuat Yebin menghela napas panjang keheranan.
“Bagaimana, Yebin~a? Kau mau pergi denganku?” Minho mengulangi pertanyaannya. Yebin yang berdiri di hadapan pun tidak memiliki pilihan selain mengangguk.
“Ya, baiklah.”
***
Hari beranjak sore saat Yebin menghabiskan waktunya bersama Minho di Taman Youido. Semilir angin yang berembus dari Sungai Han membawa kesejukan pada kedua manusia yang sedang bersenang-senang bersama di taman. Hingga tanpa disadari waktu beranjak semakin sore dan matahari perlahan meredup. Membuat Minho, yang sebenarnya belum ingin mengakhiri kencannya bersama Yebin, memutuskan untuk segera mengantar wanita itu pulang. Pria tinggi yang dua tahun lebih tua dari Yebin itu pun mengantarnya pulang ke rumah. Ia turun dari mobil setelah memarkirkannya tepat di depan pintu gerbang rumah Yebin.
“Nanti aku akan menghubungimu.”
Minho membukakan pintu mobil untuk Yebin. Perlahan Yebin melepaskan sabuk pengaman yang melindungi tubuhnya sepanjang perjalanan. Lalu turun dari mobil putih yang dikendarakan Minho.
“Terima kasih. Sebenarnya kau tidak perlu mengantarku pulang seperti ini. Aku sudah terbiasa pulang sendirian naik bus,” kata Yebin yang wajahnya tersipu karena Minho. Tidak biasanya wanita yang memiliki sikap ketus itu terlihat begitu pemalu di hadapan lelaki.
“Hei, sudah seharusnya kau mengantarmu. Mana bisa aku membiarkanmu pulang sendirian di saat aku bisa mengantar?” ujar Minho dengan tatapan menggoda. Wajah tampannya yang menatap lekat Yebin membuat jantung wanita itu berdebar-debar kencang.
Yebin tersenyum manis menggunakan sudut bibir merahnya.
“Oh!”Minho melihat sesuatu di belahan rambut Yebin. Pria itu ia satu langkah mendekat. Mengulurkan tangannya untuk mengambil ranting daun yang terselip di rambut panjang Yebin. Tubuh Yebin serasa mati rasa saat pria itu mendekatkan tubuh untuk menyeka rambutnya. Seselesainya mengambil ranting daun di rambut Yebin, Minho merapikan rambut wanita itu. Mengelus-elus rambut kepala Yebin sembari menguntai senyuman nakal di bibirnya.
Sembari kedua manusia muda itu bersenang-senang di depan pintu gerbang, Yul yang ada di lantai dua rumahnya melihat melalui jendela. Pria itu mengenggam satu kaleng bir sembari mengintip apa yang Yebin lakukan di depan gerbang rumah seberang jalan.
“Lihatlah gadis itu... astaga, dia juga bisa jinak-jinak merpati rupanya. Kukira Nona Kang galak dan ketus pada semua orang. Ternyata dia juga wanita yang bisa tersipu di hadapan lelaki. Ck... ck...ck.”
Yul menggumam-gumam tidak jelas mengamati Yebin yang tersenyum sipu saat Minho menyeka rambutnya. Pria itu meneguk bir dingin di genggaman. Lalu tersenyum geli melihat Yebin yang dikenalnya sebagai wanita ketus, tersenyum menggemaskan kepada lelaki muda itu. Yul yang awalnya mengira Yebin tidak memiliki sisi yang benar-benar wanita, terkekeh pelan saat mendapati gadis itu bersikap layaknya wanita yang sedang dimabuk cinta.
Seselesainya mengamati kedua manusia muda di depan gerbang, Yul hendak berjalan pergi meninggalkan jendela. Ia yang tidak ada kerjaan setelah urusannya di kafe selesai, perlahan berbalik. Tetapi, pemandangan sosok lelaki di depan gerbang rumah Yebin membuatnya mengernyit. Yul kembali memfokuskan matanya melihat laki-laki yang baru masuk ke dalam mobil putih tersebut. Merasa mengenali wajah lelaki yang mengantar Yebin pulang.
“Ho? Laki-laki itu....”
Buru-buru Yul pergi meninggalkan jendela lantai dua. Berjalan tergesa-gesa menuruni tangga. Keluar dari rumahnya untuk melihat laki-laki—yang dikenalnya—yang baru melesat pergi meninggalkan rumah Yebin.
Saat Yul keluar melintasi gerbang rumah, mobil Minho telah menghilang dari pandangan. Yebin yang melihat Yul berlari tergesa-gesa, seketika itu menceletuk.
“Kau tidak bekerja, Ajeossi?” Yebin mencetus dari seberang jalan melihat Yul yang berpakaian santai dan menggengam kaleng bir. Wanita yang masih sentisif terhadap Yul itu kembali menukas, “Sudah kuduga. Bos kafe memang tidak punya kerjaan dan hanya menganggur di rumah sambil menikmati bir di hari yang masih terang ini.”
Perkataan Yebin yang sarkatis itu membuat Yul mengernyit. Yebin yang dikenalnya telah kembali. Yang ketus dan perkataannya sedikit kasar.
“Aku tidak menganggur. Hanya saja pekerjaanku selesai lebih cepat dan aku pulang dulu.” Yul menegaskan.
Bibir Yebih mencibir. Dengan tatapan penuh ejek ia menanggapi, “Ah, ya-ya.”
Wanita itu hendak masuk ke dalam gerbang sebelum Yul dari seberang jalan melontarkan pertanyaan.
“Laki-laki tadi... apa dia pacarmu?” tanya Yul. Raut yang misterius tergambar di wajah Yul yang sebenarnya bisa mengenali Minho yang pulang bersama Yebin.
Yebin kembali menoleh ke belakang. “Sekarang sih belum. Tapi sebentar lagi dia akan menjadi pacarku. Kenapa?” jawab Yebin dengan nada suara yang dingin. Ia merasa yakin dengan jawabannya lantaran satu minggu terakhir ini Minho sering mengajaknya keluar. Entah ke kafe, ke taman, ke bioskop, dan beberapa tempat lainnya.
Kening Yul seketika itu mengernyit. Wajahnya terlihat mencemaskan Yebin. Yul tampak sedang berpikir keras sambil menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal.
Mendapati reaksi Yul yang aneh, Yebin membingung. Bunyi denting di ponselnya membuat Yebin tersadar. Ia segera merogoh ponselnya di dalam tas. Mendapati satu pesan teks yang masuk.
Sementara Yul di seberang jalan terlihat masih larut dalam pemikirannya, Yebin menceletuk. “Ajeossi, kau sedang bersantai kan?”
Wanita itu berjalan ke arah Yul. Menghampiri pria itu di depan gerbang rumah besar berlantai tiga. Yul yang sedang berpikir keras pun seketika itu menegok pada Yebin yang berjalan menghampirinya.
“Memangnya kenapa?”
“Antarkan aku ke sebuah tempat,” pinta Yebin dengan santainya. Ia berjalan melewati Yul. Masuk ke dalam gerbang rumah pria itu. Menghampiri mobil Yul yang terparkir di halaman.
Kepala Yul memiring sementara langkahnya mengikuti Yebin masuk. “Kenapa aku harus mengantarmu? Kau bahkan belum memberiku maaf.”
Tubuh Yebin seketika berbalik. Pandangan dinginnya tertuju pada Yul yang mengerutkan kening. Dengan nada suara penuh hasutan, Yebin menjelaskan panjang.
“Aku hanya ingin memberimu kesempatan untuk menebus kesalahanmu sebagai pemilik Moonlight Coffe yang baik hati dan bertanggung jawab atas kesalahan karyawan, Ajeossi. Laptopku yang dirusak oleh karyawanmu itu sudah selesai diperbaiki. Aku harus mengambilnya sekarang juga untuk menyelamatkan hidupku yang kupertaruhkan di dalam perangkat laptop. Ajeossi tidak mau mengantarku ke tempat servis? Baiklah kalau begitu. Jangan berharap aku akan memperlakukanmu dengan baik sebagai tetangga. Saat itu kau yang membahas rasa tanggung jawab dan kemanusiaan. Kalau Ajeossi tidak mau ya sudah.”
Yebin hendak berlalu pergi setelah mengungkapkan semua kalimat penuh bujuk rayu itu. Tetapi Yul menahannya dengan mencengkeram pergelangan tangan Yebin. Membuat kepala Yebin menengadah menatap Yul yang pupil matanya membesar.
Assa! Ajeossi telah jatuh pada tipu dayaku.
Senyum tertahan di dalam mulut Yebin yang merasa hasutannya itu bekerja. Sementara ia memasang wajah memelas, Yul menatapnya penuh rasa bersalah.
“Di mana tempat servis laptopmu?” tanya Yul memastikan.
“Aku akan memberitahumu di jalan.”
Yul menghela napas panjang ke dalam perut. Ia melepaskan pergelangan tangan Yebin. Berjalan menuju mobil sambil mengeluarkan kunci mobil dari dalam saku celana.
“Naiklah.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Nanik
mantap dech
2019-09-05
2
e K a
keren 👍👍👍
2019-08-26
3
pyaoliang
mantaps. lanjuuuttt
2019-08-19
2