(Musim gugur sebelumnya)
Pria flamboyan duduk di hadapan selembar kanvas putih yang penuh coretan cat minyak. Jari tangan yang panjang meruncing memegang kuas lukis flat dengan tekanan ringan. Bergerak perlahan membentuk garis ferrule di tepian rambut wanita cantik dalam lukisan. Otot-otot lengan yang kekar itu terlihat terampil melukis wajah seorang wanita dengan senyuman lembut yang indah. Seolah sedang mengerahkan seluruh hidupnya untuk melukis wanita tersebut, pria tampan yang duduk di depan kanvas itu memasang ekspresi wajah yang mengisyaratkan keseriusan. Seakan-akan dirinya ikut larut dalam atmosfer indah dalam lukisan yang tangannya ciptakan.
Yul mengganti kuas lukisnya dengan kuas flat yang ukurannya lebih kecil. Mengoleskan kuas tersebut pada cat warna merah di atas palet . Lalu mengoleskannya untuk memberi warna pada bibir sang wanita cantik yang tersenyum kepadanya.
Senyum tipis tersungging di bibir Yul begitu wanita di hadapannya itu memperlihatkan senyum menawan dengan bibir merahnya. Otot wajah Yul menggambarkan perasaan lega bercampur puas setelah lukisan yang dibuatnya sejak pagi selesai. Kini wajah wanita cantik yang menggambarkan kebahagiaan itu terasa meresap ke dalam hati Yul. Membuatnya meluluh. Wajah Yul yang tampan dengan kontur wajah simetris dan rahang yang tegas, tersenyum melega menatap lukisan ibunya di depan mata. Senyum yang bermekaran di wajahnya itu merupakan perasaan senang sekaligus puas setelah meluangkan seluruh waktunya sepanjang hari ini untuk melukis sang ibu.
“Haruskah kutambahkan bunga di rambut ibu?” gumam pelan Yul yang merasa ada sesuatu yang kurang di lukisan itu. “Benar. Itu pasti lebih baik.”
Tidak menunggu lama Yul pun menambahkan bunga kamelia di belahan kanan rambut ibunya yang terurai. Menggambar kelopak bunga kamelia berwarna merah untuk mempercantik lukisan yang akan dijadikannya koleksi itu.
Moon Yul, pria flamboyan yang selalu menebarkan kebahagiaan melalui senyumnya yang menawan. Pria yang ketika berbicara memperlihatkan dua lesung pipit yang manis. Serta, pria yang suka melukis dan memiliki darah seni dari sang ayah yang seorang seniman. Pria berwajah tampan yang sering menghabiskan waktu di kafe untuk melukis itu merupakan pemilik kafe besar bernama Moonlight Coffe yang berdiri di Gangnam dan di tujuh daerah lain di Seoul dan sekitarnya.
Ia adalah CEO dari Moonlight Coffe. CEO yang disegani semua orang karena keramahannya. Serta CEO yang sikapnya patut dijadikan teladan oleh semua karyawan yang bekerja di Moonlight Coffe. Yul, yang dikenal banyak orang adalah sosok yang ramah dan rendah hati. Ia mewarisi darah ayahnya yang dikenal sebagai seniman dermawan yang mengubah hidup ribuan orang melalui karya seninya. Yul yang merupakan putra pertama keluarganya, sebenarnya memiliki darah seni dan bercita-cita menjadi seniman seperti ayahnya. Tetapi, karena hal mendesak yang tak dapat dihindari siapa pun, Yul pun rela mengubah haluannya dan akhirnya menjadi CEO Moonlight Coffe yang dibangun ibunya.
Suara ketukan pintu membuat tubuh Yul menoleh. Ia yang sedang ada di lantai tiga bangunan kafe ini mengerti siapa yang sedang mengetuk pintu ruangannya.
“Masuk.”
Pintu pun terbuka setelah Yul mempersilakan orang tersebut masuk. Jisoo, wanita tiga puluh delapan tahun yang merupakan manager Moonlight Coffe itu berjalan masuk menghampiri Yul yang sedang memberesi peralatan melukisnya.
Pria itu menoleh untuk bertanya. Kedua lesung pipitnya yang dalam otomatis terlihat ketika Yul menggerakkan otot bibir untuk berucap.
“Apa Arsitek Kim sudah datang?”
“Tidak. Arsitek Kim baru memberi tahu kalau hari ini beliau tidak bisa memenuhi janjinya untuk datang. Beliau menjanjikan minggu depan untuk merundingkan pembangunan cabang kafe di Mapo.” Jisoo menjelaskan.
Yul yang mendengar berita tidak menyenangkan itu seketika memberengutkan wajah. Ia kembali menggerakkan jari tangannya untuk memoles bunga kamelia di rambut ibunya.
“Pembangunan itu mendesak karena sebelum tahun baru cabang di Mapo sudah harus opening. Jisoo~ssi sudah memberitahukan itu kepada Arsitek Kim kan?” Yul memastikan dengan tidak membuat wanita yang berdiri di sebelahnya itu tersinggung.
“Saya sudah memberitahukan hal itu, Tuan. Di dalam proposal juga sudah tertulis dengan jelas kalau pembangunan cabang di Mapo itu dimulai paling lambat bulan September.” Jisoo menjelaskan.
Yul terdiam sejenak untuk berpikir. Di sela itu Jisoo menyahut, “Bagaimana? Apa perlu saya carikan arsitek lain untuk menghendel pembangunan cabang baru di Mapo?”
Beberapa waktu Yul menimbang ucapan Jisoo. Setelah lima detik berlalu, Yul beranjak bangkit dari duduk. Tubuhnya menyerong menghadap Jisoo. Sembari melepas apron merah yang melindungi pakaiannya dari cipratan cat minyak, Yul berucap, “Tidak perlu. Biar aku saja yang langsung menemui Arsitek Kim. Beliau yang terlibat dalam pembangunan Moonlight Coffe sejak pertama kali berdiri. Rasanya tidak sopan kalau langsung menggantinya begitu saja.”
Apron merah dari tubuh Yul itu diletakannya ke atas kursi. Ia menyunggingkan senyumnya yang menawan sambil lanjut berbicara, “Aku akan coba bicara dengan Arsitek Kim. Kalau hasilnya nanti tidak memungkinkan, kita langsung cari arsitek lain untuk mempercepat pembangunan kafe.”
Jisoo menganggukkan kepala menyetujui ucapan Yul. Yul pun berjalan menuju meja kerja.
“Perlukan saya temani?” tawar Jisoo. Seketika itu Yul menggeleng.
“Tidak. Jisoo~ssi di sini saja memantau para karyawan sampai jam kerjamu selesai.” Yul menjawab sambil mengambil kunci mobil dan ponselnya di atas meja. Ia teringat suatu hal dan segera menoleh pada Jisoo yang sedang melihat sekeliling ruangan. “Ruanganku biarkan seperti ini saja. Nanti aku sendiri yang akan bereskan setelah bertemu Arsitek Kim.”
“Baiklah.”
Wanita berambut sebahu itu bergegas keluar dari ruangan Yul. Sementara Yul sendiri terlihat sedang membersihkan jari-jari tangannya dari cat warna yang menciprat ketika tadi ia melukis. Begitu jari-jari tangannya itu bersih dari cat menggunakan minyak mineral dan kapas, Yul berjalan keluar sambil menggenggam kunci mobil. Menuruni tangga lantai tiga dan lantai dua. Mengamati kerumunan orang di lantai satu maupun lantai dua yang sedang menikmati waktu mereka di Moonlight Coffe. Tak lupa, beberapa karyawan di kafe ini menundukkan kepala sekenanya menyapa Yul yang sedang lewat. Yul membalas sapaan karyawannya dengan seutas senyum menawan di wajah. Ia berhenti sejenak untuk melihat buku pesanan di atas kaca etalase.
‘Chom jigeuteun jangnandeul’
‘I like it, I’m twenty five nal joh-a haneungeol ar-a’
‘Hoo... I got this, I’m truly fine ijen jogeum algogata-nal’
Suara khas dari seorang penyanyi wanita bernama IU dalam lagu berjudul Palette yang dinyanyikannya bersama G-Dragon menemani para pelanggan yang sedang menikmati waktu di Moonlight Coffe. Beberapa pelanggan yang sedang menikmati coffe break ikut mengangguk pelan mengikuti ritme lagu yang sedang diputar di kafe. Salah satu pelanggan yang ikut bernyanyi pelan bersama lagu yang berputar itu adalah Yebin, yang duduk di kursi dekat dinding kaca. Wanita itu menghadap laptop di atas meja kafe yang menyala. Layarnya manampakkan tampilan sebuah situs belanja online bernama Biniemoon. Itu merupakan sebuah portal belanja online atau yang sering orang sebut dengan online shopping mall yang menjual berbagai jenis fashion pria dan wanita. Mulai dari atasan, bawahan, jam tangan, sepatu, syal, dan berbagai macam perlengkapan fashion lainnya.
Yebin mengambil gelas americano dingin di atas meja. Menyesap minuman manis itu melalui sedotan berwarna hitam. Pandangannya masih terfokus menatap layar laptop tempatnya mengunggah beberapa produk baru.
“Kenapa gambarku terasa membosankan? Apa karena foto produknya tidak memakai model?” gumam pelan Yebin yang melihat foto-foto produk di toko online-nya terasa hambar.
Kepalanya memiring untuk menimbang-nimbang apakah gambar-gambar produk yang sedang diunggahnya itu benar membosankan atau hanya perasaannya saja.
“Benar. Itu terlihat membosankan. Harusnya kau menggunakan model laki-laki untuk mempromosikan produk di shopping mall-mu.” Seorang wanita yang duduk di sebelah Yebin menyahut.
Ia adalah Somin, teman kuliah Yebin yang membantunya mengelola Biniemoon. Wanita itu sedang menikmati hamburger yang dipesannya beberapa waktu lalu. Menikmati makan siang sambil memainkan sosial media instagram dalam benda elektronik di genggamannya.
“Membayar model sangat mahal. Apa kira-kira ada model yang tarifnya murah? Aku ingin menyewanya beberapa jam saja.” Yebin menyahut.
“Kenapa susah-susah cari model sungguhan? Minta saja salah satu teman cowok kita untuk jadi model di shopping mall-mu.”
Yebin mengangkat kepala. Keningnya tertarik ke atas. Ia merasa masuk akal mendengar usulan Somin. Tapi sesaat kemudian, Yebin teringat suatu hal dan otomatis napas panjangnya berembus.
“Itu ide bagus. Tapi, apa kau lupa kalau teman cowok kita tidak ada yang ganteng?” celetuk Yebin. Seketika membuat Somin terdiam.
“Ah, benar. Aku lupa,” desus pelan Somin. “Kalau begitu, minta saja senior yang ganteng itu untuk jadi modelmu. Senior yang sering kau ceritakan, yang dari jurusan media,” lanjut Somin menceletuk sambil mencolek lengan Yebin.
Tanpa alasan yang jelas wajah Yebin bersemu merah. Ia tersipu setiap kali mengingat senior yang dibicarakan Somin.
“Bagaimana aku memintanya? Kami bahkan belum mengenal lama,” jawab Yebin sambil menggumam. Ia mengembalikan pandangannya pada layar laptop di hadapan.
“Terus terang saja padanya. Kalau kau memiliki shopping mall dan ingin menjadikannya model produk-produk di toko online-mu.” Somin menjelaskan dengan masuk akal. Kemudian lanjut berbisik di dekat telinga Yebin. “Sekalian kau bisa PDKT dengan senior itu. Lumayan kan?”
Ucapan Somin itu memang ada benarnya. Yebin berpikir, pasti menyenangkan jika senior yang dibicarakannya itu menjadi model produk-produk di Biniemoon. Senior bernama Minho yang mereka bicarakan itu memiliki wajah yang tampan dan postur tubuh proporsional seberti model. Pastinya ia sangat cocok menjadi model di shopping mall Yebin. Jika Minho menjadi model untuk Yebin, pasti mereka akan menghabiskan banyak waktu bersama. Itu juga bisa menjadi kesempatan bagus untuk Yebin semakin dekat dengan senior yang ditaksirnya itu. Namun, berapa kali pun berpikir, Yebin merasa usulan Somin itu tidak bisa diterimanya.
Kepala Yebin menggeleng. “Tidak bisa. Bisnis shopping mall-ku dengan Kak Minho itu berbeda. Bagaimanapun aku akan memperjuangkan perasaanku pada Minho. Tapi tidak dengan cara itu. Aku harus bisa membedakan urusan perasaan dengan urusan bisnis. Itu juga bukan berarti Kak Minho akan menjadi cinta terakhirku. Melibatkannya dengan Biniemoon yang menjadi separuh hidupku kurasa tidaklah benar.”
Yebin memberikan jawaban bijaksana setelah berpikir cukup dalam. Ia memang akan senang jika bisa menjadikan Minho yang ditaksirnya sebagai model. Tapi, bukan itu yang Yebin inginkan untuk bisnisnya. Yebin menyadari betul bahwa perasaan manusia itu bisa gampang berubah seperti siang dan malam. Sementara bisnis yang dimiliki Yebin itu akan diperjuangkannya dalam waktu lama dan akan terus berkembang. Jika ia menjadikan Minho sebagai model untuk keperluan bisnisnya, maka pria itu juga akan terikat dengan Biniemoon yang baru mulai berkembang. Sementara Yebin tidak bisa menjamin apakah perasaan sukanya pada Minho itu akan bertahan lama. Mengingat dirinya yang perasaannya gampang berubah, Yebin semakin merasa tidak yakin. Pun belum lama ia mengenal Minho melalui sebuah klub di kampus.
Somin merenungkan jawaban Yebin. Kepalanya terangguk setuju.
“Benar juga. Kalau nanti kau sudah tidak suka lagi sama Kak Minho, kau pasti akan kerepotan menghapus semua fotonya dari portal Biniemoon.” Somin membalas sambil berpikir dalam.
“Aku akan mencari model untuk produk-produk baru yang kuunggah di Biniemoon. Siapa tahu aku bisa dapat model yang tarifnya mudah.”
Yebin melanjutkan kegiatan menggunggah produk di shopping mall-nya dalam waktu cukup lama. Sementara Somin di sebelahnya sedang mengunggah produk-produk di akun media sosial Biniemoon. Akun media sosial Biniemoon terdiri dari instagram, facebook dan KakaoTalk. Somin memegang dua diantaranya; instagram dan facebook. Sedangkan akun KakaoTalk dipegang sendiri oleh Yebin.
“Turun?!”
Pekikan Yebin yang keras seketika itu membuat Somin menjingkat kaget. Beberapa pelanggan kafe pun menujukan pandangan pada Yebin yang tersentak.
“Grafik penjualanku bulan ini menurun. Sial! Apa yang terjadi?”
Yebih yang sedang emosional terpaku menatap layar laptopnya yang memperlihatkan grafik penjualan produk di Biniemoon bulan ini. Garis hijau dalam grafik penjualan bulan Agustus menunjukkan penurunan yang cukup drastis. Membuat kepala Yebin seketika itu terbakar. Ia belum percaya pada grafik yang sangat akurat itu.
“Tiga bulan terakhir grafiknya semakin meningkat. Kenapa sekarang jadi seperti ini? Apa semua pelangganku lari ke portal sebelah? Sial!” Yebin lanjut merutuki layar laptopnya yang memperlihatkan hasil mengecewakan itu. Ia berusaha keras menerima semua yang terjadi ini.
“Tidak mungkin.”
Bahu Yebin perlahan melemas. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi sementara pandangannya masih menatap tajam grafik berwarna hijau tersebut.
“Benar-benar turun drastis. Kenapa bisa seperti itu?” Somin yang sedang melongokkan tubuh untuk melihat layar laptop Yebin pun menggumam. Ia merasa terkejut sekaligus membingung melihat penurunan penjualan Biniemoon yang sangat drastis.
Beberapa waktu Yebin terdiam sembari memandangi layar laptopnya untuk merenung. Perlahan-lahan tatapan wanita dua puluh tiga tahun itu membara. Tubuhnya bergejolak karena larut dalam grafik penjualan berwarna hijau yang turun pada angka 1,7 juta won.
Dengan tatapan tajamnya yang membara Yebin menggumam keras, “Bulan lalu hasil penjualan mencapai lima juta won. Dan bulan ini hanya 1,7 juta won. Penjualan turun sebanyak 3,3 juta won, alias 66 persen. Bagaimana ini bisa terjadi? 66 persen itu sangat banyak. Lebih dari separuh, hampir semua pelanggaku lari ke portal sebelah?! Ini tidak mungkin.”
Kepala Yebin terasa mau meledak memikirkan penurunan grafik penjualan shopping mall-nya. Tatapannya masih berapi-api sementara Somin di sebelahnya hanya mengangguk-angguk menanggapi ucapan Yebin tentang grafik penjualan.
Dengan semangat yang berkobar-kobar Yebin memeriksa kembali shopping mall-nya. Memeriksa semua fitur yang ada di toko online tersebut. Juga membuka beberapa portal belanja online lain yang merupakan saingan berat dari Biniemoon. Yebin mulai melakukan pencarian tentang apa penyebab penjualannya bulan ini menurun dengan begitu drastisnya.
“Ini tidak boleh terjadi! Aku harus cari tahu kenapa orang-orang memilih belanja di portal lain dibanding Biniemoon-ku. Aku harus perbaiki fiturnya. Kalau perlu membanting harga dan memperluas jangkauan iklan. Berani-beraninya burung-burung itu mencuri pelanggan setiaku? Tidak akan kubiarkan!”
Somin yang melihat temannya itu sedang berkobar-kobar, hanya mengangguk pelan sambil ternganga. Ia tahu Yebin adalah orang yang pekerja keras dan pantang menyerah. Sampai wanita itu bisa menaikkan kembali penjualan di Biniemoon, sepertinya api semangat yang berkobar di kepalanya itu tidak akan padam.
“O... ohh. Semangat, Kang Yebin!” desus pelan Somin menyemangati Yebin yang mulai melakukan riset di beberapa portal belanja online.
Ketika Yebin masih sibuk melakukan riset di beberapa portal belanja lain menggunakan laptopnya, seorang pelayan kafe datang. Pelayan wanita itu mengantarkan caramel macchiato. Somin menggeser piring berisi biskuit di atas meja. Menyiapkan tempat untuk pelayan itu meletakkan pesanan minumannya. Tepat setelah itu....
“Agh!”
Yebin memekik ketika pelayan itu menumpahkan minuman di atas laptopnya. Kesepuluh jari tangan Yebin yang sedang sibuk bergerak di atas keyboard laptop pun basah. Minuman manis dingin yang diantarkan pelayan itu seketika meresap ke dalam laptop Yebin. Bongkahan es batu dari dalam gelas menggelinding ke atas keyboard laptop. Laptop yang mulanya masih menyala pun seketika itu padam. Yebin yang terhenyak, membelalakkan mata. Mulutnya menganga menyaksikan laptopnya tak terselamatkan.
“Astaga! Bagaimana ini? Ma... maaf. Saya benar-benar minta maaf.”
Pelayan wanita yang memanik itu seketika menundukkan kepala. Ia membersihkan laptop Yebin yang telah mati dari bongkahan es batu.
Tercengang, napas berat Yebin berembus panjang. Somin yang ikut terperengah, memperlihatkan raut kemarahan.
“Apa yang kau lakukan?!” Yebin yang tidak dapat mengendalikan emosinya seketika itu berteriak. Ia berdiri dari duduk untuk meneriaki pelayan wanita yang menumpahi laptopnya menggunakan minuman dingin itu. “Apa yang sebenarnya kau lakukan? Apa kau sengaja menumpahi laptopku agar mati?!”
Yebin benar-benar marah. Kepalanya terasa mau meledak karena penurunan penjualan di situs belanja miliknya. Dan sekarang latopnya rusak karena pelayan wanita ceroboh yang menyebalkan itu. Yebin, wanita yang cukup buruk dalam mengendalikan emosi, menyeka rambutnya yang terurai ke atas. Ia beberapa kali menarik napas panjang sambil menenggerkan kedua tangannya di pinggang. Menatap geram ke arah pelayan yang beberapa kali membungkukkan tubuh untuk meminta maaf itu.
“Maaf? Hei, kau! Apa apa yang kau lakukan? Bisa-bisanya kau menjatuhkan minuman di atas laptopku? Kau pikir aku ini sedang bersantai?! Jika tanganmu tidak sampai, kau bisa minta tolong! Kenapa kau diam saja dan akhirnya membuat kekacauan? Menyebalkan sekali!”
Bahu Yebin naik turun menahan amarah yang membakar kepalanya. Teriakannya yang amat kencang seketika mengundang perhatian para pengunjung kafe. Orang-orang yang ada di lantai satu kafe pun menujukan pandangan pada Yebin yang sedang memarahi seorang pelayan wanita.
“Ini benar-benar rusak. Bagaimana, Yebin~a?” Somin mendesus panik memeriksa laptop Yebin yang sudah rusak. Padahal laptop itu sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan Biniemoon dari krisis.
Air dari minuman dingin itu bahkan bercucuran ketika Somin mengangkat laptop Yebin. Terlihat lebih dari setengah gelas air yang mengalir dari lubang udara mesin laptop bagian bawah.
Dari arah etalase kafe, Yul mengamati keributan itu. Ia terdiam beberapa detik untuk mencerna keributan apa yang sedang terjadi antara pelayan dan dua pelanggan wanita di meja nomor tujuh.
“Bagaimana ini? Dua wanita mahasiswa itu adalah pelanggan tetap. Salah satunya adalah blogger. Bagaimana kalau dia memberikan review buruk di blog-nya?”
Dari balik meja gerai beberapa karyawan berbisik-bisik. Yebin dan Somin itu adalah pelanggan tetap kafe yang telah terdaftar sebagai member VIP. Pun, Somin merupakan blogger yang sering memberi review produk-produk dan merupakan seorang beauty flogger. Kedua wanita muda di meja nomor tujuh itu sama-sama menjadi anggota VIP Moonlight Coffe yang hampir setiap hari datang untuk membeli minuman.
Mendengar desusan karyawannya di balik meja gerai, Jisoo, sang manajer kafe yang bertanggung jawab pada semua karyawan, hendak turun tangan menangani kekacauan yang diperbuat salah satu karyawannya. Ia hendak berjalan menuju meja nomor tujuh sebelum Yul memberinya aba-aba.
“Biar aku saja,” kata Yul.
Pria tinggi proporsional yang sedang mengamati kekacauan itu berjalan menuju meja nomor tujuh. Sesampainya di sana, ia menatap ke arah Yebin yang dikerubuti kemarahan dan Somin yang amat mencemaskan laptop.
“Aku benar-benar minta maaf atas kelalaian karyawanku. Aku pemilik kafe, dan yang bertanggung jawab atas karyawanku. Berikan nomormu, aku akan memberikan kompensasi atas kekacauan ini.” Yul berkata sembari mengulurkan kartu namanya kepada Yebin. Wajah tampannya yang terlihat ramah sempat membuat Yebin bertanya-tanya.
Sayangnya Yebin terlanjur marah. Sekalipun ia menerima kartu nama dari laki-laki berambut hitam rapi itu, Yebin tidak peduli. Ia menatap tajam ke arah Yul yang mengisyaratkan permintaan maaf melalui wajah rupawannya.
“Maaf? Kompensasi?” Yebin mengembuskan napas keheranan. Wajahnya melengos dari Yul yang menatapnya.
Biniemoon, yang diperjuangkan Yebin dengan seluruh hidupnya, berada dalam situasi krisis yang harus segera ditangani. Dan laptop yang digunakan untuk mengakses Biniemoon adalah laptop milik Yebin. Yebin sengaja memperketat akses masuk ke website-nya untuk memperkuan keamanan. Sehingga hanya satu perangkat yang bisa mengakses Biniemoon dan mengolahnya. Itu adalah laptop Yebin. Sekarang laptop itu rusak karena kecerobohan pelayan Moonlight Coffe. Pun Yebin, yang harus segera menangani krisis di Biniemoon, tidak dapat mengakses website karena laptopnya rusak. Situasi tidak masuk akal apa ini? Apa Biniemoon yang menjadi separuh dari jiwa Yebin setara dengan kata ‘maaf’ dan kompensasi?
Membutuhkan cukup waktu untuk Yebin mengendalikan amarahnya. Ingin rasanya ia memberi tamparan pada orang-orang yang telah mempertaruhkan Biniemoon. Tapi, Yebin menahan diri.
Ia menatap legas ke wajah Yul yang memperlihatkan raut penyesalan. Lalu menukas, “Sudahlah! Lupakan apa yang terjadi. Aku benar-benar muak!”
Yebin menutup layar laptonya dengan gusar. Ia menyabet tas di atas kursi. Lalu menentang tas dan laptopnya yang basah sambil memberi perintah pada Somin.
“Ayo pergi, Somin~a. Tempat ini benar-benar terkutuk!”
Kedua wanita yang dikerubuti kabut amarah dan kepedihan itu berjalan pergi meninggalkan Yul dan seorang karyawannya. Keluar dari bangunan kafe dengan perasaan bercampur aduk. Yebin yang sudah cukup stres karena penurunan penjualan Biniemoon. Seolah akan meledak karena situasi konyol yang terjadi ini.
Yul yang menatapi kepergian kedua wanita itu menghela napas panjang ke dalam dada. Ia melirik ke arah karyawannya yang menunduk dalam-dalam sambil menangis.
***
Preview:
“Sial! Ternyata bos kafe yang sok baik itu tetanggaku. Tidak bisa. Aku harus menaburi sekeliling rumahku dengan garam agar terhindar dari kesialan.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Sussi Slim
bu wahahahaha tabur garam, biar segera hujan thor 😄
2019-10-13
3
Fitri Lin
taburin garam.?ular kali ah..
2019-09-08
2
Sedap Malam (ig @elyarafanani)
terima kasih komentarnya
2019-08-19
2