“Kenapa Ibu memasak makarel banyak sekali?” Yebin yang selesai membantu ibunya memasak, bertanya. Tidak biasanya ibunya itu memasak banyak sekali makarel.
Sambil mengemasi makarel panggang ke dalam kotak plastik berlapiskan foil aluminium, Miyoon berucap, “Besok aku akan berangkat ke rumah nenek. Ini untuk persediaan makanmu selama aku pergi. Di lemari pendingin aku juga sudah memasakkan banyak persediaan makanan lain untukmu.”
Terkejut, Yebin otomatis menolehkan kepala menatap ibu yang sibuk mengemasi makanan. “Ibu akan pergi ke rumah nenek? Kenapa mendadak sekali?”
“Nenekmu sedang sakit dan mau operasi persendian. Aku tidak sempat memberitahumu lebih awal karena akhir-akhir ini kau terlihat sibuk.”
“Ibu! Harusnya kau memberitahuku sejak awal. Bagaimana bisa tiba-tiba begini?” protes Yebin dengan nada suara yang meninggi.
“Kenapa kau heboh sendiri? Toh bukan pertama kali aku meninggalmu di rumah sendirian. Dan sekarang ada Moon Sajang yang bisa kau panggil saat ada apa-apa. Kenapa kau heboh begitu?” Miyoon menukasi. Ini memang bukan pertama kali ia meninggal putrinya di rumah sendirian untuk merawat ibunya di Incheon yang sakit. Lagi pula, Incheon tidaklah jauh dari Seoul. Menaiki kereta bawah tanah ekspres ke Incheon tidak akan memakan waktu lama.
Yebin mengembuskan napas. “Tetap saja, bagaimana Ibu memberitahuku mendadak sekali?” gerutu Yebin.
Setelah menutup kotak plastik berisikan makarel panggang, Miyoon menoleh pada putrinya dan merutuk, “Jangan berlebihan! Ibu juga tidak akan lama di rumah nenekmu. Kenapa kau masih merengek seperti anak kecil?”
Miyoon menggeser kotak plastik di atas meja kepada Yebin. “Ini, antarkan ke rumah Moon Sajang. Aku akan menumis cumi-cumi kering untuk persediaan makanmu. Kau kan mudah bosan, jadi biar kumasakkan macam-macam makanan untuk persediaan selama aku ada di rumah nenek. Jangan lupa juga ajak Moon Sajang untuk menemanimu makan.”
“Baiklah.”
Tanpa banyak memprotes Yebin meraih kotak plastik. Membawa kotak plastik itu keluar, menuju rumah Yul.
Gerbang rumah Yul terbuka di waktu yang sudah gelap ini. Sepertinya pria itu lupa menutup gerbang saat pulang dari Yangcheon. Yebin yang menenteng kotak plastik berisi makarel, masuk ke halaman rumah Yul tanpa memencet bel. Dari luar terlihat lampu-lampu rumah yang menyala. Pintu balkon lantai dua dan lantai tiga, serta jendela lantai satu terbuka lebar. Gorden pun terkibas-kibas diterpa angin malam yang dingin menjelang musim pendingin.
“Kenapa Ajeossi membuka jendela lebar-lebar di saat suhu udara sangat dingin? Bagaimana kalau dia terserang flu?” Yebin menggumam-gumam sambil berjalan menuju pintu rumah Yul yang tertutup.
Tok-tok-tok.
Yebin mengetuk pintu kayu rumah Yul sambil berteriak, “Ajeossi! Kau ada di dalam? Bukakan pintunya. Ibu memasak makarel panggang untukmu.”
Derap langkah dari balik pintu membuat tangan Yebin berhenti mengetuk. Sejurus kemudian, pintu kayu rumah Yul yang besar pun terbuka. Yul membukakan pintu untuk Yebin yang datang membawakan sesuatu.
Tubuh Yebin membeku seketika melihat wajah Yul. Luka sobek di sudut bibir Yul yang masih mengeluarkan darah. Dan luka sepanjang setengah inci di pipi kiri. Yebin tertegun melihat wajah Yul terluka seperti itu. Dilihat dari lukanya yang masih basah, Yebin menyimpulan kalau Yul mendapat luka itu barusan.
“Ajeossi, kenapa wajahmu...?”
Yebin menatap wajah Yul yang menyendu. Sorot mata Yul memendung dan tak secerah biasanya. Membawa perasaan tidak nyaman untuk Yebin. Yebin merasakan sesuatu merobek hatinya saat melihat wajah Yul seperti itu.
“Nona Kang, kenapa kau tidak menatapku sinis seperti tadi?” Yul mencandai Yebin yang terlihat khawatir. Samar-samar Yul tersenyum getir menggunakan sudut bibirnya yang terluka.
Napas panjang Yebin berembus. Wanita itu menerobos masuk ke rumah Yul. Berjalan menuju dapur. Meletakkan kotak plastik yang dibawanya ke atas meja dapur. Lalu mencari kotak kesehatan di laci dapur rumah Yul.
“Di mana kau meletakkan P3K Ajeossi?” tanya Yebin sambil mencari-cari kotak kesehatan yang dimaksud. Ia membuka beberapa laci dapur namun tak menemukan benda yang dicarinya.
Yul bergeming melihat Yebin yang sedang mencari peralatan kesehatan. Beberapa waktu terdiam menatap sayu ke arah Yebin yang sedang khawatir.
“Di laci samping lemari pendingin,” sahut Yul sesaat kemudian.
“Ini dia.”
Setelah menemukan benda yang dicarinya, Yebin menenteng kotak kesehatan. Membawanya berjalan menghampiri Yul di depan meja dapur. Menarik tangan pria itu untuk dibawanya duduk ke atas sofa ruang tamu.
“Lukanya tidak parah kok. Kau tidak perlu merawatnya,” ucap Yul begitu terduduk di atas sofa. Ia melihat Yebin di sebelahnya yang sedang sibuk menyiapkan kapas dan cairan antiseptik.
“Tidak parah bukan berarti tidak perlu dirawat. Ajeossi diam saja dan tidak usah memprotes.” Yebin menceletuk tanpa memedulikan Yul yang menaikkan kedua alis menatapnya dari samping.
Kapas yang ada di tangan Yebin telah dibasahi menggunakan cairan antiseptik. Yebin merapatkan duduknya dengan Yul. Menyerongkan tubuh menghadap pria itu. Lalu mulai membersihkan luka di sudut bibir dan di tulang pipi Yul.
“Apa Ajeossi itu anak SMA? Kenapa kau berkelahi sampai terluka seperti ini? Dengan siapa kau itu berkelahi sampai ada luka di di wajahmu?” Yebin merutuk-rutuk selagi menyeka luka di bibir Yul menggunakan kapas basah. Sesekali Yebin meniup luka di wajah Yul agar tak perih saat terkena cairan antiseptik.
“Aku tidak berkelahi. Aku hanya terpeleset dan jatuh,” kata Yul. Pria itu merasakan tiupan lembut di bibirnya yang terluka. Pandangannya turun menatap Yebin tepat di depan mata.
“Aku tidak sebodoh itu untuk memercayai ucapanmu, Ajeossi. Mana ada orang jatuh yang terluka bibir dan tulang pipi? Siapa pun yang melihat pasti tahu kalau Ajeossi baru berkelahi.” Yebin kembali merutuki Yul yang mencoba membohonginya.
Merasa tak dapat menyanggah, Yul berdeham-deham pelan. Ia mengalihkan pandangan dari Yebin yang sedang mengolesi luka di wajahnya menggunakan salep luka. Wanita itu kemudian menempelkan plaster luka bening di pipi Yul setelah mengoleskannya salep.
Selesai merawat luka di wajah Yul, Yebin menutup kembali kotak kesehatan. Meletakkannya ke atas meja sofa.
“Ada apa denganmu? Tadi sore kau masih bersikap dingin. Dan sekarang mendadak perhatian padaku,” desus pelan Yul yang merasa sikap Yebin ini aneh. Tidak biasanya Yebin memperhatikannya. Mengingat wanita itu yang akhir-akhir ini bersikap ketus.
“Entah. Mungkin dewi langit sedang menghinggapiku,” jawab Yebin tak acuh.
Yul tersenyum simpul. Jawaban konyol Yebin membuatnya sedikit terhibur.
Mendapati Yul yang tersenyum, Yebin menoleh. Wanita itu melihat kedua lesung pipit di wajah Yul yang terluka.
“Kenapa Ajeossi berkelahi? Bukannya tadi kau sedang berkencan?” tanya Yebin penasaran. Ia tak habis pikir kenapa Yul yang dikenalnya tenang dan bijak itu berkelahi sampai terluka. Ini bukan Yul yang selama ini dikenal Yebin sebagai sosok pria yang dewasa dan berpemikiran terbuka.
Dengan tenang Yul menjawab, “Aku tidak berkelahi. Dan aku tidak berkencan.”
Alis Yebin mengernyit. “Ajeossi tidak berkencan? Tadi kan kau keluar bersama kekasihmu.”
Sesaat Yul bergeming. Ia terkekeh-kekeh mendengar Yebin yang sepertinya salah paham.
Kepala Yul mengerling. Ia bertatapan dengan Yebin yang menatapnya penasaran. “Wanita itu adalah Haeri, teman terdekatku. Kami keluar untuk membelikan hadiah ulang tahun untuk ibunya,” jelas singkat Yul yang membawa kelegaan di benak Yebin.
Anehnya Yebin merasa sangat lega setelah tahu wanita itu bukanlah kekasih Yul. Sial. Selama ini Yebin merasa kesal karena suatu hal yang tidak benar. Tanpa alasan yang benar perasaan Yebin meretih saat melihat wanita itu bersama Yul. Yebin yang salah menyimpulkan merasa dirinya itu sangat sial.
Di sela-sela kelegaan hatinya itu Yebin kembali bertanya, “Lantas kenapa wajahmu seperti ini?”
“Ada kesalahpahaman. Kekasih Haeri tiba-tiba datang dan memukulku. Dia salah paham padahal aku hanya menemani Haeri membelikan hadiah untuk ibunya.”
“Kenapa kau itu malang sekali Ajeossi? Kau dipukul padahal tidak bersalah,” desus Yebin yang terdengar seperti keluhan.
Yul terkekeh-kekeh mendengar ucapan Yebin yang dinilainya tidak salah. “Benar juga. Kenapa aku malang sekali?” sahutnya sambil terkekeh.
Merasa apa yang dilakukannya di rumah Yul sudah selesai, Yebin beranjak dari duduk. Ia menoleh pada Yul dan berucap, “Ibu memasak beberapa makarel panggang. Ajeossi bisa menyimpannya di lemari pendingin dan memanaskannya di microwave saat ingin makan. Besok ibu akan pergi ke Incheon untuk merawat nenek. Ibu menyuruh Ajeossi untuk datang ke rumahku saat mau makan. Ada banyak sekali persediaan makanan yang ibuku siapkan.”
Kepala Yul termanggut-manggut. Yebin hendak pergi meninggalkan sofa sebelum Yul menahan pergelangannya. Yul mencengkeram pergelangan tangan Yebin. Membuatnya seketika berbalik.
“Kau tidak ingin minum bir?” tawar Yul. Kepalanya mendongak menatap Yebin yang berdiri di depan sofa.
Alis Yebin menaik. “Bir? Aku tidak berpikir untuk meminum alkohol malam ini,” jawabnya tegas.
“Kalau begitu temani aku minum bir.”
Yebin mempertimbangkan sejenak permintaan Yul. Wanita itu menatap wajah Yul yang sedang memohon. Yul memberikan tatapan memelas hingga Yebin tidak memiliki kekuatan untuk menolak.
“Baiklah.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Sussi Slim
semangat oppaaaaaaa 😍
2019-10-13
1
Nanik
moga tambah lebih dekat
2019-09-05
2